Friday, February 29, 2008

Suatu Sore Bersama Bapak

Kata Bapak, "meskipun kamu ini perempuan tapi harus bisa mrantasi". Kedengarannya memang simpel, padahal ternyata eksekusinya tidak semudah ketika jawabannya iya. Kalau bisa, semua kerjaan dilakoni sendiri, tapi batasan gender, ewuh pakewuh, dan budaya. Terkadang mau gak mau harus tunduk dan patuh, meskipun setelah itu tetap ngrundel. Mohon maklum, kalau perempuan ini tetap sentimentil...

 

Untungnya, saya dibesarkan dalam prinsip hidup yang sebenarnya sederhana. Meskipun terlahir sebagai anak tunggal, rasanya kok jarang sekali dimanja. Atau mungkin juga memang tidak dituntun kesana. Sampai-sampai semua orang menebak bahwa saya ini mbarep alias anak sulung yang punya adik banyak.

 

Saya jadi paham bahwa saya ini ndugal. Track recordnya sangat beragam, mulai rekor paling sering bikin teman nangis pas SD, bolos di SMP dan tawur waktu SMA. Meski nakal, tapi kata Bapak, saya tidak boleh kurangajar. Nakalnya saya pun masih dalam kategori wajar. Tapi mohon diingat, setiap pulang malam, pulang pagi atau bahkan tidak pulang sama sekali selalu ada alasan.

 

I was born to be different. Kenapa? Saya jadi ingat kalau saya ini nyleneh. Dulu pas umur 4,5 th, rambut saya sengaja di keriting Kribo, berhubung punya idola bernama Ruud Gullit. Trus, nyandu dengan minuman Sprite sejak umur 3 tahun lepas ASI hingga sekarang. Sampai-sampai tersugesti untuk minum Sprite campur garam setiap sakit kepala.

 

Mrantasi itu sangat tergantung dengan kebiaasaan. Maksudnya begini, saya beruntung karena dirumah dari kecil sudah diajari untuk belajar susah atau rekoso. Dan Ibupun pernah berujar kalau urip iku koyo rodho (hidup seperti roda -red). Saya harus siap-siap seneng, sedih, dan jatuh sekalipun. Semuanya bisa diatasi kalo kita mrantasi dan punya iguh.

 

Tapi, ternyata iguh saja tidak cukup. Karena Iguh tidak bisa dilakukan kalau kita tidak punya teman. "Orang kaya itu ukurannya adalah jumlah pelayat yang datang pas kita meninggal", ujar Bapak. Terjemahannya tentu saja bukan hanya kuantitas teman, tetapi justru kualitas teman. Sosok yang jauh lebih layak disebut sedulur atau saudara.

 

ps:

reposting berhubung beberapa sore terakhir si bapak ditinggal ngilang anak perempuannya :D 

 

Tuesday, February 19, 2008

Pameran Foto Samin;Sedulur Sikep Pieter Dwiyanto

Start:     Feb 26, '08 02:00a
End:     Mar 9, '08
Location:     CCCL Surabaya
http://www.suarasurabaya.net/v05/pernikkhatulistiwa/?id=6c4106923dbd3be8dd1e337465554a96200849540

cuti sudah ditangan, tiket diperjalanan..

Sidang Susila Teater Gandrik

Start:     Mar 7, '08 8:00p
End:     Mar 8, '08
Ketika Orde Moral tiba:
Kebenaran dimonopoli dan hilanglah toleransi!!!

Inilah saatnya kita mempertimbangkan kembali, ketika demokrasi dilumpuhkan dari dalam melalui kamuflase nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Pelanggaran nilai demokrasi selalu dikatakan sebagai bagian dari proses berdemokrasi.

Dengan gaya “sampakan”, Teater Gandrik Yogyakarta mengintip sebuah hari depan, sebuah zaman ketika moralitas ditegakkan oleh rezim susila.

