Sunday, September 13, 2009

Simbok Wir




Setelah sekian lama berusaha, akhirnya saya berhasil juga. Dengan berpura-pura memotret langit, saya memperoleh foto beliau. Pagi itu beliau sedang melakukan aktifitas keempatnya yaitu mengupas buncis di lincak bambu depan rumah.

Simbah yang saya panggil Simbok ini memang susah difoto. Meski sudah sering kali berusaha mencuri-curi kesempatan, selalu saja hasilnya tidak natural. Kalaupun “ditembung” beliau selalu menolak. “Mbokne elek ngene kok meh difoto, ra patut,” ucapnya beliau sambil mecucu.

Simbok dan saya punya kebiasaan lucu. Mengingat pendengarannya yang sudah berkurang, saya harus mengulang lebih dari 3 kali setiap saya pamit. Semakin sering saya pergi semakin sering saya pamit. Terlebih bila saya akan berpergian jauh dan dalam waktu yang lama. Perlu ancang-ancang waktu untuk “mblabari omongan” atau dengan kata lain memberi prolog atau introduksi.

Hampir sama seperti ibu, simbok juga punya saran andalan bagi saya yaitu agar tidak pulang malam dan segera mandi bila baru saja pulang dari bepergian. Untuk hal yang terakhir ada cerita lucunya. Meski saya sudah mandi, ganti baju dan wangi, beliau tetap saya menyuruh saya mandi. Aduh, apakah tidak terlihat berbeda antara belum dan sudah ya? Ibupun terbahak dan saya pun ndremimil..

Bubur Pandak dalam Piring Indonesia




Semua orang pasti mengenal bubur. Selayaknya soto, menu ini hampir bisa ditemui di seluruh tempat di Indonesia. Meski bubur ada dimana-mana, tapi masing-masing pasti punya ciri khas. Seperti bubur atau "jenang lemu" yang disajikan di sebuah masjid peninggalan Panembahan Bodho di dusun Kauman desa Wijirejo kecamatan Pandak kabupaten Bantul.

Bubur ini memang sekilas tanpa biasa. Satu hal yang berbeda adalah waktu dan cara penyajiaannya. Bubur ini hanya disajikan saat bulan Ramadan dan diperuntukkan untuk para warga dusun Kauman dan jamaaah Masjid Sabiilurrosyad. Bubur ini menjadi menu reguler berbuka atau yang biasa disebut ”takjil”.

Setiap harinya Pak Wardano, Takmir Masjid Sabiilurosyad memasak 3 kilo beras yang nantinya akan dapat dinikmati oleh sekitar 70 orang. Rasa gurih ini diperoleh dari santan kental hasil perasan 5 butir kelapa tua yang dipetik dari sekitar masjid. Perasan kedua kelapa ini juga dipakai untuk memasak sayur lodeh tahu tempe sebagai pelengkap sekaligus lauk bubur.

Menurut penuturan Pak Wardani dan Pak Yurqoni, tradisi bubur ini telah dilakukan sejak berpuluh-puluh tahun silam. Cara penyajiaannya pun unik yaitu dengan menggunakan cobek dari tanah lempung. ”Jaman dulu buburnya tanpa sayur, jadi cuma bubur dan makannya pun pakai cobek,” ujar mereka bernostalia. Tak jarang dari mereka yang menambah buah talok dan ceplukan yang dicari pada sore hari sebagai lauk.

Sepuluh tahun terakhir, cobek telah pensiun. ”Sekarang kami pakai piring Indonesia,” ucap salah satu warga sambil tertawa. Piring Indonesia yang dimaksud adalah piring blek. Selain karena harganya yang relatif murah, piring berwarna putih dan kuning dengan warna biru di bibir piring ini juga tahan lama. Maklum, mayoritas pemakainya adalah anak-anak dengan polah yang beraneka.

Sore lalu (30/08/09), sebanyak 28 anak menanti saat berbuka dengan mengaji dan mewarnai. Fitri Nurhandayani, salah satu remaja masjid yang menjadi pembimbing anak-anak di TPA ini mengatakan bahwa meski kuah sayur agak pedas, anak-anak tetap lahap menyantap. ”Biasanya kalau ada donatur, akan ada tambahan lauk atau buah,” imbuh gadis siswi SMK 1 Bantul ini.

Tak sampai sepuluh menit dari adzan dan beduq yang ditabuh, puluhan piring Indonesia telah kosong. Tak ada bubur yang tersisa. Hanya ada sisa remahan wafer coklelat yang menggantikan buah talok sebagai lauk tambahan.