Tuesday, October 30, 2007
Monday, October 29, 2007
Masuk Koran Oey..(meski hanya tampak belakang :P)
Pagi ini rumah sedikit meriah. Pasalnya Ibu baru sadar kalau anak semaya wayangnya ini ada di foto headlinenya KR. (meski kecil dan hanya tampak belakang, tp beliau tetap bahagia :P). ”Lho jebul iki kowe to Mbak,“ begitu katanya sambil menunjuk ke koran.
Kemarin, kami turut meramaikan Jogja Karnaval, parade kolosal dalam rangka HUT Jogja dan Sumpah Pemuda. Ibu dan Nadia sebagai penonton, sedangkan saya ikut berjalan membawa kamera. Dan saya in frame di fotonya KR.. hehe.. Herannya, meski foto kecil tapi keluarga dan teman-teman kantor tetap saja tahu.
Mungkin, ibu kangen saat-saat seperti itu. Dulu wajah beliau selalu berbinar melihat profil saya di majalah Bobo, Suara Merdeka, ataupun Minggu Pagi. Tapi itu dulu. Saat masa keemasan sebagai penari yang kini telah berlalu. Terakhir, secuil kisah saya muncul di Femina. Ketika mengurai cerita di pagi buta tatkala gempa menyapa.
Ah Ibu, kapan ya foto dan tulisanku bisa masuk Kompas???
Friday, October 26, 2007
Tuesday, October 23, 2007
Jemek Supardi, Sang Seniman Nyentrik
Monday, October 22, 2007
Obsesi Mudik
“Sesuk nek golek bojo wong adoh wae, ben iso mudik”, ujar Mbak Tyas. Begitulah anjuran seorang rekan kantor mendengar saya selalu ribut ingin merasakan pulang kampung. Lebih tepatnya terbosesi.
Iya, hampir 22 tahun saya belum pernah mudik. Melakoni ritual tahunan menjelang lebaran. Apa boleh buat. Bapak ibu saya “pek nggo” (singkatan dari ngepek tonggo alias beristrikan anak tetangga). Rumah bapak dan Ibu hanya terpaut 20 rumah.
Dulu ketika SD, saya pasti menemui masalah saat pelajaran Bahasa Indonesia. Pasalnya, selalu saja ada tugas mengarang tentang cerita pasca libur lebaran. Topiknya seperti aktivitas saat pergi mudik. Duh, mengarang benar-benar menjadi mengarang bebas saat itu.
Mungkin saran diatas patut dipertimbangkan. Ada kemungkinan untuk bisa berdesakkan di terminal atau mengejar kereta.. Siapa tahu ya ?
Sunday, October 21, 2007
Road to Lasem, Jawa Tengah
Start: | Nov 3, '07 9:00p |
End: | Nov 5, '07 |
Location: | Jawa Tengah, Lasem singgah Rembang |
Neng Nong Neng Gung, Manten ne Teko
Malam minggu kemarin, saya mendadak kedapuk menjadi pasangan pengganti seorang kerabat menghadiri pesta. Suami beliau dinas dan butuh boncengan motor. Ini memang “tugas negara“ (terutama bagi saya yang belum ada jadwal reguler saban sabtu malam).
Berhubung mendadak, tidak ada persiapan untuk kebaya. Cukup dengan jeans dan atasan sabrina plus selendang batik tulis, seragam kebangsaan saya. Lagipula perkembangan tubuh akhir-akhir ini yang semakin melebar kesamping semakin menyulitkan dalam memilih kebaya. “Lha kuwi nek angel dikandhani, opo wae dimaem“, celetuk Ibu.
Tidak seperti biasanya Ibu nggak lagi menyuruh saya berbedak. Mungkin beliau sudah kapok. Lagipula sebenernya kami berdua memang nggak seneng dandan. Jadi dua-duanya sudah sama-sama maklum. Tapi tidak untuk Bapak. Beliaulah yang rajin berkomentar pedas.“Mbok dirumat to Nduk raine, eman-eman“, ujar Bapak.
