Wednesday, January 30, 2008

Konser Musik Tepelere

Start:     Jan 31, '08 7:30p
End:     Jan 31, '08 10:00p
Location:     Padepokan Seni Bagong Kussudiarjo - Bantul
Pertunjukan terbuka Konser Musil Tepelere - Jagongan Wagen & Yayasan Bagong Kussudiarjo

Monday, January 28, 2008

Menanti Rupiah di Pulo Kenanga




Para guide lokal yang siap bercerita tentang wisata Njeron Beteng.
Location : Pulo Kenanga, Sumur Gumuling, Ngasem Yogyakarta.

Sunday, January 27, 2008

kemarin

Kemarin saya sangat yakin.

Kemarin impian itu sempat mampir.

Kemarin penuh praduga...(ah, sopo ngerti !)

 

Tapi itu kemarin. Sayangnya kemarin bukan sekarang.

Dan kemarin itu sudah berakhir.

 

 

26012008, 21.25 WIB

 

3 Menit dan Lampu Merah

Slama dunia masih berputar, perbedaan tak pernah pudar.

Terbawa keangkuhan manusia, tak ingin berbagi rasa.

Bukalah mata hati kita, bayangkan masa depan dunia.

Bersatu padu untuk melangkah, demi meraih harapan, dunia yang indah.

 

Reff.

Bayangkanlah kita semua, berjalan bersama, menuju hidup damai sejahtera.

Sempatkanlah untuk melihat disekitar kita, ada kesenjangan antara manusia.

Lihat sekitar kita.

 

Adakah setitik bahagia,yang tersimpan dihati kita.

Bergandengtangan dekatkan hati, raih kebebasan dalam cinta dan kasih.

 

Back to Reff.

 

Lihat Sekitar Kita,  dipopulerkan oleh  Trie Utami

 

 

Saya kenal lagu ini tahun 90an, ketika sering diajak bapak nonton pentasnya Kyai Kanjeng feat Trie Utami. Ini adalah lagu kesukaan saya. Favorit bahasa kerennya. Saya ingat, judul lagu ini pernah saya tuliskan di kertas metaplan saat ikut pelatihan CEFIL 18 di Satunama 2006 silam. Tapi waktu itu kalah tenar dengan lagu ”Darah Juang” untuk bersaing menjadi lagu wajib. 

 

Dan akhir-akhir ini, lagu ini saya nyanyikan, meski dengan suara pas-pasan. Maksudnya pas dijalan atas motor dengan helm tertutup J. Pemantiknya ketika ketika tiba-tiba tersadar bahwa semakin banyak jumlah orang berprofesi sebagai peminta di bangjo seputaran Yogyakarta. Saya bukan orang pertama. Hal ini pernah dikiritiki seorang pembaca di Kompas Jogja dalam tulisan berjudul Krida Lumahing Asta di rubrik keliling kota.

 

Berbagi rasa dengan cara yang tepat adalah satu hal yang susah dicari jawabannya untuk kasus ini. Bagi saya, hal ini sempat menjadi dilema. Dilema lampu merah, tiga menit yang melelahkan batin.  

 

Pemandangan yang membuat miris dan mangkel sering saya jumpai. Misalnya saja yang ada di pertigaan Gelael IAIN Suka beberapa saat lalu. Anak-anaknya mengemis di jalan, sedangkan sang orang tua hanya duduk ngleyeh sambil memberi perintah. ”Kae cepet diparani, kesed banget !” bentak seorang ibu yang jempol tangannya tampak sibuk dengan HP. Si anak yang usianya sekitar 3 tahun pun segera bangkit dengan kaki telanjang berjingkat menahan panas menghampiri motor saya. ”Mbak...,” sapanya sambil menyodorkan gelas air mineral bekas. Gasi kecil ini tampak lelah. Badannya kurus wajahnya tirus.

 

Saya yakin bahwa semua orangtua pasti ingin anak-anak dan keluarga hidup terkecukupan, tak terkecuali para orangtua ini. Hanya saja, mungkin mereka terlalu pasrah atas tekanan ekonomi yang dihadapi. Lantas memilih berprofesi menjadi peminta dan tak sedikit yang memilih mengkaryakan anak-anaknya berkerja mencari sekeping demi sekeping rupiah di jalanan. Diatas aspal yang kadang sangat panas dan becek. Sebuah selling strategy yang sepatutnya tidak dilakukan.  

