Cahwati & Widya Ayu meliuk disamping sebuah dolmen berbentuk kura-kura. Sedetik kemudian sampurnya terlempar seiring dengan gerakan kaki yang rancak dan goyangan pinggulnya yang sensual. Sebagai penampil kedua, Cahwati dan kelompok Pring Sereret miliknya berhasil mengundang perhatian banyak orang. Grup ini berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 orang penari, seorang sinden dan 2 orang pemusik. Dengan kostum warna merah, keduanya menari koreografi berjudul Senggote dengan penuh semangat.
Selintas seolah biasa-biasa saja saat Srawung Candi digelar tanggal 1 Januari 2010 lalu. Tetapi ada satu hal istimewa tatkala 2 hal yang sama-sama terstigma bertemu. Hal istimewa tersebut adalah pementasan Lengger di pelataran Candi Sukuh Karanganyar Jawa Tengah.
Ini adalah kali pertama saya mengunjungi Candi Sukuh. Terletak di dusun Sukuh desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, Sukuh adalah candi Hindu peninggalan Brawijaya VII. Oleh beberapa orang yang kurang paham, Candi ini kerap pula disebut sebagai candi porno hanya karena memiliki visualisasi lingga dan yoni yang sangat jelas. Dalam wikipedia sekalipun, tertulis bahwa Sukuh digolongkan sebagai candi kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.
Hal yang sama terjadi pula pada kesenian Lengger dari Banyumas. Dalam tulisan Surahmat, penggiat Komunitas Nawaksara di Kompas pada 20 Oktober 2009, tarian ini kemudian dicitrakan sebagai kesenian yang kuno, kaku dan erotis. Selain stigma porno, stigma PKIpun juga sempat melekat pada tarian yang awalnya dipentaskan untuk acara pasca panen.
Selain pentas Pring Sereret, deretan seniman dari beberapa kota besar di Indonesia dan luar negeri turut ambil bagian. Pentas pertama adalah konsep tarian bertajuk Dewi Uma. Pentas lain yang juga mencuri perhatian adalah suguhan tarian dari Dayak Kalimantan Barat. Tiga penari berkostum lengkap dengan bulu-bulu ekor bulu Enggang menari di puncak Candi Sukuh. Gerakan ritmisnya semakin mempesona saat gerimis mulai turun.
Ingin ke Sukuh dan Cetho?
Dengan transportasi umum, dari Yogyakarta Sukuh dapat ditempuh dengan menumpang Kereta Prameks jurusan Solo Balapan. Dari Stasiun Solo Balapan Lama saya mengambil jalan belakang stasiun menembus kampung tepat di belakang Terminal Tirtonadi. Hanya 10 menit dengan berjalan kaki. Bila bepergian pagi, direkomendasikan untuk menikmati nasi rames Bu Nah di kios ujung terminal Tirtonadi. Ketika perut sudah terisi, bus dua pintu jurusan Tawangmangu telah menanti. Bus ini adalah bus pertama yang hanya mengantarkan kita menuju terminal kecil Karangpandan. Ada baiknya untuk tidak langsung mencari bus kedua jurusan Kemuning karena pasar unggas Karangpandan samping terminal juga menarik didokumentasikan.
Apabila tujuan pertama adalah candi Sukuh, desa Nglorog adalah pemberhentian yang paling tepat. Tapi bila Cetho yang diprioritaskan, berhentilan di Terminal Kemuning. Didua tempat tersebut, deretan ojek siap mengantar kita menuju lokasi candi dengan jalan yang menanjak. 2 kilo untuk Sukuh dengan pemandangan pepohonan Cengkeh yang menua dan 8 kilo untuk Cetho dengan pemandangan perbukitan teh Kemuning di dusun Jenawi.
Mengakhiri hari disarankan untuk menyantap segelas teh gardhoe yang merupakan olehan dari pucuk daun teh Kemuning. Teh yang bening dengan rasa sepet ini cocok menemani sepiring nasi Tumpang khas Karanganyar. Kami menemukannya di warung pojok Nglorog.
Berapa anggaran yang harus disediakan?
Prameks PP : Rp. 16.000
Bus Jurusan Tawangmangu (Tirtonadi – Karangpandan) PP : Rp. 14.000
Bus Jurusan Kemuning (Karangpandan – Nglorog) PP : Rp. 5.000
Ojek Nglorog – Sukuh : Rp. 5.000
Ojek Sukuh – Cetho PP : Rp. 50.000