Dulu pas masih aktif kuliah, kalau saya sedang "mumet" biasanya saya lari ke Ringin Sepuh. Larinya saya ini tidak berbiaya tinggi tapi serba murah meriah. Jadi ingat julukan Reporter 2NG yang diberikan oleh sahabat saya, AD. 2NG itu singkatan Nglemproh dan Ngere. Rapopo, saya justru bahagia. Karena menurut saya, kebahagian itu tidak harus mahal ? Bener nggak?
Ringin Sepuh di depan komplek makam Panembahan Senopati di Kotagedhe memang mempesona saya. Rasanya jadi rindu ingin bersua kembali dengan mbah Padmo yang setia duduk diujung timur pendopo. Ceritanya ringan, tapi sungguh bermakna. Beliau teman ngobrol lintas generasi yang menyejukkan, sesejuk silirnya udara.
Jurus ini ternyata ampuh juga. Intinya kepala yang sedang panas harus dipertemukan dengan yang dingin. Lebih baik ngadem daripada misuh yang nggak karuan dan pasti nambah deretan dosa. Tapi mungkin juga karena ada selingan seperti tiwul, kipo dan lego moronya Pasar Kotagedhe.
Saya sadar kalo saya memang seperti "grontol wutah". Artinya kalau berbicara tidak pernah habis, terus menerus dan tidak ada titiknya. Biasanya, bapak saya adalah pendengar yang paling setia. Tapi setelah saya wadul sama bapak, pasti ibu yang giliran protes. Bukan karena saya pilih kasih, tapi karena pendapat dan tanggapannya Bapak yang cenderung ekstrem. Dulu saya pernah cerita tentang rencana tawur di SMA 9 sama Bapak. Tanggapan Bapak berbeda dengan orangtua kebanyakan. Katanya : "Nek kowe bener rasah wedi, melu wae!". Disitulah letak bedanya Ibu dengan Bapak.
Kalau mau dilirik kebelakang, ternyata sahabat-sahabat diskusi saya kebayakan orang tua. Ketika SD di Serayu I ada Pak Kampret, Pak Leker, Pak Hansip Pantiman dan Pak Becak yang setia jadi teman main saya. Beliau-beliau inilah yang mengajarkan saya bahwa hidup itu semestinya harus tulung tinulung dan saling ngemong.
Lantas, apakah mumetnya serta merta bisa hilang hanya dengan berbicara? Jawabnya tentu saja iya, tapi dengan catatan. Paling penting, partner bicaranya adalah seseorang yang memang kita butuhkan, walau hanya sebagai pendengar. Tapi mencari pendengar yang baik ternyata bukan perkara yang mudah. Dan lebih sulit lagi mendapat pendengar sekaligus penasehat. Mungkin Mbah Maridjan, pekuncen Merapi ini bisa jadi contohnya buat saya.
Pada suatu wawancara saya, beliau sempat berucap : "Mbak Fitri, menawi dituruti,tiyang gesang menika kirang teras, mboten nate cekap". Benar Mbah, saya setuju dengan njenengan.
No comments:
Post a Comment