Wednesday, February 23, 2011

2 Gadis Kecil dan Sepotong Kisah Masa Lalu




Hari Selasa (15/02/11) saya pergi ke Tangerang untuk memotret perayaan Maulid Nabi. Arak-arakan karnaval berhenti di Masjid Kali Pasir kawasan Pasar Lama. Dari dalam masjid, saya bertemu pandang dengan 2 gadis cilik dengan baju serupa. Sayang, mereka tidak menyebutkan nama, hanya menjawab lirih sambil berlalu malu – malu.



Mereka mengingatkan masa kecil saya bersama saudara sepupu pada 15 tahun yang lalu. Kami hanya terpaut selapan. Saya lahir 40 hari lebih dulu dari Mbak Nana. Ada banyak hal indah sekaligus lucu untuk dikenang. Kami selalu berbaju kembaran layaknya anak kembar. Sakit, jatuh dari sepeda hingga merantau pada waktu yang bersamaan. Pernah sadel kiri sepeda kami sama – sama rusak berbarengan.



Meski banyak yang serupa, kami tetap punya selera yang berbeda. Soal rambut misalnya. Rambut ikal dan kribo milik saya adalah keinginan Mbak Nana. Sedangkan rambut lurus ala Melisa adalah impian saya. Mbak Nana lebih dulu bisa berjalan, sedangkan saya lebih pandai berbicara. Dan sebentar lagi ia akan segera berkeluarga.

Thursday, January 27, 2011

Revisited Semarang




Bagi beberapa orang mungkin akan biasa, tetapi bukan bagi saya. Mengunjungi Semarang untuk kesekian kalinya selalu membuat saya bersemangat. Lorong – lorong gang yang eksotis namun menyimpan cerita sederhana nan sarat makna. Seperti menelusur sebuah peta harta karun.

Pemberhentian pertama saya adalah Gang Lombok yang tersohor dengan klenteng Tay Kek Sie. Sisa – sisa hujan masih membekas. Matahari belum bersinar maksimal tertutup selaput mendung tipis diatas langit. Diatas miniatur kapal Chengho, saya menikmati pagi bersama segerombolan anak SD yang sibuk memotret diri dengan ponsel.



Dihalaman samping Tay Kak Sie saya bertemu dengan Pak Budi Santosa. "Mari Nak, silahkan.” Pak Budi Santosa lalu membuka obrolan dengan bertanya asal dan umur saya sesaat setelah meminta ijin untuk memotret. Beliau membuka praktek pengobatan dan pijat syaraf sejak tahun 2000 baik dirumah maupun jemput bola dengan naik sepeda.




Didalam kleteng, Cik Bun sedang bersemangat berdoa. Suaranya nyaring melantukan puji –pujian dan nyanyian untuk para dewa, termasuk Guan Yin Pu Sa. Setelah usai berdoa, nenek usia 78 tahun ini asal Banyuwangi ini mengajak saya berjalan ke depan Klenteng dan mengenal patung Buddha.



Sore hari gerimis saat saya sampai di kampung Kauman Semarang. Gerimis membuat saya berhenti disebuah lorong Kauman Butulan. Gerimis ternyata tidak menyurutkan semangat Riska dan teman – temannya untuk bermain ‘pasar – pasaran’. Ini adalah permainan ketika satu orang berperan jadi penjual sedangkan yang lain menjadi pembeli. “Eh, saiki pasaran yuk. Aku dadi nyonyane, kowe dadi pembantune,” ucap Riska polos.



Permainan serupa saya lakukan duapuluh tahun lalu dengan menggunakan sisa sayuran milik Ibu. Memori tentang masa kecil seketika hadir dan menari – nari.

Semarang, 16 Januari 2011.

Thursday, January 13, 2011

Cerita dari Katunjung




Ini adalah perjalanan saya pertama ke Desa Katunjung Kecamatan Mentangai Kapuas Kalimantan Tengah. Untuk mencapai lokasi ini, saya harus menumpang speedboat selama 4 jam menyusur sungai Kuala Kapuas dari Dermaga Mandomai. Dermaga ini ditempuh sekitar 1,5 jam perjalanan darat dari Palangkaraya.



