Namanya Mbah Ngatiyem. Berkebaya merah jambu dan jarik latar sogan yang warnanya mulai memudar. Kami melihatnya sedang duduk mengemas sebuah "buntelan" yang dibungkus taplak meja duduk di pot besar di timur regol kemandungan, Keben Kraton. Seorang kawan, Lindung, mendekatinya. Lalu saya menyusul kemudian.
Simbah yang 'sakbarakan' dengan simbah putri saya ini ramah. Sumeh. Saat saya mendekat, ia sedang membisik doa buat Lindung. Menyusul kemudian Yopi dan Dite. Usianya 70 tahun. Guratan di wajah dan kulit legam karena matahari mempertegas perjalanan hidup yang sepertinya keras. Setiap hari beliau nglajo dari Klaten Timur dengan 2 kali ganti angkutan ke Keben.
"Simbah sadean nopo"? tanya saya pada beliau. Sejurus kemudian sebuah jawaban membuat saya tercekat. "Simbah pados nyotro, luwih becik tinimbang maling", ujarnya sambil tersenyum. Seorang anaknya bermukim di Sumatera, sedangkan suaminya telah lebih dulu meninggal.
Kamipun bercanda. Layaknya seorang simbah yang sedang kumpul dengan empat orang cucunya. Regeng. Sampai akhirnya kami harus pamit untuk melanjutkan perjalanan. Satu persatu dari kami diciumnya. Sederet doa mengalir tulus dalam bahasa jawa yang halus. Sebuah barokah di suatu siang yang terik.
Yogyakarta, 1 November 2009
Simbah yang 'sakbarakan' dengan simbah putri saya ini ramah. Sumeh. Saat saya mendekat, ia sedang membisik doa buat Lindung. Menyusul kemudian Yopi dan Dite. Usianya 70 tahun. Guratan di wajah dan kulit legam karena matahari mempertegas perjalanan hidup yang sepertinya keras. Setiap hari beliau nglajo dari Klaten Timur dengan 2 kali ganti angkutan ke Keben.
"Simbah sadean nopo"? tanya saya pada beliau. Sejurus kemudian sebuah jawaban membuat saya tercekat. "Simbah pados nyotro, luwih becik tinimbang maling", ujarnya sambil tersenyum. Seorang anaknya bermukim di Sumatera, sedangkan suaminya telah lebih dulu meninggal.
Kamipun bercanda. Layaknya seorang simbah yang sedang kumpul dengan empat orang cucunya. Regeng. Sampai akhirnya kami harus pamit untuk melanjutkan perjalanan. Satu persatu dari kami diciumnya. Sederet doa mengalir tulus dalam bahasa jawa yang halus. Sebuah barokah di suatu siang yang terik.
Yogyakarta, 1 November 2009
iki mbok'e paijem dudu?
ReplyDeletedudu kang Paijo.. iki tonggo wetan kali :P
ReplyDeletesepertinya kisah yang sangat menarik.... Sayang, nggak ada terjemahan bahasa indo nya ya :D
ReplyDeleteMbah
ReplyDeleteartinya "Nenek lagi cari duit, lebih baik daripada mencuri".....mungkin Kak Fitri bisa jelaskan.....cari duitnya bagaimana gitu ? thanks
ReplyDeletedoa nya apa jeng....? ;)
ReplyDeletesimbah ini mengemis mas. setiap hari ada di keben kraton, lalu sore hari pulang ke Klaten. begitu setiap harinya. *suwun sudah menerjemahkannya :D
ReplyDeletedongane dowo banget Jeng.. intinya agar semuanya barokah. ya sehat, rejeki dan jodoh..
ReplyDeletewis suwe ra krungu kata "regeng"
ReplyDeleteoh ya? aku seneng banget kata2 ini..
ReplyDeleteOoowwhh ....
ReplyDeleteMakasih Mas Boljug buat terjemahannya ...