 

Menurut saya, simpati dan empati sebenarnya tidak memerlukan strategi ini. Semuanya tergantung hati. Meski kadang hati sendiripun masih membutuhkan waktu berdebat. Tiga menit. Hingga sampai akhirnya lampu berganti warna hijau.

Thursday, January 24, 2008

Nadia Amorrita - lagi




Guiding to travels and foto hunt around Jogja

Start:     Jan 27, '08 05:00a
Location:     Jogja Kota dan sekitarnya
Menemani Saudara MP dan Flickr, mas Berandals yang dtg jauh2 di Washington DC berhunting ria di Jogja tercinta.

Tiba2 jadi binggung meh diajak kemana. Ada saran?

Monday, January 21, 2008

Kursus "Sabar"

Sabar…harus sabar. Nggak perlu kesusu dan grusa-grusu. Bukankah semua hal layak dinikmati. Kadang pahit berubah legit. Dan tak terkecuali sesi ini.

 

Tapi, sepertinya saya butuh kursus sabar…

Sunday, January 20, 2008

Foto Nostalgia Jaman Fitri Nari




Lagi-lagi saya kembali tersenyum geli melihat foto-foto ini. Geli bila ingat badan yang sekarang melar dan menjurus tak berbentuk. Apa masih wangun (pantas –red) berkembe ria bila perut berlipat tiga.. Ah, selalu saja imajinasinya bergerak bebas. Meskipun imajinasi liar tersebut sebenarnya pernah jadi kenyataan. Dulu..sepuluh tahun lalu.

Thursday, January 17, 2008

Foto Nostalgia Jaman Fitri Balita




Dulu saya blas nggak ada imut-imutnya. Kepala seperti gonteng, mata besar, bibir ngandul dan kulit sawo yang terlalu matang. Rambutpun kriwil bekas kepangan. Dan kemudian sekitar umur 4 tahunan sengaja di keriting kribo seperti Ruud Gullit. Ia adalah pemain sepak bola idola saya. Aneh ya ?

Beberapa dari foto-foto ini adalah hasil jepretan Ibu dan Bapak.

Foto-Foto Nostalgia Jaman Fitri TK




Nyuwun ngapunten sebelumnya, bila upload kali ini sedikit berbeda. Semua ini bermula dari upaya penyelamatan dokumen negara Iromejan 7 berupa dokumentasi perjalanan saya dari tahun ke tahun. Salah satunya adalah foto tatkala mengikuti berbagai macam lomba lukis medio 1990 – 1991.

Bapak dan Ibu selalu bergantian menemani. Kalau Bapak mengawal, Ibu yang jaga warung. Begitu sebaliknya. Bapak selalu membawa payung, topi dan sebotol sprite bercampur sedikit garam untuk saya. Dan bila ada rejeki lebih, Bapak punya bonus untuk saya. ”Nduk, nek kendel, mengko mampir Gembiro Loka (kebun binatang –red),” rayu bapak.

Adalah Om Aris Tantono, seorang langganan makan di Warung Marhaennya Bapak yang kemudian menjadi fotografer sukarela. Sayapun kedapuk menjadi model untuk ujian mata kuliah fotografinya. Tapi itu dulu, kata ibu ketika saya masih imut-imut. Dulu.

Hingga kemudian dialah yang melungsurkan kamera Ricohnya pada saya setelah diwisuda dan pergi ke Jakarta. Entah, bagaimana ceritanya kegemaran itu menular pada saya. Belajar mencuri ilmu dari foto-foto lamanya. Mencoba menangkap rasa dari sebuah cerita. Bukan berpose sebagai model, namun belajar memotret dibelakang lensa.

Semua foto adalah karya Aris Tantono, diambil dengan kamera Ricoh.


Tuesday, January 15, 2008

Suran Mbah Demang

Start:     Jan 16, '08 5:00p
Location:     Godean Yk
Semoga bisa ngejar cari-cari foto.