Didukung:
Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, Susilo Nugroho, Heru Kesawa Murti, Whani Darmawan, Jujuk Prabowo, Sepnu Heryanto, Rulyani Isfihana, dll.

Tanggal Pementasan:

Jakarta, 22 & 23 Februari 2008
Pukul: 20.00 WIB,
Graha Bhakti Budaya-Taman Ismail Marzuki.
HTM : Rp 150.000, Rp 100.000, Rp 75.000, Rp 50.000

Yogyakarta, 7 & 8 Maret 2008
Pukul: 20.00 WIB,
Concert Hall-Taman Budaya.
HTM : Rp 100.000, Rp 75.000, Rp 50.000, Rp 30.000

Penjualan Tiket : Padepokan Seni Bagong Kussudihardja
Ds Kembaran Rt04/21 no 146 Bantul
(Wuri 0813 2800 8567, 0274-376 394)
Radio Sonora
Ndalem Tejo Kusuman
Jl. KH Wahid Hasyim
(0274-450363)

Monday, February 18, 2008

senja berpasir

tiba-tiba senja ini berpasir

 

 

tak ada layung yang hangat seperti kopi jahenya Pakde Parjo

tak ada deretan sriti di atas bentangan kabel yang semakin mengular

tak ada sahutan suara bel sepeda-sepeda buruh sepulang kerja

 

senyap..

 

ada yang hilang sore ini

 

suwung..

 

 

 

 

(Maaf, ini hanya iseng... entah, tiba-tiba saja terlintas ’senja berpasir’. Meski sampai saat ini saya masih binggung menguraikan maksudnya)

Sunday, February 17, 2008

Warung Marhaen; Riwayatmu Dulu

Berpulangnya Soeharto memancing berbagai opini. Banyak sekali tulisan, ulasan dan aneka pesan kesan yang sayangnya disajikan dengan porsi yang berlebihan. Sampai-sampai sidang hukum kasus Munir pun seolah menjadi berita cadangan.

 

Pak Harto memang legendaris. Saya mengakui beliau adalah orang pintar. Namun sayangnya, saking pinternya beliau minteri banyak orang. Saya juga tidak munafik bahwa ada banyak capaian yang mengesankan saat pemerintahannya. Tapi banyak pula keputusan politis yang berakhir tragis. 

 

Masih lekat di ingatan saya, tamu istimewa di penghujung tahun 1990. Sepulang sekolah, ketika itu saya masih TK, ada mobil polisi militer didepan warung dan rumah. Mereka bukan tamu agung seperti layaknya yang digambarkan simbah kakung saya disetiap dongengnya. Mereka bukan tamu agung yang layak disambut dengan teh hangat dan sepiring pisang goreng. Bukan. Tamu ini meminjam bapak. Memberikannya kamar dengan lantai dingin dan memisahkannya dengan ibu dan saya. Selama 2 hari bapak dicerca berbagai pernyataan serba aneh dan mengada-ada.

 

Hanya karena warung kami bernama ”Marhaen” bapakpun dituduh menyebarkan idelogi kiri. Aneh, padahal kami hanya menjual ayam presto dan pupu bakar dengan langganan anak kuliahan yang mayoritas warga keturunan cina. Tidak pernah sekalipun ada aktivitas politik dengan bendera kelompok tertentu. ”Lha wong warung nggo golek pangan kok di ngel-ngel,” ujar ibu saat itu.

 

Untunglah kebenaranpun datang perlahan. Meski sempat hidup dalam kecemasan, warung dapat bertahan sampai sekarang. Waktu itu kami tidak punya kuasa melawan ketidakadilan tersebut. Kami lebih memilih memutar uang untuk berjualan dibanding mengongkosi biaya hukum yang sudah pasti berlipat-lipat.

 

Berbicara soal keadilan memang sebuah hal yang mahal di Indonesia. Baik dulu maupun sekarang. Benar bila kita harus tak putus cara menagih itikad baik dari pemerintah sebagai penguasa dari sebuah sistem yang berjudul pemerintahan. Tapi itikad baik bukanlah satu-satunya cara, sebab kita tidak tahu persis seberapa besar tingkat cedera atas kesadaran mereka.

