Suran kemarin bermakna lebih. Tak hanya memperoleh informasi tentang sebuah prosesi budaya tapi sekaligus belajar dari Kanjeng Wir, seorang Pangarsa Prajurit Karaton Surakarta Hadiningrat.
Kanjeng Wir, begitu saya menyebut mengikuti para prajurit anak buah memanggil beliau. Usianya 70 tahun. Masih tampak gagah dan sigap meski tak lagi muda. Setiap hari beliau hidup sederhana. Berkaos singlet putih dan celana training biru dengan rambut di gelung kecil.
7 Kali Berganti Nama
Kanjeng Wir mulai bercerita di hari pertama saya tiba dirumahnya di Yosodipuran Pasar Kliwon Solo. Pria asal Bekonang Sukoharjo ini bertutur dengan bahasa jawa krama. Halus dan sangat mengalir. Beliau mengawali cerita dengan kisah 7 namanya. Nama kecilnya adalah Sukarno. Karena mengalami kehidupan yang tidak menyenangkan di usia belia, 7 th, Sukarno memutuskan pergi dari rumah. “Cilikan kula uripe rekoso,” ujarnya sambil menerawang.
Sukarno kemudian berganti menjadi Suripto Hadiwidodo. Ia mengembara dan ngenger ke beberapa orang. Pada akhirnya ia bekerja serabutan pada seorang Belanda. Suripto kecil adalah anak yang pintar dan kerap naik kelas 2 tingkat sekaligus. Juragan Belanda inilah yang menyekolahkannya hinggá SMP dan tingkat 1 SMEA serta mengongkosi biaya tetak (sunat –red) saat usianya 18 tahun.
Usia 19 tahun, Suripto berjalan di depan Keraton Surakarta Hadiningrat. Tak diduga ia bertemu dengan Sinuhun PB XII yang kemudian paring dawuh padanya untuk ndherek lan ngabekten pada kraton. Satu tahun dijalaninya dengan magang sebagai abdi dan 8 tahun digladi langsung oleh Sinuhun.
Tepat diusia 20th, di tahun 1958, Suripto resmi mengabdi pada Keraton Surakarta Hadiningrat. Ia bergelar Mas Ngabehi Yuda Wiranto. Nama yang diberikan langsung dari Sinuhun kepadanya. Selang beberapa tahun, berkat ketekuannya namanya pun berubah menjadi Mas Ngabehi Paraja Yuda Wiranto. Lalu berganti menjadi Raden Tumenggung Wiranto Dipura dan kemudian berubah menjadi Kanjeng Raden Tumenggung Wiranto Dipura. Terakhir, ia menyandang nama Kanjeng Raden Ario Tumenggung Wiranto Diningrat sebagai gelar kelimanya. Sebuah kepercayaan sebagai seorang penewu dan panglima prajurit sekaligus bagi seorang yang bukan darah biru.
Ngladosi Prajurit
Memikul tugas sebagai Pangarsa Prajurit Karaton Surakarta Hadiningrat bukanlah hal yang mudah. Setidaknya saat ini ada 189 prajurit sebagai anak buahnya. Setiap hari, Kanjeng Wir berkantor di Bangsal Magangan untuk mengatur pasukannya. ”Tugas kulo niku ngladosi prajurit,” jelasnya.
189 prajurit ini terbagi menjadi 8 kesatuan yaitu Tamtomo, Prawiroanom, Jayeng Astro, Sorogeni, Doropati, Joyosura, Mbaki dan Panyutro atau Siniwaka. Ini hanya sebagian kecil dari prajurit-prajurit yang dulu pernah ada. ”Saya punya cita-cita menghidupkan lagi 19 kesatuan prajurit,” katanya. Sebenarnya ada 27 kesatuan dengan ribuan prajurit di kraton Solo.
Selain mempimpin prajurit, Kanjeng Wir juga bertanggungjawab pada proses perekrutannya. Untuk menjadi prajurit harus melewati 3 tahap yakni persyaratan administratif, wawancara dan magang selama 3 bulan. Pelamar harus berperawakang wiwing (tegap ramping -red), minimal lulus SMA dan tinggi 165 keatas khusus untuk Sorogeni. Menurutnya tahap yang terpenting adalah wawancara. ”Saking wawancara ki ketok, endi sing niat endi sing ora,” paparnya.
Hidup Sederhana dan Rejeki Sangkan Paran
”Mbak Fitri, rejeki niku sangkan paran”, ujarnya pada saya yang bertanya soal cara beliau menghidupi keluarga selama ini. Tahun ini adalah tahun pertama Kanjeng Wir mendapat blonjo (gaji-red) dari kraton setelah 50 tahun mengabdi. Beliau bercerita pada saya bahwa Sinuhun PB XII pernah paring lilah padanya. ”Kowe ora arep takwenehi blonjo, neng opo-opo sing tok ngetke iso dinggo urip!”
