Malam minggu kemarin, saya mendadak kedapuk menjadi pasangan pengganti seorang kerabat menghadiri pesta. Suami beliau dinas dan butuh boncengan motor. Ini memang “tugas negara“ (terutama bagi saya yang belum ada jadwal reguler saban sabtu malam).
Berhubung mendadak, tidak ada persiapan untuk kebaya. Cukup dengan jeans dan atasan sabrina plus selendang batik tulis, seragam kebangsaan saya. Lagipula perkembangan tubuh akhir-akhir ini yang semakin melebar kesamping semakin menyulitkan dalam memilih kebaya. “Lha kuwi nek angel dikandhani, opo wae dimaem“, celetuk Ibu.
Tidak seperti biasanya Ibu nggak lagi menyuruh saya berbedak. Mungkin beliau sudah kapok. Lagipula sebenernya kami berdua memang nggak seneng dandan. Jadi dua-duanya sudah sama-sama maklum. Tapi tidak untuk Bapak. Beliaulah yang rajin berkomentar pedas.“Mbok dirumat to Nduk raine, eman-eman“, ujar Bapak.
Duh, kok malah jatuhnya curhat ya ? Dilanjut yook…
Tibalah kami di lokasi. Pestanya meriah dan mewah. Antrian panjang menyambut kami di pintu masuk. Berjejer pagar bagus, pagar ayu dan para among tamu dengan busana
Tapi sayangnya dua penyakit musiman saya kembali kambuh. Pertama, setiap mendengar gending Landrang manten, saya jadi ingin menikah. Kedua, selalu cerewet dan rajin berkomentar untuk para tamu yang tergolong ekstra.
Penyakit pertama belum ketemu obatnya. Kata Ibu saya bahwa anak perempuannya ini masih muda, baru 22, belum dewasa, belum sarjana, belum ini dan masih itu. Pokoknya belum siap omah-omah. Masih belajar mengeja nafas.
Meskipun masih sangat lama, mimpipun telah ada. Kalau saya nanti menikah inginnya sederhana. Cukup akad nikah dengan busana
Penyakit kedua, mulut ini selalu saja ceriwis. Terutama mengomentari perilaku beberapa tamu yang ajaib, khususnya mereka yang terlalu ngongso alias rakus. Hati kecil saya bilang begini : ”Fit, bukankah model pestanya memang mempersilahkan mereka makan swalayan dan sepuasnya? Kok kamu yang ribut to?”
Pesta pernikahan zaman sekarang serba praktis. Bagi sebagian orang berada, campur tangan wedding organiser lebih mempermudah urusan. Lima tahun terakhir, hanya sekali ada pesta dengan model resepsi yang saya hadiri. 99% prasmanan alias pesta berdiri. Tamu suguhi beraneka masakan yang bisa diambil sendiri. Self service. Namun biasanya kebanyakan tamu tampak sibuk dan binggung memilih menu mana yang harus dicicip terlebih dahulu.
OK. Argumen itu diterima. Tapi bagaimana kalo kasusnya lain? Saking rakusnya sampai menomorterakhirkan salaman dengan yang punya hajat? Bukannya menguping, kasus ini kebetulan saya dengar langsung dari beberapa tamu. Mereka sengaja langsung makan setelah memarkir kendaraan. Duh, nggak sopan banget sih?
Usai. Sudah cukup untuk malam ini. Ya pestanya, ya komentarnya… Biarlah itu kembali ke pola dan kebiasaan masih-masing orang. Seperti kata bapak, “Yang paling penting, kita hidup sakmadya.“
Sabtu Malam, 20 October 2007, 20.35 WIB
Kedapuk : diminta menjadi
Lha kuwi nek angel dikandhani, opo wae dimaem : Kamu itu susah diberitahu, segela macam makanan dimakan
nggak seneng dandan
Mbok dirumat to Nduk raine, eman-eman : Nak, dirawat mukanya, disayang
Among : penerima
Pinanganten kekalihnya tampak sumringah : Pengantin berdua tampak bahagia
omah-omah : berumah tangga
surjan : baju tradisional Yogya
sakmadya : secukupnya, tak berlebih
ceritane sae tenan.
ReplyDeleteMbak fitri tulisannya selalu menarik.. jawa sekali.. and well written..
ReplyDeleteTulisan fitri selalu mengusung argumen dan kepercayaan diri yang tinggi..... saya suka tulisannya...., dari tulisannya terlihat penulis tipe orang smart dan berpendirian. Terus berkarya ya!
ReplyDeletehihihi....penyakit yg lucu...hihihi...trus obatnya apaan duong?... :D
ReplyDeletesementara belum ketemu obatnya.. susah!. Paling-paling ntn jatuhnya kebawa mimpi..kasian ya.:D
ReplyDeleteMbak,tulisanmu selalu membuatku ketagihan membaca, hehehe...dari cerita yang simpel bisa jadi menarik bahkan ada emosi yang bisa dirasakan ketika kumembacanya...Nulis terus ya, aku ditulari donk!
ReplyDeleteah Jawa... terimakasih ya
ReplyDeletesmart? duh, semoga ya mas Andik. Berpendirian? Hmm.. meski kadang sering binggung..
ReplyDeletesyukurlah, candu yang murah.. hehehe
ReplyDelete