Sunday, September 23, 2007

Trenyuh

Trenyuh. Inilah kata yang pas untuk  malam ini, tepatnya jam 11 kurang sepuluh menit. Dihadapan kami, seorang perempuan lanjut usia masih dengan setia menunggu pembeli pisang ambon dan kacang rebus dagangannya.  Beliau manggrok di seberang jalan sebuah Mall terbesar di kota kami. Menjajakan penganan yang kian tergusur oleh aneka pastry dan kebab yang kian merajalela dengan sistem franchise. Tak ada gurat keluh di wajahnya.

 

Perempuan tua yang kami panggil simbah itu melayani kami dengam senyum dan cerita hangat. Cerita tentang 4 orang anaknya yang sudah mentas dan merantau ke Sumatera. Senyum tersunggih di bibirnya, senyum bangga bercampur kangen yang tetap bisa dirasa.

 

Seharusnya simbah ini terlelap di ranjang dengan selimut tebal berteman siaran wayang kulit semalam suntuk RRI Yogya. Seperti kebiasan simbah putri saya, rengeng-rengeng sampai akhirnya sare. Tapi beliau disini. Duduk berkawan udara dingin Yogya hanya dengan jas tipis yang bolong disana sini.

 

Saya pun bertanya,“Mboten asrep mbah?“. Dengan sigap beliau mengeleng pelan sambil mengambil kresek bekas untuk wadah pisang yang saya beli. Tenaganya masih kuat dibalik badan kurus dengan kulit yang keriput.

 

Perjumpaan singkat ini terasa sangat bermakna meski kami tak sempat bertanya nama. Namun senyum hangat beliau mengingatkan kami untuk selalu eling, bersyukur dan belajar berbagi. Bukan hanya untuk malam ini, tapi untuk suatu pagi di kemudian hari. Semoga.

 

Thanks to Thomas Arya Baskara for a great night journey.

21 September 2007, 23.15, malam kesebelas ramadhan.

 

 

 

Trenyuh: hati jatuh empati

manggrok: mengelar dagangan disuatu tempat dan selalu disitu untuk suatu tempo

mentas: anak yang telah selesai sekolah (umumnya SMA) dan beroleh pekerjaan

rengeng-rengeng: bersenandung kecil

sare: tidur

mboten asrep mbah: tidak kedinginan mbah?

eling: ingat

Titik dan Koma

Perjalanan kali ini memberi saya pelajaran. Namun pelajaran kali ini tak mengenal istilah kurikulum dan metode ajar. Ya, saja belajar tentang titik dan koma. Lebih tepatnya mengenai sebuah kepastian dan pengharapan.

 

Bagi saya cinta itu titik. Sedangkan sayang itu koma. Dan inilah yang saya buktikan selama 4 hari perjalanan saya. Kalimat diatas hanya berlaku untuk orang dengan komitmen. Bukan sesuatu yang pantas untuk ditarik ulur ataupun yang akan dijawab dengan kata mungkin.

 

Bicara tentang titik adalah menyoal tentang yang terkunci. Tidak ada keraguan, tanpa ada kebimbangan, hanya ada kepastian.

 

Sedangkan koma, lebih luwes dan fleksibel. Padanya masih terbuka kesempatan berpikir dan bernafas. Merancang langkah dalam jeda yang ada.

 

Saya yakin semua orang pasti akan bertemu dengan mereka. Seperti saya yang sedang menikmati deretan koma.

 

 

Thanks for my friends: Christopher Yanto & Pricilla Dria Pangesti

Situ Patengan Rancabali Jawa Barat, 11 September 2007.

 

Dibalik Jendela Kereta

Rencana lama yang mendadak. Untungnya semuanya siap menjelang Hari H. Untungnya ada seorang kawan yang meyakinkan Ibu untuk melepas saya ke Bandung menjelang puasa. Kepastian bahwa anak tunggalnya tidak akan hilang di belantara Paris Van Java. Dan ibu pernah berkata:, “Paling tidak ada yang jemput di stasiun”.

 

Ini tiket kedua saya. Semoga semua akan berjalan sesuai rencana. Rencana untuk berkelana dengan uang hasil bekerja dan oleh-oleh bagi keluarga.

 

Tiket pertama masih tersimpan sampai sekarang. Tiket yang tidak pernah saya gunakan. Saya masih ingat, sore itu Bapak terisak di ujung telepon dengan kabar duka. Berpulangnya simbah putri saya yang belum sempat saya bahagiakan. Simbah yang hanya bisa menangis dan tersenyum dengan selang sonde di hidungnya melihat saya sowan sepulang kerja.

 

Akhirnya saya tiba di stasiun. Menanti kereta yang akan membawa saya belajar mandiri. Lima orang menggantar saya. Ibu, Bapak, Mas Ari, Garda dan Daffa.  Pada awalnya saya berpikir hanya akan berat melihat Daffa. Bola matanya mbrambangi, dan ia klayu.

 

Dibalik jendela kereta, suatu hal membuat saya tersadar. Mata yang berkaca-kaca itu ternyata tak hanya milik Daffa. Tapi juga milik Ibu. “Ayolah, relakan anak perempuan ini pergi sendiri barang empat hari”, kata saya dalam hati. Ibu, saya pasti kembali.

 

 

Dedicated to my beloved mom,

Turangga 3/11A, 6 September 2007. 23.25 WIB

 

 

Tiga Ronde Tiga Rasa

Entah mengapa ada yang menuntun untuk segera menulis. Niat datang serta merta untuk merangkai kata menjadi kalimat beranak pinak. Mengurai cerita lucu siang sore hari ini.

 

Ketika seorang perempuan menjadi sedikit marah, setengah kecewa dan akhirnya berubah lega. Tiga ronde yang bikin hidup saya menjadi berwarna karenanya. Belajar dari kisah melodramatik seorang perempuan yang sedang gelisah.

 

Ronde Pertama : Ketika si perempuan menjadi sedikit marah.

 

Lagi-lagi bertemu orang yang belum jujur, dan menjadi tertipu. Ternyata jujur belum tentu berbalas jujur, apalagi bila kita menuntut hal tersebut terjadi pada orang dan waktu yang bersamaan.

 

Ronde Kedua : Ketika si perempuan merasa setengah kecewa.

 

Klimaksnya ketika dia sadar baru saja menjadi perempuan bodoh yang jatuh pada lubang yan sama. Kok bisa ya? Kesimpulannya bahwa kepolosan ternyata bukan entry point yang tepat untuk menilai seseorang.

 

Ronde Ketiga : Ketika si perempuan berubah lega.

 

Seperti orang Jogja pada umumnya, selalu saja ada tarikan nafas panjang yang dibarengi senyum yang mengembang. Dan itu pun terjadi pada si perempuan di ronde akhir. Ada kelegaan, bahwa mimpimya tetap menjadi kembang tidur.

 

Yogyakarta, Agustus 2007.

 

Sunday, September 2, 2007

Bandung Lembang

Start:     Sep 8, '07 02:00a
End:     Sep 11, '07
Location:     Bandung Lembang
pengen liat2 braga dan kebun teh

manono solo