Sunday, February 10, 2008

Mbah Semi Menggendong Kehidupan

Lantai 2 di los Krupuk dan Rambak Pasar Beringharjo sore itu terlihat senyap. Tinggal seorang satpan berdiri dibibir tangga.  Padahal jam belum genap pukul lima sore. Kios-kios sudah tutup. Dagangan sudah ditutup terpal. Tak ada lagi manol dan endong-endong di tangga pasar. Mungkin Mbah Semi sudah nyengklak bis menuju rumah. Kepancal.

 

Setelah menyusur pasar, bertanya pada satpam dan seorang ibu bakul, akhirnya saya menuju ke depan radio Arma Sebelas. Mungkin lagi Mbah Semi naik bis disini. Jalur 15 tujuan Gamping. Perkiraan yang masuk akal.

 

15 menit berlalu dan sosok Mbah Semi tak segera muncul. Sudah 3 bis jalur 15 dan tidak ada beliau didalamnya. Mungkin beliau sudah didalam bis pertama menuju ganti bis kedua di Pasar Gamping. Disana, beliau tetap juga tidak ada.

 

Berbekal tanya sebanyak 3 kali, saya pun sampai di desa Perengkembang, Balecatur Gamping Sleman. Tidak terlalu sulit menemukan rumah beliau. Benar kata simbah, nama suaminya, Wanto Utomo memang kondang di desa itu. “Mangkih njenengan tanglet mawon dalem e mbah Wanto Utomo, sedoyo sampun sami mangertos,” ujar beliau kamis lalu.

 

Ternyata kondangnya simbah karena sakit yang dideritanya. Beberapa tahun lalu suami Mbah Semi ini ditabrak seorang pemuda mabuk saat sedang mencari rumput. Kaki kanannya patah. Operasi pasang platina pun dilakukan di RS. PKU Muhammadiyah.

 

Bekas lukanya telah kering namun kakinya tetap susah digerakkan. Kakinya nampak legok. Kecelakaan itu mengubah segalanya. Mbah Semi terpaksa menjual sawahnya untuk menutup biaya operasi sebesar 5 juta. ”Sabin kulo sade pajeng 8 yuta, amargi ingkang nabrak namung urun 2 yuta,” cerita beliau. Sisa uang tersebut digunakan berobat jalan dan menyambung hidup setelah tidak lagi mempunyai sawah.

 

”Namun kulo ingkang golek pangan, lha bapakke sampun mboten saged mlampah,” jelas beliau sambil menepuk dada. Mbah Semi menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo. Pekerjaan ini telah dilakoninya sejak tahun 1953. Sebenarnya pekerjaan ini dulunya hanya bersifat samben bagi beliau.

 

Dirumah sederhananya berlantai tanah ia tinggal bersama suami, 2 putri dan seorang mantunya. Sedangkan 2 putrinya yang lain tinggal terpisah darinya, bekerja dan hanya setahun sekali pulang saat Lebaran. 

 

Saat saya datang, Mbah Semi dan suaminya sedang leyeh-leyeh di lincak bambu diteras rumah. Beliau tergopoh menyambut saya.”Jebul mboten goroh, siyos mriki saestu,” canda Mbah Semi pada saya.

 

Rupanya hari ini Mbah Semi tidak berangkat ke pasar. Badannya pegel. ”Awak kulo nembe pegel, sajake nyuwun leren”, jelas beliau pada saya. Ya, saya bisa membayangkan rasa capainya. Setiap hari simbah harus menempuh perjalanan pulang pergi dengan 2 kali ganti angkutan menuju dan dari pasar. Setelah itu segera bekerja mengendong barang yang berkilo-kilo beratnya. ”Kulo sakniki namung kiyat ngendong paling abot 30 kilo,” papar wanita berusia 70 tahun ini.

 

Menghitung pendapatan Mbah Semi semakin membuat trenyuh. Seringkali ia nombok karena sepi atau bahkan karena tidak ada pelanggan sama sekali. Kamis lalu, di hari pertama saya berjumpa dengan beliau misalnya. Di hari itu beliau hanya memperoleh 2 kali gendongan dengan total pendapatan 6000 rupiah. Gendongan pertama dihargai 2000 rupiah dan kedua sebesar 4000 rupiah. Padahal ongkos transport beliau setiap hari adalah 7000 rupiah.

 

Transaksi jasa dengan pelangganpun tidak semuanya mulus. Sering dari mereka menawar jasa gendongan Mbah Semi dengan harga yang sangat murah. ”Wonten ingkang remen ngenyang lan uthil mbak, warni warni,” katanya. Meski murah, tawaran ngendong tetap diambilnya demi keluarganya.

 

Menurunnya daya beli di pasar dan melambungnya harga sembako semakin mempersulit Mbah Semi. Sekarang, beliau mengurangi jatah makan menjadi 2 kali. Perutnya cuma dislemeki teh pahit seharga 500 rupiah. Ia tidak sanggup membeli sarapan nasi sayur seperti yang dilakukannya beberapa waktu lalu. Ini bertolak belakang dengan ributnya saya yang saban hari justru repot memilih tempat dan menu makanan meski perut belum lapar. Sedangkan mereka sedang berjuang untuk mengisi perut untuk makan hari ini, menggendong kehidupan. Ah, betapa jahatnya saya...

