Monday, March 31, 2008

2 Hari Menjadi Perempuan Rumahan

Akhir minggu kemarin saya benar-benar menjadi anak rumahan. Ngampet pergi ke pesisir selatan dan batal plesir ke kaliurang. Saya kedapuk jaga warung, pasar ke Giwangan dan masak. Meski tetap disambi mengerjakan setumpuk dokumen berlabel ”asap”.

 

Untung bala bantuan segera datang. Setidaknya pembeli nggak perlu menunggu terlalu lama untuk tahu harga makanannya. Membuat saya tampak bodoh didepan mereka karena tak hapal harga. Maklum, selain karena jarang ada di garda depan, kenaikan harga membuat pergerakan yang fluktuatif di beberapa menu warung. 

 

Hari kemarin pula saya menjadi galak. Terpaksa galak lebih tepatnya. Ibu harus dipaksa untuk mau periksa di Bethesda, rumah sakit tak jauh dari rumah. Sejak Jumat (28/03/08) lalu stamina beliau menurun. Sekujur kaki bertato salonpas. Setidaknya ada 3 salonpas saat beliau menunggu saya yang pulang terlambat di lincak depan. ”Rapopo kok, mung mumet,” begitu jelasnya sambil berusaha tersenyum.

 

Lagi-lagi saya memaksa ibu untuk periksa kedua kalinya karena tubuh beliau kembali mengigil. ”Emoh, aku wedi,” ujarnya pendek. Tapi kali ini saya berhasil. Meski saya harus berjanji tidak menuruti kata dokter untuk opname. Ah, Ibu..ternyata dirimu sama bandelnya denganku.

Sunday, March 30, 2008

Setoples Permen Tuhan Buat Fara

Ambulans bernomor polisi AB 7179 WH itu perlahan menjauh. Sirinenya meraung, berlomba dengan tangis yang pecah dari para takziah. Mobil putih itu membawa Fara, mengantarnya ke Ungaran Semarang. Di ambulan, Eyang putri Fara menemani cucu ke 18nya ini. ”Aku melu ambulan, tak ngancani Fara”, pintanya. Irva dan Iwan, kedua orang tua Fara ikut mobil pengiring tepat dibelakang ambulan. Tangis masih terus mengalir.

 

Eyang putri Fara, ibunda Mas Iwan tampak tambah menunggu jenasah Fara. Sesekali air matanya meleleh saat datang pelayat mengucap doa. Kamis lalu, Fara memberikan firasat kepada neneknya ketika minta dimiringkan posisi tidurnya. ”Yang, cepet miringnya, Fara akan pergi”, pinta Fara. ”Sebentar, eyang nggak kuat, adik mau pergi kemana?” tanya eyang kemudian. ”Fara akan pergi jauh”, ucap gadis ini menghenyakkan sang nenek.

 

Dan dini hari tadi, sms duka ini mengabarkan gadis cilik ini meninggal dunia. Ah, sepertinya baru kemarin Fara merajuk minta permen. Dan baru nanti siang saya berencana menjenguk lagi, membawa permen susu buat dia. Namum Tuhan berkehendak lain. Dia yang akan menyediakan setoples permen buat Fara.

 

 

Selamat Jalan Fara..

http://rachmasafitri.multiply.com/photos/album/89/Selamat_Jalan_Fara

 

berita di Kompas Cetak

http://kompas.co.id/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.02.09261012&channel=2&mn=167&idx=167

Selamat Jalan Fara




Innalillahi wainailaihi rojiun,
Telah berpulang kepada yang Kuasa FARA NAFISA SAHRA (3th, 6bln)
Hari: Senin, 31 maret 2008
Pukul: 02.30 wib
Jenazah akan dimakamkan di Godean Klepu Karangjati Ungaran Semarang


Untuk semua sahabat, terimakasih doanya..
(Irva dan Iwan)


http://rachmasafitri.multiply.com/journal/item/51/Setoples_Permen_Tuhan_Buat_Fara

Thursday, March 27, 2008

Jenguk Fara

Start:     Apr 5, '08 6:00p
Location:     PICU Sardjito

Motret Prewed Perdana

Start:     Apr 5, '08 05:00a
Location:     Utara, Kotagede dan Kota
doakan saya ya..