Sunday, January 13, 2008

Pasar Gede Solo Traditional Food Festival




Sabtu pagi, 12 Januari 2008, saya kembali lagi ke Solo dengan prameks pertama. Ajakan hunting foto dari Indie di Jumat pagi membuat saya mengulang perjalanan ke kota Liwet ini. 78 Tumpeng Jajan Pasar* di Hari Ulang Tahun Pasar Gede Hardjonegoro ke 78. Jumlah yang fantastis dan sayang bila dilewatkan.

Karena datang terlalu pagi (acara dimulai pkl. 13.00 WIB, 3 jam lebih lambat dari jadwal yang kami terima – red), kami pun berkeliling pasar. Pertama yang kami lakukan adalah bertanya arah pada sopir becak. Harap maklum, Indie dan saya sama-sama buta arah. Satu-satunya patokan kami adalah Gunung Merapi untuk arah utara. Kemudian bertanya pada staf kantor pasar, wawancara pada Koh Le le sang panitia, jajan soto sapi dan aneka penganan.

Jam 10.30, rombongan kami menjadi bertiga. Seorang kawan yang tadi kami tunggu di Stasiun Lempuyangan menyusul datang. Namanya mas Doni AKA donitole. Beliau ini baik dan komunikatif (Kemarin, dia memanggil pria berumur dengan sebutan Pakde, dari pakde parkir, pakde becak sampai pakde bakul angkringan –red). Pendekatan yang sangat menyenangkan dan bersahabat.

Acara 78 Tumpeng Jajan Pasar ini adalah satu dari serangkaian acara dalam rangka HUT pasar yang pernah terbakar pada tahun 1999 ini. Selain acara tumpeng, ada pula atraksi barongsai, pertunjukan musik & tari, pengobatan gratis dan launching website www.pasargede.net.

Perhelatan ini digagas oleh KOMPPAG, Komunitas Paguyupan Pedagang Pasar Gede dengan dana swadaya. Sebagai informasi, acara ini sempat akan urung dilakukan karena bencana banjir kemarin. Tetapi berkat tekad untuk menyokong pariwisata Solo pasca bencana, kegiatan pun diorganisir dalam waktu singkat.

Selamat Ulang Tahun Pasar Gede. Be a long – live heritage. Semoga laris ya!

Belajar Weweh dari Kanjeng Wir

Suran kemarin bermakna lebih. Tak hanya memperoleh informasi tentang sebuah prosesi budaya tapi sekaligus belajar dari Kanjeng Wir, seorang Pangarsa Prajurit Karaton Surakarta Hadiningrat.

 

Kanjeng Wir, begitu saya menyebut mengikuti para prajurit anak buah memanggil beliau. Usianya 70 tahun. Masih tampak gagah dan sigap meski tak lagi muda. Setiap hari beliau hidup sederhana. Berkaos singlet putih dan celana training biru dengan rambut di gelung kecil.

 

7 Kali Berganti Nama

 

Kanjeng Wir mulai bercerita di hari pertama saya tiba dirumahnya di Yosodipuran Pasar Kliwon Solo. Pria asal Bekonang Sukoharjo ini bertutur dengan bahasa jawa krama. Halus dan sangat mengalir. Beliau mengawali cerita dengan kisah 7 namanya. Nama kecilnya adalah Sukarno. Karena mengalami kehidupan yang tidak menyenangkan di usia belia, 7 th, Sukarno memutuskan pergi dari rumah. “Cilikan kula uripe rekoso,” ujarnya sambil menerawang.

 

Sukarno kemudian berganti menjadi Suripto Hadiwidodo. Ia mengembara dan ngenger ke beberapa orang. Pada akhirnya ia bekerja serabutan pada seorang Belanda. Suripto kecil adalah anak yang pintar dan kerap naik kelas 2 tingkat sekaligus. Juragan Belanda inilah yang menyekolahkannya hinggá SMP dan tingkat 1 SMEA serta mengongkosi biaya tetak (sunat –red) saat usianya 18 tahun.

 

Usia 19 tahun, Suripto berjalan di depan Keraton Surakarta Hadiningrat. Tak diduga ia bertemu dengan Sinuhun PB XII yang kemudian paring dawuh padanya untuk ndherek lan ngabekten pada kraton. Satu tahun dijalaninya dengan magang sebagai abdi dan 8 tahun digladi langsung oleh Sinuhun.