Di Katunjung, saya disambut kehangatan keluarga Ibu Haji dan para warga yang berkumpul selepas ibadah sholat Jumat. Keramahan mereka membuat saya serasa bertemu sepotong cerita lama. Permintaan untuk tinggal lebih lama dan ajakan menumpang klotok serta jalan-jalan ke Pasar Beringinpun diberikan.



Ayu 5th, tersenyum malu - malu setelah Yuliati ibunya mengijinkan saya memotret dirinya. Perjalanan perdana saya ke Desa Katunjung Kecamatan Mentangai Kapuas Kalimantan Tengah adalah sebuah pengalaman baru.



Selain bertemu dengan Ayu, saya juga merasakan ombak Sungai Kapuas, candaan khas Bapak-Bapak transmigran, ramahnya masyarakat Dayak Ngaju dan sebuah kenyataan tentang ketimpangan pembangunan.



Asnan & Adol Murid kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah mengintip dari balik pintu samping rumah panggung Ibu Haji Katunjung saat saya didaulat tiba-tiba untuk mengucap sepatah dua patah kata. Usai 5 menit yang penuh canda tawa didepan para warga, kami bermain bertiga.

Thursday, October 28, 2010

Ilmu Cukup Mbah Maridjan

Tahun 2005, satu minggu sebelum Suran adalah kali kedua saya ke Kinahrejo. Sebelumnya saya mengunjungi Kinah saat hajad dalem labuhan alit di Merapi. Tetapi ini adalah kali pertama saya bertemu mbah Maridjan untuk keperluan wawancara peliputan Trulyjogja. Tugas peliputan utama sebenarnya ada di teman saya Dito Yuwono. Tetapi karena kendala bahasa jawa halus maka saya dan Titi diminta membantu.

Saat saya datang simbah sedang sholat di masjid Kinah. Sebelum kami datang ada sepasang suami istri yang juga menunggu Simbah.  Rupanya mereka meminta petunjuk simbah agar bisa segera punya momongan. “Kulo niku bodo, sanes dukun nopo wong pinter, ampun takon kaleh kulo,” ceritanya kemudian pada saya.

Saya pun memperkenalkan diri dan membawakannya foto beliau saat labuhan merapi. Baru lima menit kami bertemu, simbah sudah membuat kami tercengang dengan berhasil menebak agama yang kami anut. Rasanya seperti  sudah kenal lama. Beliau selalu berbicara dengan bahasa sanepan atau justru bahasa yang sangat sederhana. Simbah masih melanjutkan cerita tentang sepasang suami istri tadi. “Pengen duwe anak kok takon aku, kudune takon dokter,” katanya sambil tertawa. Simbahpun menganjurkan mereka untuk berdoa, mencoba dan pergi ke dokter.

Sebenarnya kami sedang mencari informasi soal kegiatan suran di lereng merapi. Maridjan mengatakan bahwa masyarakat Kinahrejo tidak memiliki ritual khusus setiap bulan muharam. Kalau ada yang melakukannya itu pasti orang luar Kinah. Simbah lalu bercerita tentang kesenian Sholawatan sambil kedua tangannya seolah-olah memainkan terbang (rebana).

Saat bercerita tentang tugas sebagai juru kunci Merapi, beliau menunjukkan serat kekancingan (surat pengangkatan) dari Kraton Yogya dengan mata berbinar. Ini adalah kebanggaannya sebagai abdi penewu sebagai amanat dari Ngarso Dalem HB IX. Saat itu gaji bulanan beliau baru saja naik dari Rp. 4,800 menjadi Rp. 6,300. Gaji bulanan itu diambilnya sendiri dengan berjalan kaki setiap 3 atau 4 bulan sekali. “Dirapel, mergane adoh,” jelasnya pendek.

Saya sempat membuat pertanyaan bodoh soal gaji yang diterima yaitu apakah gaji tersebut cukup menghidupi keluarga satu bulan. Simbah menjawab pertanyaan saya sambil tersenyum. “Manungsa nek dituruti ora tau cukup Nok, anane semono yo dicak’e, dicukup-cukupke,” ucap beliau.