 

Satu hal yang paling realistis dilakukan sekarang adalah penegakan hukum. Lakukan sesuai prosedur yang ada dengan benar dan tepat dan kemudian menyinergikan semua keputusan. Tidak adalagi keputusan yang tarik ulur dan terkesan leda lede. Compac dan transparan.

 

Inilah saatnya kesempatan baik untuk membuktikan kesungguhan itu. Kasus Soeharto hanya satu dari sekian puluh kasus yang masih menjadi PR bersama. Meski, masih ada saja penyakit akutnya. Bukan rahasia lagi bila keputusan sering mudah berubah dan berganti karena uang. Uang memang masih menjadi raja. Menutup beberapa akses informasi publik dan menenggelamkan pintu-pintu transparansi. Tetapi saya tetap yakin bahwa kejujuran ada satu level diatasnya. Menjadi rajanya raja. Ya, percayalah saya.

 

 

ttg warung Marhaen:

http://trulyjogja.com/index.php?action=news.detail&cat_id=2&news_id=508

Jut Bio Klenteng Hok An Kiong




Jalan Pemuda siang itu memerah. Mereka sedang menanti Jut Bio (kirab) Dewa-dewa menyongsong perayaan Cap Go Meh 2559 yang jatuh Kamis (21/1) mendatang. Bau bakaran dupa dan kertas doa semakin menyeruak seiring dengan ribuan warga yang menyemut di pintu gerbang.

Tepatnya di Klenteng Hok An Kiong di kampung Sayangan Muntilan, genta dan tambur di tabuh bersahutan. Tandu (kio) diusung berbarengan dengan tarian naga (Liong) yang mengular. Arak-arakan beriring tak putus di jalan, berbaur dan melebur.


Bila malam imlek hanya bersifat perayaan keluarga dengan bersembayang bersama di Klenteng dan membaca kitab sutra-sutra suci, perayaan Cap Go Meh lebih meriah. Cap Go Meh adalah puncak pesta di tahun baru Imlek. Pesta rakyat yaitu pada malam ke-15 ketika bulan berbentuk sempurna.

Thursday, February 14, 2008

saparan bekakak

Start:     Feb 22, '08 12:00a
Saparan Bekakak
http://www.trulyjogja.com/index.php?action=news.detail&cat_id=7&news_id=185

jumat, bakda jumatan minggu ketiga sapar...

Lensa Tele Buat Simbah

“Mbak, aku beli tele ini buat simbahku,” ujarnya pendek merespon ketakjubanku pada kameranya. Lensa tele dan simbah. Lantas apa hubungannya? Bisa jadi simbahnya hobi motret ya? Atau dulu lensa warisannya pecah trus beli pengganti? Atau simbahnya memang sedang minta kado lensa panjang ini ? Deretan pertanyaan lalu lalang di kepala saya. Namun juga tak segera menemukan analisa jawaban yang pas.

 

Maksude piye to ?” tanya saya kemudian. Maklum, saya jarang mendapat jawaban unik seperti ini. ”Simbahku ki akeh mbak, durung sempat tak foto wis ana sing sedo pendhak tahun ne,” ujar laki-laki muda ini. “Wingi-wingi kerep gagal, ning saploke duwe tele, kan iso motret simbah-simbahku seko adoh tur natural” jelasnya beruntun.

 

Aih..aih rupanya laki-laki muda ini mulia sekali. Awalnya ia diminta sang Ayah untuk dapat mendokumentasikan seluruh keluarga besar. Namun sebelum punya lensa tele, ia selalu mengalami kesulitan memperoleh foto simbah-simbahnya. Pasalnya simbah-simbahnya selalu malu dan menolak difoto. Gagal dan tertunda sampai-sampai ada yang sudah meninggal sebelum sempat diabadikan.