 

Tepat diusia 20th, di tahun 1958, Suripto resmi mengabdi pada Keraton Surakarta Hadiningrat. Ia bergelar Mas Ngabehi Yuda Wiranto. Nama yang diberikan langsung dari Sinuhun kepadanya. Selang beberapa tahun, berkat ketekuannya namanya pun berubah menjadi Mas Ngabehi Paraja Yuda Wiranto. Lalu berganti menjadi Raden Tumenggung Wiranto Dipura dan kemudian berubah menjadi Kanjeng Raden Tumenggung Wiranto Dipura. Terakhir, ia menyandang nama Kanjeng Raden Ario Tumenggung Wiranto Diningrat sebagai gelar kelimanya. Sebuah kepercayaan sebagai seorang penewu dan panglima prajurit sekaligus bagi seorang yang bukan darah biru.

 

Ngladosi Prajurit

 

Memikul tugas sebagai Pangarsa Prajurit Karaton Surakarta Hadiningrat bukanlah hal yang mudah. Setidaknya saat ini ada 189 prajurit sebagai anak buahnya. Setiap hari, Kanjeng Wir berkantor di Bangsal Magangan untuk mengatur pasukannya. ”Tugas kulo niku ngladosi prajurit,” jelasnya.

 

189 prajurit ini terbagi menjadi 8 kesatuan yaitu Tamtomo, Prawiroanom, Jayeng Astro, Sorogeni, Doropati, Joyosura, Mbaki dan Panyutro atau Siniwaka. Ini hanya sebagian kecil dari prajurit-prajurit yang dulu pernah ada. ”Saya punya cita-cita menghidupkan lagi 19 kesatuan prajurit,” katanya.  Sebenarnya ada 27 kesatuan dengan ribuan prajurit di kraton Solo.

 

Selain mempimpin prajurit, Kanjeng Wir juga bertanggungjawab pada proses perekrutannya. Untuk menjadi prajurit harus melewati 3 tahap yakni persyaratan administratif, wawancara dan magang selama 3 bulan. Pelamar harus berperawakang wiwing (tegap ramping -red), minimal lulus SMA dan tinggi 165 keatas khusus untuk Sorogeni. Menurutnya tahap yang terpenting adalah wawancara. ”Saking wawancara ki ketok, endi sing niat endi sing ora,” paparnya.

 

Hidup Sederhana dan Rejeki Sangkan Paran

 

”Mbak Fitri, rejeki niku sangkan paran”, ujarnya pada saya yang bertanya soal cara beliau menghidupi keluarga selama ini. Tahun ini adalah tahun pertama Kanjeng Wir mendapat blonjo (gaji-red) dari kraton setelah 50 tahun mengabdi. Beliau bercerita pada saya bahwa Sinuhun PB XII pernah paring lilah padanya. ”Kowe ora arep takwenehi blonjo, neng opo-opo sing tok ngetke iso dinggo urip!”

 

Kanjeng Wir adalah seorang sederhana namum multi talenta. Menjadi blantik, pembuat sepatu & jok kursi, mbengkel, jahit  sampai restorasi kereta bisa ia kerjakan. Saat ini beliaulah yang membuat seragam prajurit lengkap dengan aksesorisnya. Semuanya dikerjakannya sendiri di kamar ukuran 3x6 di lantai dua rumahnya. Beruntung, saya adalah orang kedua yang berkesempatan menyambagi ruang kerja ajaibnya setelah wartawan dari Kompas Priyambodo.

 

Endang Sadimi, istri Kanjeng Wir pun juga tak sanggup menjawab pertanyaan saya. ”Kulo nggih gumun, kakung niko damelan nopo-nopo saged,” bebernya. Menurut wanita kelahiran Bayat Klaten ini semua pekerjaan dikerjakan sendiri oleh Kakung (panggilan akrab Kanjeng Wir, membahasakan untuk 3 cucunya –red).

