Bagi beberapa orang mungkin akan biasa, tetapi bukan bagi saya. Mengunjungi Semarang untuk kesekian kalinya selalu membuat saya bersemangat. Lorong – lorong gang yang eksotis namun menyimpan cerita sederhana nan sarat makna. Seperti menelusur sebuah peta harta karun.
Pemberhentian pertama saya adalah Gang Lombok yang tersohor dengan klenteng Tay Kek Sie. Sisa – sisa hujan masih membekas. Matahari belum bersinar maksimal tertutup selaput mendung tipis diatas langit. Diatas miniatur kapal Chengho, saya menikmati pagi bersama segerombolan anak SD yang sibuk memotret diri dengan ponsel.
Dihalaman samping Tay Kak Sie saya bertemu dengan Pak Budi Santosa. "Mari Nak, silahkan.” Pak Budi Santosa lalu membuka obrolan dengan bertanya asal dan umur saya sesaat setelah meminta ijin untuk memotret. Beliau membuka praktek pengobatan dan pijat syaraf sejak tahun 2000 baik dirumah maupun jemput bola dengan naik sepeda.
Didalam kleteng, Cik Bun sedang bersemangat berdoa. Suaranya nyaring melantukan puji –pujian dan nyanyian untuk para dewa, termasuk Guan Yin Pu Sa. Setelah usai berdoa, nenek usia 78 tahun ini asal Banyuwangi ini mengajak saya berjalan ke depan Klenteng dan mengenal patung Buddha.
Sore hari gerimis saat saya sampai di kampung Kauman Semarang. Gerimis membuat saya berhenti disebuah lorong Kauman Butulan. Gerimis ternyata tidak menyurutkan semangat Riska dan teman – temannya untuk bermain ‘pasar – pasaran’. Ini adalah permainan ketika satu orang berperan jadi penjual sedangkan yang lain menjadi pembeli. “Eh, saiki pasaran yuk. Aku dadi nyonyane, kowe dadi pembantune,” ucap Riska polos.
Permainan serupa saya lakukan duapuluh tahun lalu dengan menggunakan sisa sayuran milik Ibu. Memori tentang masa kecil seketika hadir dan menari – nari.
Semarang, 16 Januari 2011.