Suatu Sore di Gang Senggol Kotagede

http://atravoice3.multiply.com/photos/album/20/Time_of_windows_Moment_of_doors
Suatu malam ada sms masuk dari seorang kawan mengajak hunting bakda Jumatan. Ia pun datang menjemput. Ternyata sendiri, tak berkawan seperti bayangan sebelumnya. Uups, lagi-lagi saya salah kira. Ia datang tanpa kamera. Namun didalam tas ranselnya tersimpan 2 buah kemeja, celana monyet, topi dan sepasang sepatu lengkap dengan kaos kaki berwarna putih. Judulnya motret model perdana. Untungnya, he’s a well prepared model. Mandiri, nggak merepotkan dan punya berjuta pose andalan. Gang senggol di Kotagede sore itu menjadi semakin riuh dengan langkah kaki melawan gerimis. Jendela dan pintu-pintu yang menawan, model yang menyenangkan dan warga Kotagede yang ramah, Terimakasih ya.

Wednesday, March 26, 2008

Dua Sahabat Baru




Beruntung saya mengenal mereka. Dua bapak abdi dalem yang ramah nan bersahaja. Telaten meladeni puluhan pertanyaan dan beraneka keingintahuan saya. Ah, saya ingin kembali berjumpa. Rindu akan diskusi sekaligus sesi belajar tembung Bagongan. Di bangsal Magangan berkawan jahe anget dan wedang ronde pada pasaran Legi dan Pon esok.


ps: Suwun buat Mas Gede Pantiyasa untuk sentuhan di foto pak Wedana Yudharaharja. selamat ulang tahun ya.

Syukuran Ulang Tahun Daffa

Start:     Mar 30, '08 11:00p
Location:     Somewhere at Kaliurang..

Tuesday, March 25, 2008

Doa Buat Fara

 

Penderitaan Fara (Fara Nafisa Sahra) bermula dari penyakit usus buntu pada tanggal 6 October 2007. Tepat sebulan setelah gadis lincah ini berulang tahun. Setidaknya telah dilakukan 3 kali operasi dan puluhan kali pemasangan kantong pembuangan kotoran di perut Fara. 6 bulan sudah Fara terbaring dan dirawat dengan penyakit Post Laparotomi Exsplorasi Gizi buruk tipe marasmik,Burst Abdomen, Anemia Normositik Nomokramil dan Sepsis (infeksi sekunder).  Waktu yang cepat bagi penyakit sekaligus rentang sangat panjang bagi Fara dan orang tuanya untuk berjuang demi kesembuhan.

 

Ketika Fara Minta Permen

 

“Tante, minta permen tante ?” rengek Fara sedikit berteriak. ”Permen Tante, ambilin disitu Tante,” ucapnya lagi. Suaranya lantang dibalik badannya yang semakin kurus. Berat badan Fara sekarang hanya 7 kilo, turun 6 ons dari berat seminggu lalu.

 

Sabtu kemarin (22/03/08) kondisi Fara sedikit memburuk. Luka mengangga di perutnya mengalami pendarahan. Ini karena jumlah trombositnya hanya 1000, jauh dari angka normal 150.000. Ketika menyingkap selimut khususnya, pampersnya penuh darah. Setidaknya ada lima terminal selang di tubuh kecil Fara. Transfusi darah dan aneka cairan untuk memacu kestabilan tubuhnya menemani tabung oksigen dan penghangat badan.

 

”Nanti Tante beliin permen, tapi bibirnya jangan digigit ya Nduk!” ucap kami serentak. Bibir mungil itu sekarang seperti sedang bergincu. Fara memang gemar menggigit bibir hingga sampai berdarah. Maklum, kulitnya sekarang sensitif, mudah sekali terluka karena sel darah putih ditubuhnya jauh berkurang.