 

3 Orang Cucu Kesayangan

 

Kanjeng Wir memiliki 3 orang cucu dari putri tunggalnya Retno Kusrini. Ketiganya adalah Devy (14th), Yoga (9th) dan si kecil Diva (5th). Putri, anak mantu dan 3 orang cucunya tinggal dalam satu rumah. Rumah kecil yang selalu ramai dan guyup.

 

Ketika kami berbincang di ruang kerjanya, Kanjeng Wir bercerita tentang perjalanan hidupnya di keraton dan keluarganya. Beliau mengambil beberapa album foto yang tersimpan rapi di lemari berdampingan dengan buku-bukunya. Ruangan ini mirip perpustakaan kecil.

 

Anak kulo niko sakjane ayu,ning galak,” katanya sambil menunjuk foto mbak Retno. Menurut beliau MbaK Retno adalah orang paling galak dirumah ini. Dan sifat ini pun turun pada Diva. ”Diva niku netonne Setu Pahing, pawakan galak tur keras kepala, dados kedah dilus,” tuturnya sambil memangku cucu terkecilnya itu.

 

Belajar Weweh

 

2 hari satu malam di rumah Kanjeng Wir adalah pengalaman yang komplit. Proses belajar saya tak hanya dari buku yang diberikan tetapi justru dari cerita beliau. Cerita dan diskusi ketika dirumah, di keraton bahkan di sepanjang jalan dari kraton menuju rumah selesai kirab.

 

Beliau tak pernah menolak untuk ditanyai. Dan selalu bersedia menjawab. Sikap memberi seperti Inilah yang disebut beliau dengan istilah weweh.Kulo niku mboten sugih, namung saged weweh ilmu, ”ujarnya pada saya.

 

Di akhir diskusi kami, Kanjeng berpesan pada saya agar selalu berusaha bisa weweh semampunya. ”Godane tiyang weweh niku kibir, dados ampun kesupen,” imbuhnya. Sesuatu yang harus segera dimulai meski secara bertahap. Dan akan saya mulai dengan weweh foto, cerita dan seulas senyum dari kota Solo.

 

Yogyakarta 14 Januari 2008, Pkl. 02.24 WIB

 

Photos of Kanjeng Wir on : http://rachmasafitri.multiply.com/photos/album/69/Kanjeng_Wir

Kanjeng Wir




Suran kemarin bermakna lebih. Tak hanya memperoleh informasi tentang sebuah prosesi budaya tapi sekaligus belajar dari Kanjeng Wir, seorang Pangarsa Prajurit Karaton Surakarta Hadiningrat.

Kanjeng Wir, begitu saya menyebut mengikuti para prajurit anak buah memanggil beliau. Usianya 70 tahun. Masih tampak gagah dan sigap meski tak lagi muda. Setiap hari beliau hidup sederhana. Berkaos singlet putih dan celana training biru dengan rambut di gelung kecil.

Thursday, January 10, 2008

Kirab Malam 1 Suro ; Kisah Semalam Menyeberang Solo




Kanjeng Wir, Pangarsa Prajurit Karaton Surakarta Hadiningrat menemani saya menikmati Solo malam itu. Membimbing langkah saya menuju kraton dengan tujuh piweling. Tata krama, tata busana, tata susila, tata wicara, tata cara, tata basa dan tata rasa. Adalah hal yang harus diugemi dan dilakoni. Sekaligus menginggat beberapa larangan untuk tempat-tempat yang wingit.

Berkebaya cemeng, jarik solo latar sogan, samir, radyalaksana di dada kiri terasa mengasikkan. Kami berbaris tiga-tiga bersama 30an anak buah beliau. Saya menjadi satu-satunya perempuan diantara dari rombongan. Kedung Lumbu, Kampung Arab dan Baluwarti dilewati dengan nyeker alias bertelanjang kaki. Awalnya mengasikkan, karena jalan baru saja diaspal. Sejurus lalu, sayapun meringis. Kerikil-kerikil kecil mulai akrab di telapak kaki. Inilah footspa perdana saya.

Gerbang Kraton sudah regeng malam itu. Bakda Isya, semuanya menyemut. Masyarat, abdi dan kerabat mulai berdatangan ke kraton menanti wilujengan disambung kirab pusaka dan kebo bule. Suran disongsong dengan penuh cahaya. Malam berganti dan saya ikut menjemput pagi. Suran memberi warna baru pada perjalanan hidup saya. Melebihi warna pada dua telapak kaki yang memerah panas.


