Beginilah nasib dari seorang yang byaya’an dan sok lincah. Sepetinya kata ke empat terakhir tadi perlu di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. “Byaya’an hampir sama dengan terlalu banyak gerak. Rabu sore kemarin, dengan air muka yang bercampur antara sakit, malu dan jengkel plus jerit kesakitan, saya jatuh terduduk dengan pose yang sangat “manis” ditangga pintu samping kantor. Bukan salah hujan, ubin atau sandal jepitnya.
Meski bantalan saya lumayan tebal, sekarang saya masih kesakitan. Sepanjang hari kemarin, punggung, pinggul dan panggul nyeri bin memar. Hampir 4 tukang urut yang disodorkan oleh ibu atau bapak. Sayangnya, Ibu terapis langganannya Simbah kebetulan lagi plesir ke Puncak selama seminggu. Dan, mau nggak mau, saya harus urut ke seorang bapak yang memang ahli di pijat bayi, orang jogja menyebutnya dadah.
Kamis pagi, saya absen dari kantor dan segera meluncur untuk pijat. Dan berkumpulan saya dengan 8 orang bayi yang juga ngantri untuk dadah. Kata bapak, saya juga bayi, tapi lebih tepat disebut bayi tuwek yang tedas peyek. Upss...