Start: | Nov 29, '09 2:00p |
Location: | Alun-Alun Utara |
Wednesday, November 25, 2009
Thursday, November 19, 2009
Monday, November 16, 2009
Java Grand Expo
Start: | Nov 18, '09 06:00a |
End: | Nov 22, '09 |
Location: | Atrium Ambarrukmo Plaza |
Tujuan dari pameran ini adalah untuk memfasilitasi produsen kerajinan, produk paska panen, makanan, dan lembaga keuangan mikro untuk mendapat hubungan yang lebih baik dengan pembeli, lembaga keuangan, fasilitas pemerintah, dan jasa bisnis.
Pameran akan dibuka dengan pertunjukan Jemek Supardie dan selain pameran, akan ada demo proses produksi yaitu tenun dan batik. Ada juga Fashion Show Lurik tanggal 21 November 2009.
Monggo, silahkan datang !
Wednesday, November 4, 2009
Malioboro Festival
Start: | Nov 6, '09 |
End: | Nov 8, '09 |
Location: | Maliboro Yogyakarta |
http://www.festivalmalioboro.com/
KRT. Joyo Dipuro; Magnet Lain Museum Kereta Rotowijayan
Kalau ditanya apa yang menarik di Museum Kereta Rotowijayan, saya tidak akan menjawabnya dengan koleksi kereta kencana yang mencapai puluhan jumlahnya. Tetapi bagi saya, ada magnet lain yang mempesona. Sebuah sejarah hidup yang selalu bercerita dengan penuh semangat. Dia adalah KRT. Joyo Dipuro, abdi dalem yang akan berjaga di pintu tengah sayap kanan museum kereta milik Kraton Yogyakarta ini.
Dikursi rotan tepat didepan pintu jati warna hijau (kami menyebutnya ijo parianom), KRT. Joyo Dipuro menyambut kami. “Umur saya 102 tahun. Lahir 15 Januari 1907”, jelasnya dengan suara yang lantang. Dua kalimat ini akan diulang berkali-kali oleh simbah yang rambutnya sudah memutih semua ini.
Lantas beliau menuju dinding museum di sayap kanan, mengambil sebuah foto usang. Dalam foto tersebut, KRT. Joyo Dipuro kecil bergambar bersama para sais kereta Kraton Yogyakarta di tahun 1937. Beliau ada di deretan nomor 4 dari kanan. Gagah dan berkharisma.
Ini adalah kali ketiga saya bertemu Mbah Joyo. Setahun lalu ia bercerita hal yang sama. Hitungan umur pun tidak meleset. Dulu saya masih ingat, saya perah bertanya tentang rahasianya awet muda. Seketika beliau tersenyum dan berkata bahwa berkerja dengan ikhlas adalah kuncinya. Selain itu rokok kretek masih menjadi teman setianya.
Seperti kemarin, setelah menerangkan foto lawasnya, beliau bergegas ke mengambil rokok dan korek gas yang masing-masing disimpan terpisah di dua bagasi kereta yang berbeda. Asap dan bau khas rokok kretek kemudian bercampur dengan bau besi tua dan bunga sajen kereta.
Yogyakarta, 1 November 2009
Monday, November 2, 2009
Mbah Ngatiyem
Namanya Mbah Ngatiyem. Berkebaya merah jambu dan jarik latar sogan yang warnanya mulai memudar. Kami melihatnya sedang duduk mengemas sebuah "buntelan" yang dibungkus taplak meja duduk di pot besar di timur regol kemandungan, Keben Kraton. Seorang kawan, Lindung, mendekatinya. Lalu saya menyusul kemudian.
Simbah yang 'sakbarakan' dengan simbah putri saya ini ramah. Sumeh. Saat saya mendekat, ia sedang membisik doa buat Lindung. Menyusul kemudian Yopi dan Dite. Usianya 70 tahun. Guratan di wajah dan kulit legam karena matahari mempertegas perjalanan hidup yang sepertinya keras. Setiap hari beliau nglajo dari Klaten Timur dengan 2 kali ganti angkutan ke Keben.
"Simbah sadean nopo"? tanya saya pada beliau. Sejurus kemudian sebuah jawaban membuat saya tercekat. "Simbah pados nyotro, luwih becik tinimbang maling", ujarnya sambil tersenyum. Seorang anaknya bermukim di Sumatera, sedangkan suaminya telah lebih dulu meninggal.
Kamipun bercanda. Layaknya seorang simbah yang sedang kumpul dengan empat orang cucunya. Regeng. Sampai akhirnya kami harus pamit untuk melanjutkan perjalanan. Satu persatu dari kami diciumnya. Sederet doa mengalir tulus dalam bahasa jawa yang halus. Sebuah barokah di suatu siang yang terik.
Yogyakarta, 1 November 2009
Simbah yang 'sakbarakan' dengan simbah putri saya ini ramah. Sumeh. Saat saya mendekat, ia sedang membisik doa buat Lindung. Menyusul kemudian Yopi dan Dite. Usianya 70 tahun. Guratan di wajah dan kulit legam karena matahari mempertegas perjalanan hidup yang sepertinya keras. Setiap hari beliau nglajo dari Klaten Timur dengan 2 kali ganti angkutan ke Keben.
"Simbah sadean nopo"? tanya saya pada beliau. Sejurus kemudian sebuah jawaban membuat saya tercekat. "Simbah pados nyotro, luwih becik tinimbang maling", ujarnya sambil tersenyum. Seorang anaknya bermukim di Sumatera, sedangkan suaminya telah lebih dulu meninggal.
Kamipun bercanda. Layaknya seorang simbah yang sedang kumpul dengan empat orang cucunya. Regeng. Sampai akhirnya kami harus pamit untuk melanjutkan perjalanan. Satu persatu dari kami diciumnya. Sederet doa mengalir tulus dalam bahasa jawa yang halus. Sebuah barokah di suatu siang yang terik.
Yogyakarta, 1 November 2009
Subscribe to:
Posts (Atom)