Semarang memang selalu mempersona. Kota pelabuhan ini kaya akan bangunan-bangunan tua dan sumber sejarah warisan masa lalu. 17 Oktober 2009 lalu, saya kembali menelusur lekuk indahnya yang saling bersilangan satu sama lain. Menumpang bis Joglosemar kloter pertama bersama Sastomo Haryo dan Retno Hayu, perjalananpun dimulai.
Perjalanan menelusur Pecinan dimulai dari simpang empat Pedamaran. Berjalan di sisi kiri yang penuh dengan kendaraan roda empat, saya berpapasan dengan belasan kuli panggul dan buruh angkut yang sedang berkerja membongkar muat barang. Pedamaran memang terkenal dengan kawasan yang paling padat di Pecinan. Bahkan taksi yang saya tumpangi dari Masjid Agung Semarang menolak untuk melalui jalan ini.
Tujuan pertama saya adalah gang Buntu di Pedamaran. Tak sulit menemukan gang ini. Gang selebar badan sebuah mobil sedan ini mengingatkan saya pada sebuah gang di Badung Bali. Tampak lengang. Hanya ada beberapa orang yang duduk santai di depan rumah. Bukan teras, tetapi hanya sebuah bangku kecil dengan peneduh dari plastik dan bekas spanduk ala kadarnya. Tak berapa lama, sampailah saya di sarang gorilla.
Saya berjumpa dengan bu Nunuk. Beliau ini adalah adik dari Pak Kardi, seorang pendiri Body Building Gorilla. Berlokasi di sebuah gang bernama Buntu, kelompok penggiat olahraga ini kemudian dikenal dengan istilah Gorilla dari Gang Buntu menyusul terpilihnya kisah ini di ajang Eagle Award sebuah televisi swasta.
Jangan membayangkan ruangan berAC dengan alat-alat beban yang mengkilap. Tempat latihan ini sangat sederhana dan jauh dari kesan mewah yang terletak di depan sebuah gudang di gg. Buntu no. 34a. Sebuah ruang yang memang diciptakan oleh dan untuk warga kelas menengah kebawah yang tidak sanggup berolahraga di fitnes centre karena keterbatasan biaya.
Sistem yang dipakai adalah sukarela. Sebuah kotak kayu kecil bergembok siap menampung setiap keping receh yang disumbangkan anggotanya yang kebanyakan adalah kuli panggul, tukang becak dan aneka profesi lainnya. Sayang, siang itu masih sepi. Pak Agus, salah satu anggota senior menyarankan saya untuk kembali lagi sore hari.
Sembari menunggu berkumpulnya para gorilla berbadan kekar, saya memutuskan untuk berkeliling. Selain air yang semakin keruh dan berbau, ada yang berubah dengan replika kapal Cheng Ho didepan Klenteng Tak Kak Sie di Gang Lombok. Tidak ada anak tangga seperti yang saya naiki pada kunjungan dua tahun lalu. Selain itu semuanya tampak sama. Klenteng Tak Kak Sie dengan dua lilin besar, penjual burung Emprit dan warung Lunpia yang rasanya masih tetap orisinil (dijamin berbeda dengan Lunpia Pandanaran).
Dari gang Lombok, saya berbelok ke kanan menuju gang Pinggir. Gang ini tergolong besar dengan tingkat kepadatan lalu lintas yang patut diwaspadai terutama bagi para pejalan kaki. Hampir setiap rumah dipakai sebagai ruang usaha. Kebanyakan adalah rumah makan yang menjual menu dengan akhiran Bak atau Babi. Meskipun demikian, beberapa tempat menjual menu halal yang mengakomodir beberapa warga pendatang seperti saya, baik untuk makan atau oleh-oleh. Misalnya ingin mencari buah tangan selain lunpia, Pia Cap Bayi Tjiang Goan (Gang Besen no 94, T(024) 3544968) adalah pilihan yang tepat. Pia ini dijual seharga Rp. 17.000 dengan 4 pilihan rasa berbeda yaitu kacang hijau, coklat, gula aren dan nanas.
Saya beranjak menuju Gang Besen yang dulu adalah sentra perajin besi. Saya hanya sebentar karena mayoritas bangunan sudah direnovasi besar-besaran lalu berbalik menuju gang Baru. 30 meter sebelum Klenteng Siu Hok Bio, mata saya terhenti pada sebuah bangunan dua lantai mirip Klenteng berwarna hijau tosca. Dipagar dan tembok bangunan itu penuh tertempel petuah dan pantangan yang memang sengaja ditempel untuk memperingatkan orang tentang karma. ”Ini bukan klenteng, tapi rumah sembayang keluarga”, ujar Pak Handoyo sang pemilik bangunan. Saya kemudian berbicang hingga dia menyarankan saya untuk menengok 2 buah Klenteng Marga di seberang rumahnya.