Kami berbincang lama sampai pada saatnya harus pamit undur diri. Simbah lalu berdiri kemudian mengambil kemeja batik yang dikaitkan di paku cagak rumah. Kemeja lengan panjang warna coklat yang sudah memudar warnanya itu kemudian dipakainya sambil berkata “Monggo Kulo Ndherekke” kepada saya. Saya lalu menjelaskan bahwa kami membawa kendaraan yang diparkir dibawah. Simbah tetap bersikeras mau mengantarkan saya jalan kaki sambil menerangkan rute dari Kinah sampai rumah saya di Iromejan. “Nak Iromejan niku kidule Samirono to? Mengkih nyidat Karangmalang mawon,”jelasnya dengan bersemangat. Dan saya sekarang menyesali kenapa dulu menolaknya.

Sugeng Tindak, semoga ilmu cukup itu bisa saya lakukan.

Thursday, September 30, 2010

Revisiting Kanjeng Wir




Kanjeng Wir (I just call him Mbah Wir), 74 year old man still looks dashing and sprightly. He is the costume maker for 8 Solo’s soldier teams and serves Solo Palace for almost 48 years.



His first name is Sukarno. He has seven names before finally bears the name Kanjeng Raden Ario Tumenggung Wiranto Diningrat as his fifth title. This title is a trust from the Sinuhun Pakubuwono 12 (King of Solo) who appointed him as commander of the 189 soldiers. Due his illness, he didn’t visit Palace in this Ied Fitr.

Kanjeng Wir has three grandchildren from her the one and only daughter Retno Kusrini. The older one named Devy (17th) who willing to learn about culture from him. A request was said by her during my visit on the third day of Lebaran.



Endang Sadimi is the busiest person during Lebaran. Except preparing the house, she also must be quick to remind her husband to drink medicine, take a rest and choose recommended foods.

Loyalty as a Commander of the Soldiers put him on a big responsibility. Although he no longer able to come to Palace every day like a procession of Eid Fitr Grebeg, everyone can still learn by visiting him.

Solo, 12 September 2010. Trip with Wibowo Wibisono

Tuesday, August 10, 2010

Wish Me Luck




Ini kali pertama saya melalui Ramadhan jauh dari keluarga karena sedang bermain di Jakarta. Seperti gadis kecil yang bermain sendiri diantara puluhan balon warna - warni.

Tuesday, July 27, 2010

Belajar di Bantar Gebang




Sabtu dua minggu lalu saya, Yoppie dan Rian mengunjungi Sekolah Dasar (SD) Dinamika Indonesia, Kelurahan Ciketing Udik, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat.



Di jalan besar dekat pos penjagaan Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang, kami bertemu dengan Nasrudin Mu’anis, Kepala Sekolah Dinamika. Saat itu beliau sedang dalam perjalanan berkendara mengurus surat pindah salah seorang anak muridnya.“Kami baru seminggu ini pindah mbak, gedung sekolahnya baru tak jauh dari sini. Silahkan masuk nanti saya susul, “ ucap pak Nas sedikit samar karena memakai masker sapu tangan. Setelah melewati pemukiman warga yang berprofesi sebagai pemulung, akhirnya kami menemukan bangunan 2 lantai bercat warna putih ungu donasi sebuah lembaga swadaya masyarakat asing. Bau menyengat perlahan memudar.

Kami disambut Bu Rini yang dengan sangat bersemangat bercerita tentang gedung barunya. Diharapkan nantinya kegiatan belajar tidak dilaksanakan secara bergiliran seperti beberapa saat yang lalu ketika menempati bangunan lama dengan 2 ruangan kelas.



Meski demikian, masih banyak hal yang diperlukan untuk sekolah ini. Selain tenaga pengajar yang hanya berjumlah 5 orang, sarana belajar dan mengajar belum lengkap. Meja dan kursi baru tersedia untuk kelas 1 dan 4 dari 6 kelas yang ada. Ketersediaan atas buku ajar pun masih memprihatinkan. Satu buku ajar dipakai setidaknya oleh 3 sampai 4 anak. Tidak heran bila mereka terbiasa menulis dengan posisi buku miring 90 derajat dan belajar ala lesehan. Miris mendengar seorang murid perempuan mengeluh dadanya sakit setelah terlalu lama terkurap saat mengerjakan tugas IPS. Inilah salah satu potret pendidikan Indonesia.