Masuk pelataran Magangan, suasana senyap. Mesin motor pun segera dimatikan. Terdengar samar lagu campursari saat kaki mulai melangkah masuk. Beradu dengan suara rantai motor Mas Tian, kakak sepupu saya yang bergesek seperti kurang oli.
"Nyuwun sewu, dalem badhe pinanggih Pak Yudoraharjo," ucap saya seketika berjumpa dengan para abdi yang sedang jagongan di depan pintu belakang kraton. Orang yang saya cari ternyata ada diantara mereka. Sedikit manglingi karena sedang tidak memakai blangkon. Segera foto-foto itu pun berpindah tangan. Wajahnya tampak sumringah. "Saestu mbak, meniko kagem kulo?" tanyanya berulang-ulang sambil mendekap foto berbingkai itu.
Malam kemarin, Selasa Legi (08/04/08) adalah caos pertama para abdi di Magangan. Artinya adalah tugas jaga untuk kelompok pertama. Ada 10 kelompok berdasarkan hari pasaran. Pak Yudoraharjo adalah salah satu abdi yang caos setiap pasaran Legi. Selain sebagai abdi dalem, Pak Yudoraharjo yang bergelar Mas Wedana ini juga bekerja sebagai juru kunci Makam Karanglo.
Semula kami tidak akan berlama-lama. Tapi rencana tinggal rencana. Kami tak mampu menolak teh manis suguhan mereka. "Ampun keseso, monggo lho dipun unjuk," pinta mereka berbarengan sambil jempolnya menunjuk ke arah gelas diatas tikar. Dan obrolan pun bergulir kemudian.Gayeng dan sedikit njlimet karena dalam bahasa jawa krama inggil. Cerita tentang banyak hal seperti cerita tentang abdi dalem Polowijo dan Semutgatel.
Selain Pak Yudoraharjo ada 4 abdi dalem lainnya. Kesemuanya memiliki nama depan Yudo. Mereka adalah pak Yudopradoto, Yudosaronto, Yudodinomo dan Yudosarono. Nama yang terakhir adalah milik seorang abdi dalem yang kemarin satu-satunya tidak memakai surjan. "Menawi kulo menika nglerek," ucapnya sambil bersalaman menjawab raut muka saya yang tampak binggung dengan kostumnya. Nglerek artinya adalah beliau datang satu malam lebih awal sebelum hari tugasnya berjaga. Nglerek kebanyakan dilakukan para abdi yang tempat tinggalnya jauh.
Saya sempat tercengang setelah tahu bahwa Pak Yudosarono ini berasal dari desa Kranggan Temanggung Jawa Tengah. Lebih tercengang lagi saat tahu bahwa beliau bersepeda pulang pergi setiap caos ke kraton. "75 kilo mbak, kirang langkung 12 jam dhateng margi," jelasnya kemudian. Artinya beliau menghabiskan setengah harinya waktu dijalan untuk menempuh perjalanan sepanjang 75 kilometer. "Sampun telas sarono 3 onthel mbak," candanya. Nama Yudosarono memang cocok buat si bapak. Beliau baru saja menjelaskan bahwa sejauh ini beliau sudah menghabiskan 3 buah sepeda.
Malam semakin larut dan diskusi semakin berkembang. Bersama mereka seperti sedang mengikuti pelajaran sejarah. Bedanya dengan disekolah, gurunya tak hanya satu. Semakin malam teh manisnya pun berkawan setelah datangnya Pak Mujiyono yang membawa sekardus bakpia. Beliau adalah abdi dalem yang masih magang di kraton. Belum dilantik sehingga belum berhak menyandang nama depan Yudo seperti kelima abdi yang lain. Selain Pak Mujiyono, ada seorang abdi magang lain yakni Pak Parjono. Ia masih tampak malu-malu untuk urun suara.
Saatnya saya pamitan. Sudah hampir 3 jam kami berbincang. Jagongan ditutup dengan foto bersama para abdi. "Mbake mboten dherek ?" tanya mereka meminta saya ikut berfoto. Permintaan itupun langsung saya tolak dengan halus, takut merusak keindahan foto. Dan sepuluh hari lagi saya akan kembali dengan foto keluarga dan sekeranjang pertanyaan. Magang sejarah. Jangan kapok ya Bapak-bapak..
PS: terimakasih sekali buat masopang yang bersedia mempostingkan tulisan. Semoga tabah ya..
wah masih bisa OL nih, kayanya kemarin sempet marah2 karena MP salah satu blog yg kena block deh....he....he...
ReplyDeleteini nitip posting sama Masopang.. hehehe.. jalan tikusku cuma bisa sebatas login dan reply mas...
ReplyDeleteooo...cuma bisa itu ya....santai nanti kita cari "jalan tikus" yang lebih hebat lagi OK. :D
ReplyDeletesip...saya tunggu infonya ya..
ReplyDeletenumpak pit 12 jam? salut...
ReplyDeleteho o, Temanggung - Jogja PP.. elok tenan yo..
ReplyDeletedan gajiannya 5000ribu potong 2000rb untuk uang asuransi..
ReplyDeletepengabdian....
ReplyDelete75 km .. duuuh....
ReplyDeleteyang tak bisa diukur dengan uang..
ReplyDeleteadoh tenan yo mbak.. nek saya yang menjalani, pasti sudah jadi bunder...
ReplyDelete