Sesuai petunjuk Pak Handoyo, saya berbalik arah menuju Jembatan Wotgandul. Berbelok di gang pertama setelah jembatan, kampung Sebandaran telah didepan mata. Di gang ini terdapat dua buah Klenteng yaitu Klenteng Sai Tan dan Klenteng See Hoo Kiong. Disebut Sai Tan karena dahulu tempat ini hanya diperuntukkan khusus untuk Marga Tan. Tetapi saat ini, semua marga diperkenankan berdoa dan menitipkan abu jenasah di Klenteng ini. Begitu pula dengan Klenteng See Hoo Kiong yang hanya berjarak 50 meter. Meski didedikasikan untuk Liem Bik Nio (arsitek klenteng pada masa lampau), marga Liem tidak lagi menjadi satu-satunya pengguna klenteng.
Setelah berjalan dari Sai Tan, saya tiba di Klenteng See Hoo Kiong yang disebut Klenteng Hitam. Halamannya luas. Di pintu kanan gapura klenteng, 5 orang bapak-bapak bertelanjang dada sedang bermain kartu. Penuh gelak dan canda meski teliga mereka penuh jepitan jemuran warna biru. Salah seorangnya bernama pak Amin yang kemudian mengajak saya masuk Klenteng. Sayapun melangkah ke ruang pemujaan utama, selasar dan rumah abu.
Saya bertemu bertemu dengan pak Liem, pria bertumbuh gempal yang bekerja sebagai penjaga Klenteng Hitam. Awalnya saya ragu untuk menegurnya meski pak Amin sudah mempersilahkan. Sarjana arsitektur lulusan sebuah perguruan tinggi di Belanda ini ternyata sangat ramah dan tak ragu-ragu bercerita. Rasa penasaran saya tentang sejarah Klenteng Hitam, asal nama Sebandaran dan 11 gang di pecinan satu persatu terjawab perlahan.
Disetiap gang Tusuk Sate terdapat Klenteng dan dewa penunggunya pun menyesuaikan riwayat pada masanya. Klenteng Hitam memiliki Mak Cong atau dewa Nelayan/ Laut karena Sebandaran (diambil dari kata Bandar) dulunya adalah pelabuhan. Klenteng ini dibangun pada tahun 1881 oleh Liem Siong Djian dan Liem Kim Ling.
Ia menuturkan tentang sejarah Pecinan Semarang yang lebih dikenal dengan istilah Cap Kao Keng yang artinya "sembilan belas bangunan". Saat ini hanya ada kurang dari 5 dari 19 bangunan tersebut yang utuh bertahan. Selebihnya telah beralih fungsi, bentuk atau malah sudah hancur dan tak berbekas sama sekali. “Membayangkan gang-gang di Pecinan Semarang itu seperti melihat jari tangan yang terbelah“, jelas Pak Liem.
saya klo lewat daerah pecinan itu selalu berandai2 suatu saat sungai penuh sampah itu dibersihkan lalu jalur perahu kembali difungsikan seperti jaman dahulu kala. wohhhh mesthi ra kalah karo venesia!
ReplyDeleteSetujuh Om TULIX !!!!!
ReplyDelete... i have been doing a lot of research and paper for pecinan semarang, so it will be nice if the river is clean ! and can feel the Local Atmosphere around there ...
particular if they can maintenance well the facade like in Malaysia-Singapore...It is possible also Pecinan Semarang become one of the WOrld Heritage list like in Pineng and MALACCA.
waw... reportase nya dalem mbak....
ReplyDeleteditunggu hiao Gien nya..
ReplyDeletetunggu kamu dapat pinjeman motor lanang.. kekeke
ReplyDeletewew...motor ...ada..... aku = lanang ...... pie jal... udan ik.. naik bus wae..ngko ben diputer-puterke cik lena...haha
ReplyDeleteho o ding..hujan mulai turun. padahal mantel betmenmu belum ketemu juga yak? :P, joglosemar wae..trus mengharap belas kasihan cik lena...:D
ReplyDeleteak kok orak tau di jak na koe neng semarang to...>.
ReplyDeleteCiamik nih Blog ini...maklum aku juga lahir di Gang Baru sih...hehehehe...Belum lama ini aku nostalgiaan di sana....hahahaha...
ReplyDelete