 

Sekarang, iapun bisa tersenyum lega. ”Saiki iso nyolong-nyolong mbak,” jelasnya sambil tertawa bahagia.

 

 

ps: buat si lelaki muda, salam buat simbah-simbahmu ya...

 

translasi:

 

  • Maksude piye to ?”: Maksudnya bagaimana sih ?
  • ”Simbahku ki akeh mbak, durung sempat tak foto wis ana sing sedo pendhak tahun ne,”: Saya punya simbah banyak, tetapi belum sempat difoto sudah keburu ada yang meninggal dunia setiap tahunnya
  • Wingi-wingi kerep gagal, ning saploke duwe tele, kan iso motret simbah-simbahku seko adoh tur natural”: Kemarin sering sekali gagal, tapi semenjak punya lensa tele bisa memotret dari jauh dan natural
  • Saiki iso nyolong-nyolong mbak,”: Sekarang bisa mencuri-curi foto Mbak

Kata Mereka Saya Sangat Jawa

“Maaf, mbaknya dari Jogja ya?” tanya seseorang pada saya beberapa bulan lalu. Aneh. Padahal saya sempat belum berbicara sepatah katapun. Dan tidak pernah juga bertemu sebelumnya. Sungguh aneh ! Kebanyakan orang menebak dengan sukses di pertemuan pertama. Kata mereka wajah saya sangat jawa.

 

Sebenarnya wajar bila tebakannya benar setelah melihat blog saya. Menebak dari tulisan-tulisan dengan bahasa campuran Jawa Iromejan dan Indonesia meski sesekali disisipi istilah asing. Atau dari foto-foto yang berlokasi diseputaran Jogja.

 

Saya sering bertanya. Kenapa orang mudah sekali menebak saya ya? Mungkin saja karena warna kulit atau karena bentuk wajah saya. Sawo kematengan dan wajah bunder kleser.

 

Namun saya sekarang tak lagi ribut soal itu. I should be proud being a dark Javanese. ”Ndesomu itu aset” canda seorang kawan saya.

Monday, February 11, 2008

Sekaten, Kerak Telor dan Pemuda Bernama Hari




Namanya Hari, pemuda asli Peterongan Semarang. Masih muda, grapyak dan ulet. Setidaknya itu yang saya dapat dari ngobrol semalam. Sambil menikmati kerak telor buatannya, Hari bercerita banyak hal pada saya. Tentang usahanya, tentang sekolahnya dulu dan tentang sebuah negeri bernama Malaysia.

Hari adalah satu dari puluhan penjual Kerak Telor Betawi yang sedang in di arena sekaten Yogyakarta. Sekaten kini tak hanya berhias wedang ronde, jagung baker dan sate gajih. Seiring dengan menguatnya aroma Jakarta di kota ini. Ya macetnya, ya proyek baru bus transjogjanya.

Aneka pekerjaan pernah dilakoninya. Menjadi penjual arumanis, tukang masak, kuli kapal kayu dan terakhir ia memilih menjual kerak telor. Pemuda kelahiran tahun 1981 ini pun melanglang ke beberapa kota. Menyambangi berbagai arena pertunjukan terbuka seperti di Jakarta, Yogya dan Bumiayu.

“Dulu saya 3 tahun di Jogja mbak, sekolah pelaut,” ujarnya sesaat setelah tahu saya bukan perantauan. Hari memang sempat bersekolah di Akademi Maritim Yogyakarta. Tapi cita-citanya kandas setelah ia memutuskan keluar. “Dulu saya nakal, senengnya dolan-dolan,” imbuhnya.

Matamati Matahati Jemek Supadi




Saat bertemu dengan beliau di kantin TBY saat Jogjakarta Art Fest. beberapa bulan lalu, ia bercerita tentang sakit matanya. Mata kanannya tidak sempurna melihat seperti biasanya. "Mungkin Glukoma, Nduk!' ujarnya pada saya. "Ke Yap saja om, atau ke Bethesda, Bapak juga sama dan sekarang sembuh," saran saya pada beliau.

