Sunday, October 7, 2007

Bertemu Bu Poniyem di Stasiun Tugu

Sudah lama saya ingin ke stasiun Tugu. Saya memang kedanan sepur. Benda ajaib yang serba massive. Saban lihat kereta, pikiran saya langsung lari kemana-mana. Ibarat kata, katut playune sepur. Hingga sekarang punya tempat refreshing langganan, stasiun.

 

Timing nya pun pas. Stasiun pasti lebih berwarna tatkala masa musik lebaran. Perburuan foto human interest dengan cita rasa ndeso siap dimulai. (sebutan ndeso ini diberikan pada foto saya oleh J. Totok Sumarno, pewarta foto dari Surabaya –red). Pokoknya  H-7 ini saya harus ke stasiun. Harus.

 

Stasiun selalu bersahabat dengan siapapun, tak terkecuali pada saya. Anggukan dan senyuman kecil petugas peron cukup membuat lega untuk langkah pertama. Ketika sedang menyiapkan kamera, seorang Polsuska (Polisi Khusus Kereta) juga bertegur sapa. “Wartawan ya mbak?“, begitu tanyanya. “Bukan pak, cuman seneng motret kok“, begitu jawab saya. Duh, saya jadi ingat, setahun lalu saya masih berprofesi reporter yang jarang mengaku reporter.

 

Menyusuri stasiun, kereta Prameks favorit saya hendak berangkat. Kebak mencep-mencep.  Parahnya, kereta ini seakan ngawe-awe saya untuk segera masuk. Untung masih sadar bin waras, dan kaki pun urung melangkah.

 

Tiba-tiba, mata saya tertuju pada seorang ibu berkebaya biru. Beliau duduk timpuh dilantai dengan baskom berisi nasi bungkusan dan gorengan dagangannya. Setelah wira-wiri didepannya, si Ibu tersebut tersenyum pada saya. Senyumnya hangat. Dan berkat senyum itu saya berani mendekat ngobrol dengan beliau.

 

Namanya Ibu Poniyem, usianya separuh abad lebih. Sudah hampir 30 tahun berjualan nasi gudeg dan nasi rames di jalur utara Stasiun Tugu. Ibu empat putra asli Tegalrejo ini sangat semanak.

 

Ini kali pertama kami bertemu. Tapi rasanya saya sudah kenal lama. Perbincangan kami lancar dalam bahasa Jawa krama inggil. Meski sesekali mulut saya macet. Bingung mencari kosakata yang trep.

 

Kami memiliki kesamaan. Kami sama-sama jatuh cinta pada stasiun. Menurut kami terminal kereta ini memberikan rasa lain. “Menawi teng griyo nggadhahi masalah, pas teng stasiun pun mboten kelingan malih“, ujar beliau sambil menatap saya.  

 

Betul ibu, saya pun setuju. Rasanya memang teduh disini. Sedingin lantai keramik stasiun ketika kami duduk lesehan. Ini tempat pelarian kedua saya setelah Kotagedhe. Ongkosnya pun murah meriah. Cukup 3000 rupiah untuk peron dan parkir motor. Bisa lihat kereta, cuci mata, dan tambah saudara.

 

 

Stasiun Tugu, 06 October 2007

photo : http://rachmasafitri.multiply.com/photos/photo/21/4

8 comments:

  1. tulisan yang menggugah .. cuma fotonya mana yak? :)

    ReplyDelete
  2. maaf, glosary nya belum sempet dibuat..
    Semanak artinya ramah dan sangat mudah bersahabat.

    ReplyDelete
  3. iya...so touching emang...mirip ceritaku ama penjual angkringan2 di sepanjang jln solo... :)

    ReplyDelete
  4. Wah sama kayak anakku lho mba' sama-sama kedanan sepur. Bahkan hampir tiap hari kami nganter Thole ke Stasiun Lempuyangan atau Tugu ...

    ReplyDelete
  5. Dari baju, kaos, sprei, pensil, t4 pensil, tas sekolah, buku gambar, t4 minum, topi, buku tulis, mainannyapun ga ada bentuk lain ... semuuuuuanya gambar atau bentuk kereta ...

    ReplyDelete