Tuesday, June 15, 2010

Lengger diatas Sukuh




Cahwati & Widya Ayu meliuk disamping sebuah dolmen berbentuk kura-kura. Sedetik kemudian sampurnya terlempar seiring dengan gerakan kaki yang rancak dan goyangan pinggulnya yang sensual. Sebagai penampil kedua, Cahwati dan kelompok Pring Sereret miliknya berhasil mengundang perhatian banyak orang. Grup ini berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 orang penari, seorang sinden dan 2 orang pemusik. Dengan kostum warna merah, keduanya menari koreografi berjudul Senggote dengan penuh semangat.



Selintas seolah biasa-biasa saja saat Srawung Candi digelar tanggal 1 Januari 2010 lalu. Tetapi ada satu hal istimewa tatkala 2 hal yang sama-sama terstigma bertemu. Hal istimewa tersebut adalah pementasan Lengger di pelataran Candi Sukuh Karanganyar Jawa Tengah.

Ini adalah kali pertama saya mengunjungi Candi Sukuh. Terletak di dusun Sukuh desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, Sukuh adalah candi Hindu peninggalan Brawijaya VII. Oleh beberapa orang yang kurang paham, Candi ini kerap pula disebut sebagai candi porno hanya karena memiliki visualisasi lingga dan yoni yang sangat jelas. Dalam wikipedia sekalipun, tertulis bahwa Sukuh digolongkan sebagai candi kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.



Hal yang sama terjadi pula pada kesenian Lengger dari Banyumas. Dalam tulisan Surahmat, penggiat Komunitas Nawaksara di Kompas pada 20 Oktober 2009, tarian ini kemudian dicitrakan sebagai kesenian yang kuno, kaku dan erotis. Selain stigma porno, stigma PKIpun juga sempat melekat pada tarian yang awalnya dipentaskan untuk acara pasca panen.



Selain pentas Pring Sereret, deretan seniman dari beberapa kota besar di Indonesia dan luar negeri turut ambil bagian. Pentas pertama adalah konsep tarian bertajuk Dewi Uma. Pentas lain yang juga mencuri perhatian adalah suguhan tarian dari Dayak Kalimantan Barat. Tiga penari berkostum lengkap dengan bulu-bulu ekor bulu Enggang menari di puncak Candi Sukuh. Gerakan ritmisnya semakin mempesona saat gerimis mulai turun.

Ingin ke Sukuh dan Cetho?

Dengan transportasi umum, dari Yogyakarta Sukuh dapat ditempuh dengan menumpang Kereta Prameks jurusan Solo Balapan. Dari Stasiun Solo Balapan Lama saya mengambil jalan belakang stasiun menembus kampung tepat di belakang Terminal Tirtonadi. Hanya 10 menit dengan berjalan kaki. Bila bepergian pagi, direkomendasikan untuk menikmati nasi rames Bu Nah di kios ujung terminal Tirtonadi. Ketika perut sudah terisi, bus dua pintu jurusan Tawangmangu telah menanti. Bus ini adalah bus pertama yang hanya mengantarkan kita menuju terminal kecil Karangpandan. Ada baiknya untuk tidak langsung mencari bus kedua jurusan Kemuning karena pasar unggas Karangpandan samping terminal juga menarik didokumentasikan.

Apabila tujuan pertama adalah candi Sukuh, desa Nglorog adalah pemberhentian yang paling tepat. Tapi bila Cetho yang diprioritaskan, berhentilan di Terminal Kemuning. Didua tempat tersebut, deretan ojek siap mengantar kita menuju lokasi candi dengan jalan yang menanjak. 2 kilo untuk Sukuh dengan pemandangan pepohonan Cengkeh yang menua dan 8 kilo untuk Cetho dengan pemandangan perbukitan teh Kemuning di dusun Jenawi.

Mengakhiri hari disarankan untuk menyantap segelas teh gardhoe yang merupakan olehan dari pucuk daun teh Kemuning. Teh yang bening dengan rasa sepet ini cocok menemani sepiring nasi Tumpang khas Karanganyar. Kami menemukannya di warung pojok Nglorog.

Berapa anggaran yang harus disediakan?

Prameks PP : Rp. 16.000
Bus Jurusan Tawangmangu (Tirtonadi – Karangpandan) PP : Rp. 14.000
Bus Jurusan Kemuning (Karangpandan – Nglorog) PP : Rp. 5.000
Ojek Nglorog – Sukuh : Rp. 5.000
Ojek Sukuh – Cetho PP : Rp. 50.000

Monday, June 14, 2010

Pandol; Sembrono Pari Keno ala Gandrik




Siapa yang tak kenal duo seniman kakak beradik bernama Butet Kartarejasa dan Djaduk Ferianto? Bagi publik Jogjakarta, dua nama ini menjadi jaminan berjubelnya penonton dan riuhnya pentas dengan guyon sembrono pari keno. Canda khas yang serba spontan dan membuat seisi Taman Budaya Yogyakarta tertawa lepas.

