Sunday, September 23, 2007

Dibalik Jendela Kereta

Rencana lama yang mendadak. Untungnya semuanya siap menjelang Hari H. Untungnya ada seorang kawan yang meyakinkan Ibu untuk melepas saya ke Bandung menjelang puasa. Kepastian bahwa anak tunggalnya tidak akan hilang di belantara Paris Van Java. Dan ibu pernah berkata:, “Paling tidak ada yang jemput di stasiun”.

 

Ini tiket kedua saya. Semoga semua akan berjalan sesuai rencana. Rencana untuk berkelana dengan uang hasil bekerja dan oleh-oleh bagi keluarga.

 

Tiket pertama masih tersimpan sampai sekarang. Tiket yang tidak pernah saya gunakan. Saya masih ingat, sore itu Bapak terisak di ujung telepon dengan kabar duka. Berpulangnya simbah putri saya yang belum sempat saya bahagiakan. Simbah yang hanya bisa menangis dan tersenyum dengan selang sonde di hidungnya melihat saya sowan sepulang kerja.

 

Akhirnya saya tiba di stasiun. Menanti kereta yang akan membawa saya belajar mandiri. Lima orang menggantar saya. Ibu, Bapak, Mas Ari, Garda dan Daffa.  Pada awalnya saya berpikir hanya akan berat melihat Daffa. Bola matanya mbrambangi, dan ia klayu.

 

Dibalik jendela kereta, suatu hal membuat saya tersadar. Mata yang berkaca-kaca itu ternyata tak hanya milik Daffa. Tapi juga milik Ibu. “Ayolah, relakan anak perempuan ini pergi sendiri barang empat hari”, kata saya dalam hati. Ibu, saya pasti kembali.

 

 

Dedicated to my beloved mom,

Turangga 3/11A, 6 September 2007. 23.25 WIB

 

 

1 comment: