Judul diatas mencuplik statemen Cendekiawan Muslim, Syafi’i Antonio saat diskusi di sebuah TV swasta semalam. Dua kata tersebut menjelaskan tragedi pembagian zakat di Pasuruan yang menelan korban 21 orang wanita. Mereka meninggal mengenaskan karena terijak, kehabisan oksigen dan kehilangan tenaga saat berdesakan untuk memperoleh sekantung beras atau sejumlah uang yang jumlahnya tak lebih dari lima puluh ribu rupiah. Terlepas dari niat baik yang berzakat, kejadian tersebut mempertajam pencitraan sebuah parade kemiskinan ”aku yang kaya kamu yang miskin”.
Sederet pertanyaan lantas mengusik saat jeritan para pengantri zakat diputar berulang-ulang di hampir semua stasiun televisi. Apakah ini masalah menurunnya moral ? Apakah karena ketidakpercayaan pada badan amil zakat ? Apakah karena arogansi personal untuk kepentingan tertentu? Apakah karena kesalahan sistemik dari pemerintah dengan UU zakat yang nanggung?
Insiden; Sudah Lupa Tuh !
Saya sependapat pula dengan Imam Prasojo dengan tidak menyebut kejadian kemarin adalah sebuah insiden. Kecenderungan pemaknaan insiden adalah kejadian menjadi sebuah permakluman dan akan segera mudah dilupakan karena sifatnya yang insidental.
Boleh dibilang, kita adalah negara yang memang jarang belajar dari pengalaman. Bila menoleh lagi, ada banyak kejadian serupa yang juga menelan korban jiwa. Hampir setiap tahun selalu terjadi tanpa ada tindakan mitigasi terkecuali ucapan duka cita yang hampir seperti pembelaan diri.
Managemen Resiko Pembagian Zakat Massal
Saya tak habis pikir bagaimana mekanisme berpikir sebagian orang yang lebih menyukai acara masal bagi-bagi zakat. Satu hal yang pasti adalah pemberi zakat kebanyakan lebih menitik beratkan pada pada kuantitas dibanding kualitas. 1000 orang lebih mungkin lebih bermakna dibanding 10 orang dengan konsep bantuan zakat yang berkelanjutan bagi mereka.
Oleh karena, mungkin perlu inisiasi dalam hal mitigasi dengan membuat managemen resiko untuk semua kegiatan yang melibatkan massa. Jadi tidak hanya soal pembagian zakat, tetapi juga kegiatan seni dan budaya seperti konser musik atau semisal upacara rayahan Grebeg di Jogja yang beresiko besar. Tentu saja, koordinasi yang mantap juga perlu diperhatikan sebagai sebuah bagian dari managemen. Istilahnya ”cucul duit setitik ketimbang ilang nyowo”.
Pertanyaan yang juga menggelayuti pikiran saya. Mungkin di sana membagikan zakat secara terbuka adalah bagian dari tradisi lokal.
ReplyDeleteSayang panitianya gagal mengantisipasi membludaknya pengantri. Polisi juga lebih memilih diberitahu tahu dulu baru datang, ketimbang berinisiatif mengamankan, walaupun sudah ada insiden serupa tahun lalu.
iya mas, mungkin karena sudah berpuluh-puluh tahun dijalankan tradisinya, bisa jadi resiko-resiko bukan menjadi perhatian utama. Lha wong dari dulu sudah begitu.
ReplyDeleteParahnya, sebagian besar sistem pengamanan bukan sistem jemput bola, tp harus disowani dulu. tunggu ada laporan baru bergerak.
ini sekarang dibalik..
ReplyDelete" ilang nyowo goro goro duit setitik "
namanya juga jaman edan
ReplyDeleteiya pak, nyowo jadi seperti tidak ada harganya
ReplyDeletewolak-walik ing jaman
ReplyDelete