 

Yogyakarta, 10 Februari 2008

 

Translasi:

  • manol: sebutan untuk buruh gendong laki-laki
  • endong-endong: sebutan untuk buruh gendong perempuan
  • nyengklak bis: naik bis
  • kepancal: terlambat
  • kondang: terkenal
  • “Mangkih njenengan tanglet mawon dalem e mbah Wanto Utomo, sedoyo sampun sami mangertos,”: Nanti kamu tanya saja nama mbah Wanto Utomo, semua orang pasti tahu
  • Legok: terdesak masuk dan tidak rata
  • ”Sabin kulo sade pajeng 8 yuta, amargi ingkang nabrak namung urun 2 yuta,”: Sawah saya jual laku 8 juta, karena si penabrak hanya memberi bantuan 2 juta
  • ”Namun kulo ingkang golek pangan, lha bapakke sampun mboten saged mlampah,”: Hanya saya yang bekerja mencari makan, karena bapak sudah tidak bisa berjalan
  • samben: hanya perkerjaan cadangan
  • leyeh-leyeh: santai
  • ”Jebul mboten goroh, siyos mriki saestu,”: Tenyata tidak berbohong, akhirnya datang juga
  • ”Awak kulo nembe pegel, sajake nyuwun leren,”: Badan saya sedang capai, kelihatannya minta istirahat
  • ”Kulo sakniki namung kiyat ngendong paling abot 30 kilo,": Sekarang saya hanya kuat mengendong paling berat 30 kilo
  • ”Wonten ingkang remen ngenyang lan uthil mbak, warni warni,”: Ada juga yang suka menawar harga dan pelit
  • Dislemeki: istilah untuk menerangkan makanan yang dimakan pertama sebagai sarapan

 

ps:

Meski hanya kenal nama , terimakasih banyak dari saya untuk Mas Defri Werdiono (Wartawan Kompas Jogja yang menulis artikel tentang Imbas Kenaikan harga terhadap buruh gendong Mbah Semi edisi Selasa (5/2)). Gara-gara tulisan tersebut, saya bisa seduluran dengan Mbah Semi sekeluarga.

26 comments:

  1. sangat humanis... gaya bahasa yg dipake jg enak utk diikuti. thanks sharingnya

    ReplyDelete
  2. ..sedang belajar jadi orang baik mas..

    ReplyDelete
  3. setuju humanis bgt tulisannya, salute..,

    ReplyDelete
  4. winggi wis nggowo kamera, ning ra tekan je mas meh motret..

    ReplyDelete
  5. bagus mbak....dua jempol.
    kadang trenyuh memang...tapi saya selalu kagum dengan mereka yang menjalani hidup ini dengan tegar.
    mbak rachma...memang berat untuk memotret pejuang-pejuang hidup ini...tapi kadang mereka perlu dipotret mbak..kita bantu mereka dengan gambar, kita bantu mereka dengan menyebarkan gambar-gambar itu agar orang peduli bahwa masih banyak orang-orang yang perlu kita dukung.
    TFS mbak...

    ReplyDelete
  6. iya, mas..akan tetap sy coba motret diperjumpaan berikutnya..

    ReplyDelete
  7. sekalian mengasah bakat wartawan dan peneliti ya Fit? :)

    ReplyDelete
  8. hehehe..dirimu tahu juga ya.. iya nih, saya masih menyimpan asa menjadi jurnalis..

    ReplyDelete
  9. saya speechless, mbak Rachma.... :-(

    ReplyDelete
  10. satu potret nyata dari ribuan diluar sana..

    ReplyDelete
  11. "saya masih menyimpan asa menjadi jurnalis.."

    Diasah terus mba, Insya Allah suatu hari nanti jadi jurnalis sungguhan ya. Tapi tulisan featur bagus loh.

    ReplyDelete
  12. makasih mas,. semoga menjadi doa. amien...

    ReplyDelete
  13. empat jempol dech..dah wasis jadi wartawan neng fitri...GBU ya ta enteni neng Semarang ( Kaline Banjir :D)

    ReplyDelete
  14. kamsia..semarangnya segera, selak kemecer je mbak..

    ReplyDelete
  15. bikin terenyuh.....
    feature yang bagus sekali, fitri

    ReplyDelete
  16. wah, ngimpi apa ya semalam.. mas agus komen.. btw, thx ya

    ReplyDelete
  17. :) i know, i've been there..
    good writing anywy ;)

    ReplyDelete
  18. iya mir, dan serasa menjadi orang jahat ya..

    ReplyDelete
  19. sebuah pengungkapan fakta yang layak menjadi renungan bersama.

    ReplyDelete
  20. iya,.. oh ya mas, kemarin sy berjumpa lagi lho sama mbah Semi dan ini membuat merenung lebih dalam

    ReplyDelete