 

Mbak Dwi, teman ibunda Fara yang menjaga gadis mungil ini sore itu. Ia tampak sabar menjawab permintaan Fara akan permen, minum dan memiringkan tubuhnya. Ada dua shift yang bergantian menjaga Fara setiap harinya selain orang tua Fara, Mbak Irva dan Mas Iwan.

 

”Fara, Tantenya pulang dulu ya,” ucap saya memandang mata Fara yang semakin cekung. Komplikasi penyakit membuat gadis berusia 3,5 tahun ini terlihat sayu. Pipinya yang dulu temben berubah menjadi tirus. ”Besok Tante kesini lagi bawa permen, tapi Fara janji ya jangan gigit bibir lagi,” ujar saya sambil melambai dan berjalan menjauh. ”Permen..,” terdengar lagi di lorong ruang PICU Sardjito saat kami melepas jubah berwarna merah jambu. Teriakannya semakin nyaring.

 

Keikhlasan Sang Bunda dan Perjuangan Keluarga

 

Menyambangi rumahnya setelah dari rumah sakit, Mbak Irva menyambut kami dengan hangat. Tapi saya tak berjumpa dengan bapak Fara. Mas Iwan sedang pergi ke rumah sakit mengurus transfusi darah. Kami tlisipan.

 

Lega rasanya melihatnya tersenyum. Senyum untuk kesembuhan Fara. 6 bulan terakhir adalah waktu panjang yang penuh airmata. Tapi bulan terakhir ini tangis itu coba ditahan. ”Fara itu perasa, kalau saya sedang marah atau sedih raut mukanya pasti langsung berubah”, cerita wanita asal Semarang ini.

 

”Dulu saya sering menyesal karena kehilangan masa kecil Fara, tapi sekarang saya sudah ikhlas,” ucap Mbak Irva pelan. Irva tidak lagi ngotot atas kesembuhan yang cepat bagi putri sulungnya ini. ”Beberapa bulan lalu kondisinya stabil, panas tubuhnya misalnya, jadi saya sangat yakin Fara bisa pulih segera,” ucapnya sambil sesekali menyandarkan kepalanya di meja.

 

”Terus terang melihat kondisi Fara sekarang saya masih tak kuasa menangis,” jelas Irva. Setengah tahun ini memberinya pelajaran untuk belajar ikhlas dan berserah kepada Tuhan. ”Saat Fara koma, kami bergantian membaca Yasin dan surat-surat pendek ditelinganya,” ucapnya kemudian.

 

Sampai hari kemarin, total terkumpul dana hampir 400 juta untuk kesembuhan Fara. Separuhnya telah digunakan untuk melunasi biaya operasi, rumah sakit dan obat-obatan. Dana yang belum dipakai akan digunakan untuk melunasi biaya rumah sakit terakhir dan pengobatan Fara kedepan. Menurut perhitungan saya melihat kondisi Fara, dana tersebut masih kurang untuk kesembuhan menyeluruh Fara. ”Kami terimakasih sekali dan kami akan tetap berusaha bekerja dan berjuang untuk Fara, bagaimanapun ini beban,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca.

 

Nama Baru Fara; Sebuah Doa Kesembuhan

 

Sekarang Fara berubah nama. Fara Nafisha Sahra diganti menjadi Fara Bagas Renata yang artinya ”gadis yang terlahir kembali sehat dan ceria”.  Eyang kakung Fara yang mengurus akta perubahan namanyanya di Semarang, tempat gadis cilik ini dilahirkan pada 7 Sepetember 2004.

 

Di Jawa memang ada kepercayaan tentang pergantian nama bila terjadi sakit atau kondisi lain yang tidak diharapkan. Beberapa mengistilahkan ”kabotan jeneng” atau nama yang diberikan tidak tepat atau terlalu berat untuk si anak. Setelah berganti nama, semoga anak tersebut mendapat berkah dari arti nama tersebut. Begitupula Fara. ”Semoga saja nama baru ini jadi doa kesembuhan Fara,” ucap Irva penuh harap. Amien.

 

 

Selasa Malam 25/03/08, sepulang dari Sardjito dan Pakuningratan bersama Sisca Nasastra Gafri. ”Cepat sembuh ya Nduk, nanti tak boncengke beli permen yang banyak”.