Duh, kok malah jatuhnya curhat ya ? Dilanjut yook…
Tibalah kami di lokasi. Pestanya meriah dan mewah. Antrian panjang menyambut kami di pintu masuk. Berjejer pagar bagus, pagar ayu dan para among tamu dengan busana
Tapi sayangnya dua penyakit musiman saya kembali kambuh. Pertama, setiap mendengar gending Landrang manten, saya jadi ingin menikah. Kedua, selalu cerewet dan rajin berkomentar untuk para tamu yang tergolong ekstra.
Penyakit pertama belum ketemu obatnya. Kata Ibu saya bahwa anak perempuannya ini masih muda, baru 22, belum dewasa, belum sarjana, belum ini dan masih itu. Pokoknya belum siap omah-omah. Masih belajar mengeja nafas.
Meskipun masih sangat lama, mimpipun telah ada. Kalau saya nanti menikah inginnya sederhana. Cukup akad nikah dengan busana
Penyakit kedua, mulut ini selalu saja ceriwis. Terutama mengomentari perilaku beberapa tamu yang ajaib, khususnya mereka yang terlalu ngongso alias rakus. Hati kecil saya bilang begini : ”Fit, bukankah model pestanya memang mempersilahkan mereka makan swalayan dan sepuasnya? Kok kamu yang ribut to?”
Pesta pernikahan zaman sekarang serba praktis. Bagi sebagian orang berada, campur tangan wedding organiser lebih mempermudah urusan. Lima tahun terakhir, hanya sekali ada pesta dengan model resepsi yang saya hadiri. 99% prasmanan alias pesta berdiri. Tamu suguhi beraneka masakan yang bisa diambil sendiri. Self service. Namun biasanya kebanyakan tamu tampak sibuk dan binggung memilih menu mana yang harus dicicip terlebih dahulu.
OK. Argumen itu diterima. Tapi bagaimana kalo kasusnya lain? Saking rakusnya sampai menomorterakhirkan salaman dengan yang punya hajat? Bukannya menguping, kasus ini kebetulan saya dengar langsung dari beberapa tamu. Mereka sengaja langsung makan setelah memarkir kendaraan. Duh, nggak sopan banget sih?
Usai. Sudah cukup untuk malam ini. Ya pestanya, ya komentarnya… Biarlah itu kembali ke pola dan kebiasaan masih-masing orang. Seperti kata bapak, “Yang paling penting, kita hidup sakmadya.“
Sabtu Malam, 20 October 2007, 20.35 WIB
Kedapuk : diminta menjadi
Lha kuwi nek angel dikandhani, opo wae dimaem : Kamu itu susah diberitahu, segela macam makanan dimakan
nggak seneng dandan
Mbok dirumat to Nduk raine, eman-eman : Nak, dirawat mukanya, disayang
Among : penerima
Pinanganten kekalihnya tampak sumringah : Pengantin berdua tampak bahagia
omah-omah : berumah tangga
surjan : baju tradisional Yogya
sakmadya : secukupnya, tak berlebih
Friday, October 19, 2007
Thursday, October 18, 2007
sepur.. lagi lagi sepur
Wednesday, October 10, 2007
belanja ke pasar sama ibu
Start: | Oct 11, '07 06:00a |
katresnan
Monday, October 8, 2007
seharusnya
Sunday, October 7, 2007
Stasiun Tugu
Bertemu Bu Poniyem di Stasiun Tugu
Sudah lama saya ingin ke stasiun Tugu. Saya memang kedanan sepur. Benda ajaib yang serba massive. Saban lihat kereta, pikiran saya langsung lari kemana-mana. Ibarat kata, katut playune sepur. Hingga sekarang punya tempat refreshing langganan, stasiun.
