Sunday, July 27, 2008

Mbah Sutirah; Saat Tikus Mencuri Dengar

Episode 2

 

Ditengah perbincangan kami, tikus-tikus seukuran kucing bersliweran seakan ingin mencuri dengar. Makhluk kecil yang berlarian menerobos karung goni dan keranjang bambu berisi kelapa dan jipang. Gesit, lincah namun menjengkelkan. Mereka adalah teman para buruh gendong yang terpaksa tidur di pasar. Maklum, tidak semua endong-endong memiliki cukup uang untuk menyewa secara patungan kamar-kamar kecil di daerah Sayidan atau Gemblakan. Dan tidak semua buruh gendong  memiliki ongkos untuk menjadi penglajo seperti Mbah Sutirah.

 

Kue pukis bertabur meses coklat itu masih betah mendekam didalam kardus. Mbah Sutirah belum mengambilnya meski saya sudah menawari berulang kali. ”Sampun,” tolaknya halus. Saya masih tak yakin beliau telah kenyang karena makan malam. Setelah  beberapa lama, akhirnya beliau tanpa sengaja bercerita bahwa hari ini makan satu kali. ”Wau siang maem sekul jangan, sakpenak karo tengah ewu,” ucapnya sambil menunjuk ke arah warung yang dimaksud.

 

Setiap hari Mbah Sutirah mengeluarkan 1500 rupiah untuk sebungkus nasi sayur dan 1000 rupiah untuk secangkir teh yang nantinya dapat sekali direfill dengan air putih. Sedangkan untuk ongkos bis, beliau membutuhkan uang 6000. Nominal tersebut sudah jauh berkurang 2 kali lipat setelah beliau berjalan kaki sepanjang 10 kilometer. 2 kilometer dari rumahnya ke Perempatan Kenteng dan 3 kilometer dari perempatan Wirobrajan menuju Beringharjo. Begitu sebaliknya untuk perjalanan pulang. Jumlah yang tak sedikit untuk orang seusia Mbah Sutirah.

 

Selain usia yang tak lagi muda, semangat hidup Mbah Sutirah dan puluhan buruh gendong yang lainnnya juga tetap menggelora. Dorongan ini tak lain berasal dari anak-anak mereka. ”Menawi kagem anak, udan angin nopo nggih tetep dilakoni,” ujarnya sambil mengusap wajah. Semua hal yang halal akan dilakukan sekuat tenaga untuk tetap bisa membeli 1 liter nasi setiap minggunya dan uang sekolah bulanan.

 

Ibu 4 putra ini juga tidak pernah mematok harga untuk jasa gendongannya. ”Saklilahe ingkang  maringi,” ucap beliau berusaha menjelaskan. Mbah Sutirah berkata bahwa beliau selalu menerima pemberian pelanggannya berapapun jumlahnya. ”Mangkih nek rewel mundak disirik,” ujarnya kemudian.  

 

Waktu berjalan dan hari semakin malam. 2 ibu pedagang timun dan kelapa yang ada di ujung tangga juga sudah bersiap tidur. Waktunya pula buat saya pamit pulang. Beliau berjanji akan mengingat saya, bukan karena kesamaan dengan nama keponakannya. Beliau juga mengucap terimakasih ketika saya meminta ijin bila sewaktu-waktu saya akan mempir kerumah beliau di Kulonprogo. Bagi saya yang terpenting adalah bahwa inilah saat yang tepat bagi Mbah Sutirah untuk kembali mencoba tidur dengan membayangkan perjumpaan dengan Pak Klimun meski hanya dalam mimpi. Dan semoga ini hanya terjadi hari ini. 

2 comments:

  1. bagus fit, cm kurang detail aja.
    keep on working bos :)

    ReplyDelete
  2. hehehe..masih bolong-bolong memang...ini cuma hasil jagongan satu malam..

    ReplyDelete