 

 

PS:

 

Buat kawan-kawan yang bersimpati pada Fara baik dengan doa, saran ataupun dukungan finansial, bisa menghubungi saya lewat jalur pibadi, email dan telepon (rachma.safitri@gmail.com & 0818465717). Apapun bantuan kawan-kawan akan kami sampaikan langsung pada Mbak Irva dan Mas Iwan (orangtua Fara). Bantuan doa kawan-kawan sangat dibutuhkan untuk kesembuhan Fara Bagas Renata. Melihatnya kembali ceria, seperti arti namanya, Fara.

 

 Update ttg Fara : http://siscagafri.multiply.com/journal/item/5/a_hope_for_Fara_-_Update3_2232008

Jogja Portrait

http://jogjaportrait.com/
Jogja, also well known as Jogjakarta, Yogyakarta, Yogya or Djokdja, has more than just culture. It’s the city where you can also have never ending memories.

From the heart and soul of Java, we proudly bring to you jogjaportrait.com - a place where images speak louder than words…

Contributor:
1. Icha
2. Mas Karebet
3. Rachma Safitri
4. Noorsabri

Sunday, March 23, 2008

Grebeg Maulud




"Pak Sri, Nyuwun Pak". Begitulah terikan masyarakat yang sejak sore telah berjaga menunggu datangnya raja berkawan gerimis. Mereka menjulukinya dengan istilah “ngalab berkah mulud”. Mencari berkah melalui kepingan receh, bunga setaman dan beras kuning dalam prosesi “Nyebar Udhik-Undhik. Bakda Isya, selepas gamelan ditabuh, Sinuhun akan datang ke masjid Kauman. Dan hujanpun tiba-tiba berhenti. Telah menanti disana masyarakat yang didominasi para kasepuhan atau orang tua. Kebanyakan dari mereka datang dari Bantul, Kulonprogro, Parakan dan kota-kota lain di Jawa Tengah.

(bersambung di blog ya)

Sunday, March 16, 2008

Berbekal Peta Melintas Kota; Mlaku-mlaku Menyang Suroboyo bag. 2 (habis)

Setelah rampung menyambangi pameran foto di Darmokali, langkah pun berlanjut ke Tahu Tek Pak Ali di daerah Dinoyo. Sambil menikmati tahu berbalut telur dengan bumbu petis kami berdiskusi tentang Lumpur Lapindo. Sayang, saya tak sempat kesana dihari kedua maupun ketiga. Pengalaman pergi ke desa Besuki menumpang Bisonpun tertunda untuk beberapa saat. Tetapi, hari inipun tetap bisa berwarna. Berbekal peta melintas kota.

 

Anak Perempuan Dadakan

 

Dihari kedua, saya bermalam di rumah Lilies di daerah Manukan. Butuh setidaknya 30 menit menembus malam yang semakin gelap dengan kecepatan tinggi. “Fit, disini lebih aman ngebut,” anjur Lilies sambil menyalip motor.

 

Bune, anakke wedok tambah siji ki,” sapa Bapak Lilies saat kami datang. “Kok sampai malem to ? ” tanyanya kemudian. Bertemu dengan Keluarga Irnanto membuat saya ingat dengan bapak dan ibu saya. Mereka setipe. Selalu dekat dengan telepon, membiarkan pintu terbuka dan tak henti mengirimkan pesan singkat dengan kalimat : “ojo bengi-bengi baline”. Mungkin ini kami  adalah anak tunggal. Cuma kebalikannya yang sering khawatir adalah Bapaknya Lilies. Bedanya, justru ibu saya yang sering cemas.

 

Pagi ini rumah sudah regeng. Ramai karena celotehan 2 anak perempuan dadakan. Tari dan saya. Bertiga pun segera berbagi tugas di dapur. Lilies yang mengupas, Tari yang mencuci dan saya kebagian mbumboni. Menu kami pagi ini adalah lele, tempe dan terong penyet sambel. Dan sudah pasti kami tanduk berulang kali. Entah karena tempene kasinen, kepedesen sambel atau turah lawuh, jadi selalu nambah nasi. Sebuah pembelaan yang logis.

