Monday, February 8, 2010

Mantel Kuda; Ide Kecil untuk Ksatria Penarik Kereta

Satu minggu yang lalu, kami melewati malioboro sesaat setelah hujan. Seperti biasa dari ujung teteg sepur Sarkem sampai depan Ngejaman, kami mengitung banyaknya kuda. Kalau sedang ramai, hitungan akan berhenti di bilangan belasan. Tetapi bila sedang sepi hampir tiga puluh andong berjajar rapat. Lebih spesifik lagi, warna juga kami perhatikan, apakah hitam pekat, coklat susu atau plonko si belang. Kami akan berteriak bila ada yg 'teji' alias gagah perkasa ataupun kurus dengan mata sayunya.

Sisa hujan deras ternyata masih membekas. Terpal-terpal plastik belum digulung para pedagang kaki lima dan para bapak becakpun masih meringkuk didalam rumah keongnya. Semuanya terlihat aman.

Namun, kuda-kuda yang kami hitung satu persatu itu terlihat kuyu. Beberapa menggenakan mantel kuda sebatas punggung. Selebihnya tidak. Tampak bertahan menahan dingin yang mengigit.

Spontan, ide pun terlontar. Sebuah proyek sosial untuk membuatkan mantel layak buat Srikandi dan teman-temannya. Kebanyakan kuda yang dipakai menarik andong adalah berjenis kelamin betina. Meski sedikit andong juga menggunakan kuda jantan.

Hari ini ide ini kami tawarkan pada seorang kusir di sebelah barat DPRD. Pita ukurpun turut dibawa serta. Namun sayang, bapak Kusir menolak dengan halus. "Mboten mawon, mangkeh ndak aleman, nganyih-anyih," kata pak Kusir. (Tidak usah saja, nanti kuda menjadi manja -red).

Lalu si Bapak menjelaskan kebiasaannya pada sang kuda bila sehabis hujan mengguyur badan. Air panas akan segera direbus untuk memandikan si penarik kereta.

Kami masih mau mencoba lagi. Mencari pak Kusir lain yang mungkin berminat pada mantel layak buat kuda, ksatria penarik kereta.

Gorila Gang Buntu




Dulu, sedikit orang yang melirik aktivitas belasan laki-laki remaja dan dewasa bertubuh kekar dari Gang Buntu di Gorilla Power Barbel Club. Mendadak gang kecil di kawasan pecinan Semarang ini menjadi buah bibir dan membuat penasaran orang tak terkecuali binaragawan dan selebriti ibukota Ade Rai. Sebuah potret kreatifitas dari sekelompok orang yang memodifikasi besi-besi bekas dan alat sederhana menjadi piranti fitness, meski hanya di depan emper garasi.

Kisah ini berawal dari sejumlah potret dari seorang fotografer koran nasional yang kemudian menginspirasi 2 orang mahasiswa Universitas Diponegoro bernama Rio Harindra dan Bambang Rahmanto. 2 sahabat lalu mengikutsertakan ide cerita tentang kelompok olahraga ini ke ajang film dokumenter Eagle Awards 2009. Tak dinyana, film yang kemudian diberi judul Gorila dari Gang Buntu ini meraih anugerah sebagai film terbaik.

Setiap harinya, tempat fitness ini akan ramai pada pagi dan sore hari. Belasan laki-laki remaja dan dewasa berkumpul dua kali sehari setiap pukul sembilan pagi dan empat sore. Diluar jadwal tersebut, anggota pun tetap bisa berlatih dan berolahraga. “Syaratnya gampang, tinggal ambil dan mengembalikan alat pada tempatnya,” ujar pak Kardi sang penggagas.

Berbeda dengan tempat fitness kebanyakan, Gorilla Power Barbel Club memasang tarif sukarela. Biaya operasional untuk perbaikan alat dan air minum diperoleh dari sebuah kotak kayu kecil yang menampung uang recehan dan pecahan seribuan. “Kalau ada duit ya masukin, kalau ndak ada yang lain waktu nunggu rejeki,” jelas salah seorang anggota yang berprofesi sebagai pengemudi becak. Mayoritas anggota tempat fitness ini adalah mereka dengan ekonomi menengah kebawah seperti kuli angkut, pengemudi becak, pendagang dan pekerja kasar.

Agus, seorang penjual makanan mengaku bahwa keterbatasanlah yang mendorong mereka untuk kreatif. Mereka memanfaatkan aneka barang-barang bekas sebagai alat-alat fitness. Agus juga mejelaskan bahwa terdapat kebiasaan yang tak tertulis bahwa anggota senior harus memberikan pendampingan dan arahan kepada anggota baru. ”Kami pengen sehat dengan cara yang murah tapi tetap aman,” jelasnya.