Setelah sekian lama berusaha, akhirnya saya berhasil juga. Dengan berpura-pura memotret langit, saya memperoleh foto beliau. Pagi itu beliau sedang melakukan aktifitas keempatnya yaitu mengupas buncis di lincak bambu depan rumah.
Simbah yang saya panggil Simbok ini memang susah difoto. Meski sudah sering kali berusaha mencuri-curi kesempatan, selalu saja hasilnya tidak natural. Kalaupun “ditembung” beliau selalu menolak. “Mbokne elek ngene kok meh difoto, ra patut,” ucapnya beliau sambil mecucu.
Simbok dan saya punya kebiasaan lucu. Mengingat pendengarannya yang sudah berkurang, saya harus mengulang lebih dari 3 kali setiap saya pamit. Semakin sering saya pergi semakin sering saya pamit. Terlebih bila saya akan berpergian jauh dan dalam waktu yang lama. Perlu ancang-ancang waktu untuk “mblabari omongan” atau dengan kata lain memberi prolog atau introduksi.
Hampir sama seperti ibu, simbok juga punya saran andalan bagi saya yaitu agar tidak pulang malam dan segera mandi bila baru saja pulang dari bepergian. Untuk hal yang terakhir ada cerita lucunya. Meski saya sudah mandi, ganti baju dan wangi, beliau tetap saya menyuruh saya mandi. Aduh, apakah tidak terlihat berbeda antara belum dan sudah ya? Ibupun terbahak dan saya pun ndremimil..