 

Pucat Pasi di Zangrandi

 

Hari beranjak siang. Saatnya meluncur ke arah kota, melanjutkan agenda yang belum sempat terlaksana. Setelah mengantar Tari ke kantornya, saya segera bergegas menuju kos untuk mandi dan packing. Sesuai rencana semula ini adalah hari terakhir saya di Surabaya. Jadi, hari ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.

 

Melalui tiga sms dengan Mas Doni (beliau adalah teman Flickr saya), saya pun berkencan dengan istrinya, Mbak Eka (yang kebetulan teman MP saya). Jadwalnya lumayan padat yang harus rampung antara jam 10.00 s/d 16.00 WIB. Kami akan beli tiket ke Gubeng, berkeliling kota, makan es krim di Zangrandi, mengintip Cheng Ho dan ke daerah Genteng Kali.

 

Zangrandi adalah sesi paling seru di edisi kali ini. Bukan hanya karena Avocado Flodge atau Tuti Fruti ice creamnya. Tapi karena sapa ’hangat’ yang tak terlupakan dari bapak Parkirnya. 10 menit terasa lama hanya untuk mencari tempat parkir motor yang benar menurut si bapak. Hingga pihak ketiga pun datang membela. Tetap saja kata-katanya tajam tak beralasan. Hingga badan ini pucat pasi dan memilih diam. ”Mungkin Bapak ini sedang ada masalah dirumah,” duga saya dalam hati menentramkan diri.

 

Benar adanya bahwa kata maaf itu mujarab. Meski saya yakin seyakin-yakinnya saya tidak salah parkir. Tempat parkir yang jelas dan berada di halaman Zangrandi. ”Ya sudah pak, saya minta maaf kalau saya salah, saya cuma ingin makan ice cream disini,” ucap saya padanya. ”Sekarang saya boleh parkir dimana ? ”tanya saya kemudian.

 

Untung ice creamnya tak mengecewakan. Paling tidak bisa menetralisir hati yang masih ndredeg. Untung pula ada mbak Eka. ”Nanti disenyumin aja Fit, mungkin aja lagi ribut sama istrinya dan kamu yang ketiban sial, ” sarannya menyejukkan.

 

Siola dan Putaran Ganjil

 

Setelah sukses menemukan masjid Chengho dengan petunjuk peta, kami pun segera berkeliling kota. Mbak Eka (meski sudah hampir setahun tinggal di Surabaya), selalu siap membuka peta lalu berkata belok kanan dan kiri memberi aba-aba. Kami berdua mirip Dora the Explorer dengan peta dan tas ransel. Ketika peta tak jua memberi jawaban, kami bergegas berhenti lalu bertanya.

 

Kami sempat puyeng ketika mencari Taman Cak Durasim dan daerah Genteng Kali. 3 kali kami mengitari Siola. “Tenang mbak Eka, itunganne pancen kudu ganjil,” ucap saya sembari menenangkannya yang berubah menjadi sedikit panik.

 

Suara Surabaya dan Gempa Yogya

 

Terhenti 3 kali bertanya, akhirnya sampai juga kami ke Kampong Media di Bukit Wonokitri. Pak Errol meminta kami singgah dulu di kantor ini sebelum meluncur ke rumah beliau di Citraraya. ”Nanti kamu ke SS dulu ya,” pintanya diujung telepon.

 

Beliau mengajak saya berkeliling Suara Surabaya Media. Pertama kami menuju ruang Studio Radio SS FM. ”Teman-teman, ini saya membawa kawan-kawan dari Jogja,” ujar pak Errol pada 5 orang wanita didalam ruang kendali siar. ”Dulu siapa yang tugas ketika gempa? ” tanyanya kemudian. Semuanya tersenyum. ”Nah, kenalkan ini Fitri,  yang sering kita telpon tengah malam,” ujar beliau sambil tersenyum.