Malam itu, ditengah hujan gerimis, beliau unjuk gigi. Sakit justru menjadi inspirasi untuk berkesenian.

Sunday, February 10, 2008

Nyebar Apem; Saparan Wonolelo

Start:     Feb 14, '08 9:00p
Location:     Wonolelo
http://www.trulyjogja.com/index.php?action=news.detail&cat_id=11&news_id=419

Wayang Potehi




Wayang Poo Tee Hie atau sering disebut wayang Potehi memang unik dan ringkes. Tak ada geber, blecong dan serombongan niyaga dan sinden layaknya pertunjukan wayang kulit. Setidaknya inilah gambaran yang diperoleh dari perjumpaan perdana saya dengan wayang cina ini.

Untuk sekali pementasan wayang potehi setidaknya dibutuhkan 5 orang. 1 orang dalang, 1 orang asisten dalang dan 3 orang pemain musik. Sang dalang dan asisten akan berkutat pada boneka wayang. Sedangkan 3 pemain musik bertangungjawab pada twalo, twaba, siolo, yana dan dongko atau tambur. Alat-alat musik yang membangun suasana dengan ramuan musik etnis Cina dengan irama cepat.

Pertunjukan Sabtu malam (9/2) kemarin dimulai pukul 21.30. Lakonnya berjudul “Sie Tjien Kwie Ceng See” atau Sie Tjien Tua Menyerang Barat. Lakon dibuka dengan boneka wayang pembuka layaknya seperti Master of Ceremony. Penontonpun langsung berkerumun mendekat. Tak hanya orang tua, tetapi juga anak-anak dan remaja. Tak hanya etnis Cina tetapi juga Jawa. Seni memang tidak mengenal batasan.

Cerita dituturkan dengan campuran 3 bahasa yaitu bahasa Indonesia, Mandarin dan Jawa Timuran. Jadi, semua orang bisa paham akan alur cerita tanpa problem bahasa yang berlebihan. Disini keluwesan dan kemahiran dalang dipertontonkan.

Purwanto, Seniman Potehi asal Kencong Kepung Kediri terpilih menjadi dalang Poo Tee Hie untuk Pekan Budaya Tionghoa 2008 ini. Bersama 4 orang lainnya, ia berhasil mengantarkan lakon tentang peperangan secara apik selama 2,5 jam. Mereka adalah Pak Rahmat sebagai asisten dalang, Pak Sudarman pemain Twalo dan Twaba, Pak Sarjono pemain Siolo dan Yana dan Pak Hogi pemain Dongko.

Mereka manggung diatas panggung pementasan wayang potehi yang berukuran 2x3m. Ukurannya kecil meyesuaikan bentuk wayang-wayangnya yang mungil. Bilik pementasannya berselubung kain merah dengan ornamen bordir cina, semeriah baju boneka-boneka wayang potehi.

Terdapat 150 boneka wayang untuk satu set komplit wayang potehi. Ke-150 boneka wayang tersebut berbungkus konstum seperti pakaian era kekaisaran mandarin. Ciongsam dengan aneka bordir dan sulaman cantik lengkap dengan aksesori topi dan senjata. Warna-warnanya pun beragam.

Untuk satu buah boneka wayang potehi, dibutuhkan dana sebesar Rp. 250.00,00. Oleh karenanya selain tergolong langka, menurut sang dalang wayang ini juga wayang mahal. ”Menjadi dalang Potehi butuh modal banyak Mbak, kalau belum punya duit ya nyewa”, ujar Pak Purwanto sambil menunjuk ke kotak kayu tempat meyimpan wayang.

Saat ini ada sekitar 25 dalang potehi di Jawa Timur. Seniman-seniman tersebut akan mengalami panen tawaran manggung pada saat Imlek dan Cap Go Meh atau ketika perayaan ulang tahun klenteng.

