Trenyuh. Inilah kata yang pas untuk malam ini, tepatnya jam 11 kurang sepuluh menit. Dihadapan kami, seorang perempuan lanjut usia masih dengan setia menunggu pembeli pisang ambon dan kacang rebus dagangannya. Beliau manggrok di seberang jalan sebuah Mall terbesar di kota kami. Menjajakan penganan yang kian tergusur oleh aneka pastry dan kebab yang kian merajalela dengan sistem franchise. Tak ada gurat keluh di wajahnya.
Perempuan tua yang kami panggil simbah itu melayani kami dengam senyum dan cerita hangat. Cerita tentang 4 orang anaknya yang sudah mentas dan merantau ke Sumatera. Senyum tersunggih di bibirnya, senyum bangga bercampur kangen yang tetap bisa dirasa.
Seharusnya simbah ini terlelap di ranjang dengan selimut tebal berteman siaran wayang kulit semalam suntuk RRI Yogya. Seperti kebiasan simbah putri saya, rengeng-rengeng sampai akhirnya sare. Tapi beliau disini. Duduk berkawan udara dingin Yogya hanya dengan jas tipis yang bolong disana sini.
Saya pun bertanya,“Mboten asrep mbah?“. Dengan sigap beliau mengeleng pelan sambil mengambil kresek bekas untuk wadah pisang yang saya beli. Tenaganya masih kuat dibalik badan kurus dengan kulit yang keriput.
Perjumpaan singkat ini terasa sangat bermakna meski kami tak sempat bertanya nama. Namun senyum hangat beliau mengingatkan kami untuk selalu eling, bersyukur dan belajar berbagi. Bukan hanya untuk malam ini, tapi untuk suatu pagi di kemudian hari. Semoga.
Thanks to Thomas Arya Baskara for a great night journey.
21 September 2007, 23.15, malam kesebelas ramadhan.
Trenyuh: hati jatuh empati
manggrok: mengelar dagangan disuatu tempat dan selalu disitu untuk suatu tempo
mentas: anak yang telah selesai sekolah (umumnya SMA) dan beroleh pekerjaan
rengeng-rengeng: bersenandung kecil
sare: tidur
mboten asrep mbah: tidak kedinginan mbah?
eling: ingat