Timing nya pun pas. Stasiun pasti lebih berwarna tatkala masa musik lebaran. Perburuan foto human interest dengan cita rasa ndeso siap dimulai. (sebutan ndeso ini diberikan pada foto saya oleh J. Totok Sumarno, pewarta foto dari Surabaya –red). Pokoknya H-7 ini saya harus ke stasiun. Harus.
Stasiun selalu bersahabat dengan siapapun, tak terkecuali pada saya. Anggukan dan senyuman kecil petugas peron cukup membuat lega untuk langkah pertama. Ketika sedang menyiapkan kamera, seorang Polsuska (Polisi Khusus Kereta) juga bertegur sapa. “Wartawan ya mbak?“, begitu tanyanya. “Bukan pak, cuman seneng motret kok“, begitu jawab saya. Duh, saya jadi ingat, setahun lalu saya masih berprofesi reporter yang jarang mengaku reporter.
Menyusuri stasiun, kereta Prameks favorit saya hendak berangkat. Kebak mencep-mencep. Parahnya, kereta ini seakan ngawe-awe saya untuk segera masuk. Untung masih sadar bin waras, dan kaki pun urung melangkah.
Tiba-tiba, mata saya tertuju pada seorang ibu berkebaya biru. Beliau duduk timpuh dilantai dengan baskom berisi nasi bungkusan dan gorengan dagangannya. Setelah wira-wiri didepannya, si Ibu tersebut tersenyum pada saya. Senyumnya hangat. Dan berkat senyum itu saya berani mendekat ngobrol dengan beliau.
Namanya Ibu Poniyem, usianya separuh abad lebih. Sudah hampir 30 tahun berjualan nasi gudeg dan nasi rames di jalur utara Stasiun Tugu. Ibu empat putra asli Tegalrejo ini sangat semanak.
Ini kali pertama kami bertemu. Tapi rasanya saya sudah kenal lama. Perbincangan kami lancar dalam bahasa Jawa krama inggil. Meski sesekali mulut saya macet. Bingung mencari kosakata yang trep.
Kami memiliki kesamaan. Kami sama-sama jatuh cinta pada stasiun. Menurut kami terminal kereta ini memberikan rasa lain. “Menawi teng griyo nggadhahi masalah, pas teng stasiun pun mboten kelingan malih“, ujar beliau sambil menatap saya.
Betul ibu, saya pun setuju. Rasanya memang teduh disini. Sedingin lantai keramik stasiun ketika kami duduk lesehan. Ini tempat pelarian kedua saya setelah Kotagedhe. Ongkosnya pun murah meriah. Cukup 3000 rupiah untuk peron dan parkir motor. Bisa lihat kereta, cuci mata, dan tambah saudara.
Stasiun Tugu, 06 October 2007
Dinamisasi, Gerakan dan Rasa Cemas
A : Kenapa harus saya?
B : ‘Cos you’re animac Fit !
A : Animac? Artinya apa? Lantas apa maksudnya ?
B : “Ya, karena kamu bergerak”.
Percakapan suatu sore diawal Oktober menggelitik saya. Jawabnya pendek, tapi berbuntut panjang. Pasalnya dialog tadi menuntut sedikit menoleh kebelakang. Tepatnya melirik pada September. Tentang dinamisasi, gerakan dan rasa cemas. Rasanya September kali ini berlalu terlalu cepat. Pokoke kecepeten.
Mengapa September cepat sekali pamit ya? Rasanya saya baru bersiap untuk bersenandung lagu serba September. Padahal hari minggu yang lalu baru saja membelikan ibu kaset Vina Terbaik. Kami bernyanyi berdua. Duet.
Undur dirinya bulan kesembilan ini juga kelewat kilat. 2 sepupu kecil saya, Nadia Amorrita dan Danendra Daffa baru hapal setengah refrain Septembernya Earth Wind & Fire.
Atau mungkin saya yang nggak bisa nututi? Intinya saya takut Kepontalan. Cemas kehabisan waktu mengejar dinamisasi bermesin ganda.