All pictures taken with the one and only Panasonic Lumix FZ30. Specially uploaded for Mas Keliek Wisnu (semoga ini bisa mengobati penasaranmu ttg Potehi dan kekecewaanmu karena batal motret). FYI, Pak Purwanto akan manggung di Klenteng Kediri pada perayaan Cap Go Meh depan.

Thanks to:
1. Pak Purwanto cs.
2. Bapakku yang mengantar motret sampai pagi ditengah kantuk yang menyergap.
3. Teman-teman fotografer yang berbagi senyum dan kursi untuk ancik-ancik. Mas Deni Sos Atma (sesama tukang potret tanpa institusi), Mas Oblo (meski statusnya adalah saya tahu beliau tapi beliau tak tahu saya), dan mas mbak lainnya.

Mbah Semi Menggendong Kehidupan

Lantai 2 di los Krupuk dan Rambak Pasar Beringharjo sore itu terlihat senyap. Tinggal seorang satpan berdiri dibibir tangga.  Padahal jam belum genap pukul lima sore. Kios-kios sudah tutup. Dagangan sudah ditutup terpal. Tak ada lagi manol dan endong-endong di tangga pasar. Mungkin Mbah Semi sudah nyengklak bis menuju rumah. Kepancal.

 

Setelah menyusur pasar, bertanya pada satpam dan seorang ibu bakul, akhirnya saya menuju ke depan radio Arma Sebelas. Mungkin lagi Mbah Semi naik bis disini. Jalur 15 tujuan Gamping. Perkiraan yang masuk akal.

 

15 menit berlalu dan sosok Mbah Semi tak segera muncul. Sudah 3 bis jalur 15 dan tidak ada beliau didalamnya. Mungkin beliau sudah didalam bis pertama menuju ganti bis kedua di Pasar Gamping. Disana, beliau tetap juga tidak ada.

 

Berbekal tanya sebanyak 3 kali, saya pun sampai di desa Perengkembang, Balecatur Gamping Sleman. Tidak terlalu sulit menemukan rumah beliau. Benar kata simbah, nama suaminya, Wanto Utomo memang kondang di desa itu. “Mangkih njenengan tanglet mawon dalem e mbah Wanto Utomo, sedoyo sampun sami mangertos,” ujar beliau kamis lalu.

 

Ternyata kondangnya simbah karena sakit yang dideritanya. Beberapa tahun lalu suami Mbah Semi ini ditabrak seorang pemuda mabuk saat sedang mencari rumput. Kaki kanannya patah. Operasi pasang platina pun dilakukan di RS. PKU Muhammadiyah.

 

Bekas lukanya telah kering namun kakinya tetap susah digerakkan. Kakinya nampak legok. Kecelakaan itu mengubah segalanya. Mbah Semi terpaksa menjual sawahnya untuk menutup biaya operasi sebesar 5 juta. ”Sabin kulo sade pajeng 8 yuta, amargi ingkang nabrak namung urun 2 yuta,” cerita beliau. Sisa uang tersebut digunakan berobat jalan dan menyambung hidup setelah tidak lagi mempunyai sawah.

 

”Namun kulo ingkang golek pangan, lha bapakke sampun mboten saged mlampah,” jelas beliau sambil menepuk dada. Mbah Semi menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo. Pekerjaan ini telah dilakoninya sejak tahun 1953. Sebenarnya pekerjaan ini dulunya hanya bersifat samben bagi beliau.

 

Dirumah sederhananya berlantai tanah ia tinggal bersama suami, 2 putri dan seorang mantunya. Sedangkan 2 putrinya yang lain tinggal terpisah darinya, bekerja dan hanya setahun sekali pulang saat Lebaran. 

 

Saat saya datang, Mbah Semi dan suaminya sedang leyeh-leyeh di lincak bambu diteras rumah. Beliau tergopoh menyambut saya.”Jebul mboten goroh, siyos mriki saestu,” canda Mbah Semi pada saya.