Kanjeng Wir adalah seorang sederhana namum multi talenta. Menjadi blantik, pembuat sepatu & jok kursi, mbengkel, jahit sampai restorasi kereta bisa ia kerjakan. Saat ini beliaulah yang membuat seragam prajurit lengkap dengan aksesorisnya. Semuanya dikerjakannya sendiri di kamar ukuran 3x6 di lantai dua rumahnya. Beruntung, saya adalah orang kedua yang berkesempatan menyambagi ruang kerja ajaibnya setelah wartawan dari Kompas Priyambodo.
Endang Sadimi, istri Kanjeng Wir pun juga tak sanggup menjawab pertanyaan saya. ”Kulo nggih gumun, kakung niko damelan nopo-nopo saged,” bebernya. Menurut wanita kelahiran Bayat Klaten ini semua pekerjaan dikerjakan sendiri oleh Kakung (panggilan akrab Kanjeng Wir, membahasakan untuk 3 cucunya –red).
3 Orang Cucu Kesayangan
Kanjeng Wir memiliki 3 orang cucu dari putri tunggalnya Retno Kusrini. Ketiganya adalah Devy (14th), Yoga (9th) dan si kecil Diva (5th). Putri, anak mantu dan 3 orang cucunya tinggal dalam satu rumah. Rumah kecil yang selalu ramai dan guyup.
Ketika kami berbincang di ruang kerjanya, Kanjeng Wir bercerita tentang perjalanan hidupnya di keraton dan keluarganya. Beliau mengambil beberapa album foto yang tersimpan rapi di lemari berdampingan dengan buku-bukunya. Ruangan ini mirip perpustakaan kecil.
”Anak kulo niko sakjane ayu,ning galak,” katanya sambil menunjuk foto mbak Retno. Menurut beliau MbaK Retno adalah orang paling galak dirumah ini. Dan sifat ini pun turun pada Diva. ”Diva niku netonne Setu Pahing, pawakan galak tur keras kepala, dados kedah dilus,” tuturnya sambil memangku cucu terkecilnya itu.
Belajar Weweh
2 hari satu malam di rumah Kanjeng Wir adalah pengalaman yang komplit. Proses belajar saya tak hanya dari buku yang diberikan tetapi justru dari cerita beliau. Cerita dan diskusi ketika dirumah, di keraton bahkan di sepanjang jalan dari kraton menuju rumah selesai kirab.
Beliau tak pernah menolak untuk ditanyai. Dan selalu bersedia menjawab. Sikap memberi seperti Inilah yang disebut beliau dengan istilah weweh. ”Kulo niku mboten sugih, namung saged weweh ilmu, ”ujarnya pada saya.
Di akhir diskusi kami, Kanjeng berpesan pada saya agar selalu berusaha bisa weweh semampunya. ”Godane tiyang weweh niku kibir, dados ampun kesupen,” imbuhnya. Sesuatu yang harus segera dimulai meski secara bertahap. Dan akan saya mulai dengan weweh foto, cerita dan seulas senyum dari kota Solo.
Yogyakarta 14 Januari 2008, Pkl. 02.24 WIB
Photos of Kanjeng Wir on : http://rachmasafitri.multiply.com/photos/album/69/Kanjeng_Wir
cerita yang inspiratiff,....
ReplyDeletenggak ke luar kota lagi?
belum ada rencana mas,.. lg nabung pengen ke Madura
ReplyDeleteterkesan sekali saya dengan tulisan ini , terutama pengalaman yang tentunya sangat berharga sekali.
ReplyDeletenamun ada beberapa yang masih perlu sedikit penjelasan kiranya, terutama saya ini yang 'dudujowo alus' :-). yaitu:
”Mbak Fitri, rejeki niku sangkan paran”, sangkan paran itu filosofinya gimana ya ?
”Godane tiyang weweh niku kibir, dados ampun kesupen", kibir iku kek gimana jg ?
matur nuwun sangett :-)
Sangkan paran : tidak tahu dari mana asalnya.
ReplyDeleteKibir : umuk atau pamer
hehehe..nuwun atas komennya.
saya senang dengan reportase ini.
ReplyDeletebaru tahu bahwa ternyata mbah wir sendiri yang membikin busana para prajuritnya.
saya adalah 'pelanggan' mubeng beteng kraton surakarta, meski saya sekarang bermukim di bantul yogya. pengalaman ikut acara itu memang tak tergantikan. tidak memadai bila cuma diceritakan. jadi, harus dialami sendiri.
tentang "sangkan paran", uraian mbah wir agak repot diikuti.
istilah ini "sangkan" artinya asal-usul. sedangkan "paran" artinya tujuan.
jadi,
bila orang yang sudah mengenal 'sangkan paran' hidupnya artinya adalah orang itu mengetahui dari mana dan kemana jalan hidupnya. tahu alfa dan omeganya kehidupan.
karena itu, kalimat "rejeki niku sangkan paran" bagi saya sulit dipahami artinya.
saya rasa ttg sangkan paran, mungkin penjelasan bapak yang lebih tepat :)
ReplyDeletetulisan diatas adalah hasil kali pertama saya ikut mubeng beteng suran solo dan benar bahwa acaranya menarik dan susah diceritakan.