Dua pekan silam mereka dengan bendera Gandrik kembali berkolaborasi dalam satu panggung membawakan pentas berjudul Pandol (Panti Idola). Ini adalah pementasan kedua setelah Jakarta yang sukses membuat penonton antri masuk gedung pertunjukan. Sebuah cerita yang mengangkat isu politik di Indonesia lengkap dengan sindiran cerdas karya Heru Kesawa Murti.



Pandol dibuka dengan joget dan parikan Ludruk khas ala Jawa Timuran. Sampur warna-warni mengembang dari badan para pemain yang berjumlah 22 orang. Deretan pemain muda seperti Broto Wijayanto, Very Ludiyanto, Cilik Tri Pamungkas dan sejumlah nama lain memberikan warna tersendiri. Pemain senior seperti Susilo Nugroho, Whani Dharmawan dan Sepnu Heryanto juga tetap bermain apik.

Adalah Bupati Kotabulus (Butet K) yang membangun Panti Perawatan Mental Korban Korupsi di wilayahnya. Panti itu kemudian lebih dikenal sebagai Panti Idola atau PAN-DOL. Pandol adalah pembudayaan baru Bupati bahwa korupsi hanya bisa dilawan oleh para korban korupsi.



Digambarkan bahwa di Kotabulus praktek korupsi telah merajalela. Sampai-sampai dua orang anggota Dewan Perwakilan Daerah Owel (Whani Darmawan) dan Maekani secara terang-terangan melakukan praktek jual-beli Peraturan Daerah. “Perda-perda..DAU, siapa mau pesan?” teriak mereka bersahutan persis para perdagangan air mineral di terminal-terminal.



Pandol membuat Bupati Kotabulus memperoleh Penghargaan Nasional dari Presiden karena kinerjanya telah diakui dunia sebagai obat ampuh pemberantasan korupsi. 50 kasus korupsi berkurang setiap tahunnya. Semakin banyak orang yang bermasalahan dengan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan ingin masuk Pandol dan menyebut dirinya sebagai korban korupsi.

Di lain pihak, tersebutlah Palaran (Susilo Nugroho) dan Hasrat (Sepnu Heryanto) dua pemeriksa dari Panita Pemberantasan Korupsi yang dengan bersemangat mencecar dua Kepala Dinas, Masgul dan Aleman. Masgul dan Aleman selama ini bersama Dinas lainnya memberikan dukungan anggaran luar biasa banyaknya per tahun kepada PAN-DOL atas perintah Bupati. Direktur Pandol, Sirahe Sigar semakin memperkuat dugaan korupsi ini.



Namun seperti kenyataan yang terjadi di Indonesia, Aparatus Kabupaten Kota Bulus segera bertindak cepat untuk menutupi praktek koruspsi dengan membuat peraturan baru. Bupati Kotabulus telah berhasil mensahkan Peraturan Daerah, mengangkat Direktur Pandol untuk menjadi Kepala Badan Pengawasan Kabupaten, serta menempatkan Panita Pemberantasan Korupsi sebagai unit terkecil di bawah Bidang Pengawasan Internal, Badan Pengawasan Kabupaten.

Taman Budaya Yogyakarta, 4 Juni 2010

Thursday, June 10, 2010

Lasem; Sebuah Perjumpaan Kedua




Setelah 15 jam perjalanan dari Jakarta, kami tiba di Lasem tepat pukul setengah enam pagi. Kami berhenti tepat di pertigaan Masjid Agung Lasem dan langsung diserbu enam orang pengemudi ojek. Tiga orang teman saya yang lain satu persatu menyingkir. Tinggalah saya seorang diri yang berjuang menawar harga untuk perjalanan menuju desa Sendangcoyo, mengejar puja bahkti yang setengah jam lagi akan dimulai. Harga pun disepakati, limabelas ribu untuk satu motor dan satu penumpang. Setidaknya ini lebih manusiawi ketimbang satu motor dua penumpang dengan harga duapuluh ribu, seperti penawaran sebelumnya.



Mas Wibi, Mas Andi dan Mas Ivan melesat dengan cepat sementara saya ada diurutan paling belakang, menunggu si Bapak Ojek memakai sapu tangan merahnya sebagai pelindung muka. Kami melewati pemukiman penduduk dengan rumah-rumah teduh dan areal perkebunan sekaligus penambangan batu. Jalan pintas yang sempat membuat cemas.



Akhirnya kami sampai di Vihara Ratanavana Arama dan berkumpul dengan pemeluk Budha dari petinggen Sentulsalak Kecamatan Kluwak Pati Jawa Tengah. Dengan menumpang 3 bis yang dicarter secara berkelompok, mereka secara rutin beribadah puja bhakti setiap perayaan Waisak, ritual sederhana yang khusuk dan sarat makna. Sebuah keheningan di perbukitan kapur pesisir pantai utara yang diakhiri dengan ziarah di Candi Sudhammo Mahathera.