 

Rupanya hari ini Mbah Semi tidak berangkat ke pasar. Badannya pegel. ”Awak kulo nembe pegel, sajake nyuwun leren”, jelas beliau pada saya. Ya, saya bisa membayangkan rasa capainya. Setiap hari simbah harus menempuh perjalanan pulang pergi dengan 2 kali ganti angkutan menuju dan dari pasar. Setelah itu segera bekerja mengendong barang yang berkilo-kilo beratnya. ”Kulo sakniki namung kiyat ngendong paling abot 30 kilo,” papar wanita berusia 70 tahun ini.

 

Menghitung pendapatan Mbah Semi semakin membuat trenyuh. Seringkali ia nombok karena sepi atau bahkan karena tidak ada pelanggan sama sekali. Kamis lalu, di hari pertama saya berjumpa dengan beliau misalnya. Di hari itu beliau hanya memperoleh 2 kali gendongan dengan total pendapatan 6000 rupiah. Gendongan pertama dihargai 2000 rupiah dan kedua sebesar 4000 rupiah. Padahal ongkos transport beliau setiap hari adalah 7000 rupiah.

 

Transaksi jasa dengan pelangganpun tidak semuanya mulus. Sering dari mereka menawar jasa gendongan Mbah Semi dengan harga yang sangat murah. ”Wonten ingkang remen ngenyang lan uthil mbak, warni warni,” katanya. Meski murah, tawaran ngendong tetap diambilnya demi keluarganya.

 

Menurunnya daya beli di pasar dan melambungnya harga sembako semakin mempersulit Mbah Semi. Sekarang, beliau mengurangi jatah makan menjadi 2 kali. Perutnya cuma dislemeki teh pahit seharga 500 rupiah. Ia tidak sanggup membeli sarapan nasi sayur seperti yang dilakukannya beberapa waktu lalu. Ini bertolak belakang dengan ributnya saya yang saban hari justru repot memilih tempat dan menu makanan meski perut belum lapar. Sedangkan mereka sedang berjuang untuk mengisi perut untuk makan hari ini, menggendong kehidupan. Ah, betapa jahatnya saya...

 

Yogyakarta, 10 Februari 2008

 

Translasi:

  • manol: sebutan untuk buruh gendong laki-laki
  • endong-endong: sebutan untuk buruh gendong perempuan
  • nyengklak bis: naik bis
  • kepancal: terlambat
  • kondang: terkenal
  • “Mangkih njenengan tanglet mawon dalem e mbah Wanto Utomo, sedoyo sampun sami mangertos,”: Nanti kamu tanya saja nama mbah Wanto Utomo, semua orang pasti tahu
  • Legok: terdesak masuk dan tidak rata
  • ”Sabin kulo sade pajeng 8 yuta, amargi ingkang nabrak namung urun 2 yuta,”: Sawah saya jual laku 8 juta, karena si penabrak hanya memberi bantuan 2 juta
  • ”Namun kulo ingkang golek pangan, lha bapakke sampun mboten saged mlampah,”: Hanya saya yang bekerja mencari makan, karena bapak sudah tidak bisa berjalan
  • samben: hanya perkerjaan cadangan
  • leyeh-leyeh: santai
  • ”Jebul mboten goroh, siyos mriki saestu,”: Tenyata tidak berbohong, akhirnya datang juga
  • ”Awak kulo nembe pegel, sajake nyuwun leren,”: Badan saya sedang capai, kelihatannya minta istirahat
  • ”Kulo sakniki namung kiyat ngendong paling abot 30 kilo,": Sekarang saya hanya kuat mengendong paling berat 30 kilo
  • ”Wonten ingkang remen ngenyang lan uthil mbak, warni warni,”: Ada juga yang suka menawar harga dan pelit
  • Dislemeki: istilah untuk menerangkan makanan yang dimakan pertama sebagai sarapan

 

ps:

Meski hanya kenal nama , terimakasih banyak dari saya untuk Mas Defri Werdiono (Wartawan Kompas Jogja yang menulis artikel tentang Imbas Kenaikan harga terhadap buruh gendong Mbah Semi edisi Selasa (5/2)). Gara-gara tulisan tersebut, saya bisa seduluran dengan Mbah Semi sekeluarga.