Sunday, January 6, 2008

Masjid Agung Kauman




Kaki ini terus melangkah. Beringsut menuju Masjid Gedhe Kauman dari Alun-Alun Utara. Saya pun mengintip dari pintu samping sisi utara. Sesaat terlihat lengang. Sesaat kemudian terlihat ramai setelah memperlebar langkah. Riuh itu milik siapa ya? Bukan pengajian ibu-ibu. Bukan pula lantunan tadarus anak-anak TPA. Oh, rupanya sore itu ada 2 kesebelasan yang sedang bertanding di halaman depan masjid. Sore ini tidak turun hujan, dan merekapun bermain.

Mbablaske Laku

Sudah hampir 3 tahun terakhir saya selalu melewati tahun baru dengan jalan kaki dari rumah ke alun-alun pergi pulang. Berbekal kamera dan uang secukupnya, 25 ribu rupiah. (cukup untuk jaga-jaga naik becak satu rute, beli roti Djoen dan beli teh botol dingin). Kecuali malam tahun baru kemarin yang hanya berlalu dirumah.

 

Tapi absen kemarin terganti dengan jalan kaki hari ini. Ceritanya saya sedang mbablaske laku. Bermula dari Malioboro, memotret Kirab Budaya Yogya sampai blusukan di kampung Kauman dan berakhir di Pulo Cemeti Ngasem. Berhubung rutenya terlalu jauh, pulangnya dijemput mas Tian.

 

Anehnya, saya kok nggak ngerasa capek. Selama ini uang jaga-jaga becak belum pernah dipakai. Lha wong yang justru capek adalah Pak becak yang nawari becaknya pada saya. Saya masih ingat, dulu seorang pengemudi becak pernah ngomong begini : “Mbake niku lho, kawit wau kok mboten kesel mlampah terus, saking Tugu tekan Ngasem”. Hahaha..rupanya si bapak tadi memperhatikan saya.

 

Lebih aneh lagi kenapa saya juga tetap nggak bisa dan takut dengan olahraga. Padahal aktivitas dan gerak kakinya tidak jauh berbeda. Dulu, zaman masih sekolah, selalu dapat nilai dibawah rata-rata kelas untuk pelajaran ini. Lha wong misalnya pelajaran olahraga hari Rabu, hari Minggu saya sudah nyicil sakit perut. Mungkin kena sindrom sportphobia. Jatuhnya pasti mbolos pelajaran olahraga yang berbuntut hukuman dari guru saya. Siksaan terberat saya adalah hukuman lari 9 putaran lapangan sepakbola IKIP Karangmalang.

 

Biasanya pas sampai rumah, biasanya ibu langsung bertanya: ”Bablas tekan endi Mbak? Kok tekan yahmene?” Tapi biasanya tanya ibu tidak berbutut panjang setelah mendengar cerita dan melihat foto dari kamera saya. ”Gek wis wisuh terus fotone disetel”, begitu ujarnya. Ah.. lega. Ibu saya batal marah.

Batik Handel Kauman




Terimakasih buat Mas Yoan atas petunjuknya. http://mahandisyoanata.multiply.com/photos/album/87/HOUSE_OF_BATIKHANDEL_IN_KAUMAN_DJOCKJA

Kirab Budaya Yogyakarta




Thursday, January 3, 2008

Balada Cinta Segitiga


when the life give you lots of choices


Bicara tentang titik adalah menyoal tentang yang terkunci. Tidak ada keraguan, tanpa ada kebimbangan, hanya ada kepastian.

Sedangkan koma, lebih luwes dan fleksibel. Padanya masih terbuka kesempatan berpikir dan bernafas. Merancang langkah dalam jeda yang ada.

*konteksnya bagi hubungan berkomitmen lho, yang disaksikan penghulu...

Kirab Malam 1 Sura

Start:     Jan 9, '08 08:00a
End:     Jan 10, '08
Location:     Pura Mangkunegaran dan Keraton Kasunanan Surakarta
asikkkk... akhirnya dapat pass masuk ke kraton. Nuwun Pak Wir