 

Rupanya Pak Errol sengaja ingin mengenalkan saya pada kru SS. Terutama penyiar, gatekeeper dan reporter yang dulu berhubungan langsung meski hanya melalui saluran telepon. 2 Jam setelah  gempa Yogya, SS melalui Pak Errol meminta saya untuk membantu informasi dengan melakukan live report ke SS FM dan suplai berita ke SS Net.

 

Ketika itu menjadi kali pertama saya siaran langsung berita hardnews untuk ukuran radio diluar Jogja. Selama seminggu saya standby on phone dan berkeliling setiap rumah sakit dan wilayah gempa baik Bantul maupun Klaten. Sebelum openmike, saya akan terhubung dengan gatekeeper terlebih dahulu. Jarak 2 menit setelahnya baru benar-benar berhadapan suara dengan sang penyiar. Penyiar akan membuka dengan opening sebagai berikut : ”Pendengar, sekarang kita sudah tersambung dengan Fitri, reporter trulyjogja.com yang akan mengupdate kondisi terakhir di Bantul. Silahkan Fitri .” Upps..cukup sekian kilas baliknya. Kamipun segera melangkahkan kaki ke ruang redaksi SS Net, Surabaya City Guide dan Giga FM.  Ramah meski hanya sempat berbincang sesaat.

 

Belajar Menyumpit Belajar

 

Menuju Citraraya, Singaporean Citynya, saya terpana. Perkembangan Surabaya Barat ini memang 3 kali lebih pesat dari pada wilayah Surabaya yang lain. Obrolan selama perjalanan bergulir lancar hingga tak sadar telah sampai di rumah beliau. Ibu Nunung, istri Pak Errol menyambut dengan wajah sumringah. “Welcome to the Jonathan’s house Fit,” sapanya ramah.

 

Dirumah yang asri bernuansa etnis ini saya menginap semalam. Tambah satu malam dari rencana awal. Sesuai saran Bu Nunung, saya pulang dengan sancaka pagi. Perjalanan malam memang tak mungkin dilakukan karena lokasinya jauh baik mana-mana. Baik dari Bandara maupun terminal.

 

Sebelum makan malam, kami menikmati slide show foto-foto perjalanan keluarga Jonathan di Perth dan Eropa. Dokumentasi sarat cerita yang dituturkan runtut dan informatif oleh Bu Nunung. ”Ini sengaja sebagai inspirasi buat Iman yang crigis kalau siaran,” jelas beliau menoleh pak Mas Iman, seorang penyiar senior SS FM yang juga tamu malam itu.

 

Menu Yakiniku menutup malam saya di Surabaya. “Fit, ayo latihan pake sumpit ya,” canda bu Nunung di meja makan. Maklum, kebiasaan makan dengan tangan masih menjadi jawara. Susahnya minta ampun, padahal saya sudah membayangkan berada di Jepang berbaju kimono. Mungkin imajinasi yang tinggi bisa membantu melancarkan proses belajar ini. Namun tetap saja belum berhasil dan sampai detik ini sumpit masih belum bersahabat dengan si jemari.

 

 

Glosary:

 

Bune, anakke wedok tambah siji ki,”                            : Bu, Anak peremp. kita tambah 1

ojo bengi-bengi baline                                                : Jangan pulang terlalu malam

regeng                                                                          : ramai

tempene kasinen,                                                          : tempe yang terlalu asin

kepedesen sambel                                                         : sambel yang tertalu pedas

turah lawuh                                                                   : sisa lauk

ndredeg                                                                        : gemetar

Tenang mbak Eka, itunganne pancen kudu ganjil,”        : hitungannya harus selalu ganjil

crigis                                                                            : cerewet

 

Fitri goes to Surabaya support by:

  1. Kristina Rahayu Lestari dan kamar kosnya di Gubeng Airlangga
  2. Lilies Rolina Irnanto dan keluarga di Manukan
  3. J. Totok Sumarno, my online Surabaya city guide (suwun atas Tahu Teknya dan petunjuk lokasinya ya)
  4. Mbak Eka dan Mas Doni, terimakasih banyak ya...(kardus Ny. Beek nya laris manis)
  5. Pak Errol Jonathan dan Ibu Nunung (lain waktu saya sowan lagi J)
  6. Iip, calon dokter hewan yang menyenangkan.