Thursday, February 7, 2008

Imlek di Klenteng Gondomanan




Berkawan hujan lebat dan senyuman salam kenal sesama pembawa kamera, saya terduduk di sudut Klenteng Gondomanan. Menikmati bau dupa, menengok kertas doa. Selamat Hari Raya Imlek. Semoga limpahan rahmat, sehat dan rejeki mengucur sederas hujan malam.

Berkah Imleknya Fitri; Hujan Saudara

Imlek kali istimewa. Selain berkah melalui hujan derasnya salat malam imlek dan pembukaan Pekan Budaya Tionghoa, saya juga ketiban rejeki. Bukan ang pao atau jeruk emas, tapi bertemu orang-orang istimewa. Hujan saudara.

 

Salah satunya adalah Mbah Semi (70th), wanita perkasa di lantai 2 Pasar Beringharjo. Beliau ini adalah endong-endong (buruh gendong –red) yang dimuat di feature Kompas Selasa (5/2) lalu. Sejak saya membaca artikelnya, saya punya angen-angen bertemu dan belajar dari beliau. Dan akhirnya, saya bisa berbincang dengan ibu 4 putra ini di tangga pasar. Memperoleh alamat rumahnya dan yang terpenting melihat seulas senyumnya setelah memperoleh gendongan. Potret seorang pekerja keras yang bekerja dengan tulus.

 

Orang-orang istimewa lainnya adalah para brayat Multiply.com, Sanggar Tari Natya Lakshita, Jogja Heritage Society, Fisip Atmajaya dan tentunya para pewarta foto, sesama penikmat fotografi dan Koh Candra Gunawan dari Klenteng Poncowinatan Kranggan. Pokoknya serba ndilalah. Ah senangnya…

 

 

Note:

Brayat MPnya adalah mbak Lisa Febriyanti (akhirnya kejadian juga hunting barengnya), Mas Sa Brecs (maturnuwun Bakmi Mbah Mo nya ya!), Mas Yainal (yang berhasil membaca raut ketidakjenak’an saya di Plengkung Gading), Mas Andik Nurcahyo (my Lasem’s online guide), Mas Tulix (meski hanya sempat jabat tangan; kenapa dirimu dan  Jeng Henny nggak motret di Ketandan?).

 

Semoga beberapa kawan MP lain menyusul di weekend nanti ya! Saya tunggu…

 

Tuesday, February 5, 2008

Pekan Budaya Tionghoa

Start:     Feb 7, '08 04:00a
End:     Feb 11, '08
Location:     Ketandan Yogyakarta
info terbaru dr panitia, rundown masih terus berubah.
ini ada beberapa info pentingnya:
1. Setiap sore mulai jam 18.30, ada berbagai acara panggung hiburan.
2. Wayang Poo Tay Hee muali jam 21.00 (tanggalnya belum confirm)
3. Kirab Budaya hari Sabtu 9 feb 2008 jam 14.30 di Malioboro

Mangkih kulo anyari malih kabaripun..

Fit

Monday, February 4, 2008

Repertoarmime MATAMATI oleh Jemek Supardi

Start:     Feb 8, '08 8:00p
Location:     Amphitheater Taman Budaya Yogyakarta
Repertoarmime MATAMATI ini merupakan sebuah bentuk pertanggung-jawaban Jemek Supardi sebagai seniman Pantomim. Selain untuk memberi apreasi seni pantomim pada masyarakat, juga dimaksudkan untuk mendorong tumbuhan minat generasi muda pada seni pantomim.

source: http://www.trulyjogja.com/index.php?action=news.detail&cat_id=19&news_id=1309

Foto2 Om Jemek: http://rachmasafitri.multiply.com/photos/album/31/Jemek_Supardi_Sang_Seniman_Nyentrik_