Thursday, March 13, 2008

Kursus Sabar Jilid Dua

menjaga diri untuk berbakti

mengurai diri untuk berbagi

bersabar diri untuk menanti ...

 

ps: kursus sabar jilid dua

 

Wednesday, March 12, 2008

Kirab Tingalan Dalem Pakualaman

Start:     Mar 15, '08 2:00p
Location:     Puro Pakualaman - Jl. Gajah Mada - Bausasran - Gayam - Kusumanegara - Sultan Agung - Puro Pakualaman
Peringatan Ulang Tahun ke 72 Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam IX

Monday, March 10, 2008

Jagong Manten ke Magetan

Start:     Mar 16, '08 12:00a
Location:     Magetan Jawa Timur
siapa tahu bisa sekalian jalan2...

Sunday, March 9, 2008

Ulang Tahun Kong Co Kong Tek Cunkong

Start:     Mar 29, '08 01:00a
Location:     Klenteng Dukuh Surabaya
Bagi Kawan2 Surabaya(up: Mas Doni'nya Mbak Eka), mungkin bisa hunting kesini.
Ada ibadah dari pagi sampai malam, barongsai dan potehi.
kontak person : Cik Citra (031) 60611133

Sidang Susila; Unjuk Gigi Teater Gandrik




Serba saru, porno dan menjijikkan. Itulah 3 kata yang membelit kehidupan Susila Parna (diperankan oleh Susila Nugraha), seorang penjual mainan anak-anak pikulan sekarang. Gara-gara sumuk setelah nayup, dia dijaring oleh Polisi Susila. Kemeja hitam berbunga yang terbuka memicu perkara. Seketika ia pun dijebloskan ke bui, berkawan sebuah kloset multi fungsi.

Kemudian, kehidupan didalam terali besi semakin membuatnya binggung. “Salah ku ki opo? ” tanya berulang kali. Sudah pasti jawaban yang diberikan justru membuat perutnya mules yang berujung kentut. Lagi-lagi ini membuatnya semakin dijauhi. Sampai-sampai semprotan desinfektan menjadi senjata wajib para polisi penjara.

Faktapun dipelintir, baik oleh para Polisi Moral, Hakim da Jaksa yang mendakwanya melanggar Undang Undang Susila. Tuduhan berlapis yang membuatnya meringgis. Menjual alat pemuas seks, VCD porno, hingga tuduhan penjual anak dan pedofil. Dunia mendadak gelap bagi Susila.

Pembelapun sempat datang membawa angin segar padanya. Pembela (dilakonkan oleh Butet Kartarejasa), yang juga memiliki pertalian darah dengan Susila yakin bahwa kebebasan pasti bisa diraih. Namun, kekuasaan di Negeri Susila yang penuh kepura-puraan ini tak berpihak pada Susila. Kisah kelam Pembela dan Jaksa (diperankan dengan sangat apik oleh Whani Darmawan), mengubah semuanya. Skenario licik dengan iming-iming posisi “Mahkamah Amoral” ditawarkan kepada Pembela.

Barisan demonstran yang semula mengutuk Susila, mendadak menjadikannya ikon perlawanan. Yel-yel dan spanduk berubah dari “Penjarakan Susila” menjadi “Bebaskan Susila”. Dan bunglon tetap menjadi bunglon.

ps:
1. all photos captured with Panasonic Lumix FZ30, no tripod no photoshop. (maaf bila over dan shake ya)

2. special uploaded for : Mas Sa Brec, Mas Widiatmoko, Mas Afandiagoes, Mas Doni & Mbak Eka dan teman-teman MP lainnya.

3. one of my photos upload in trulyjogja.com, so please visit also http://www.trulyjogja.com/index.php?action=news.detail&cat_id=11&news_id=1333

Kondur Gongso dan Grebeg Maulud

Start:     Mar 19, '08 9:00p
End:     Mar 20, '08
Location:     Keben Kraton Yogya & Pelataran Masjid Kauman
ngalab berkah, menjaga naluri seorang jawa..

liputan tahun 2 tahun lalu :
http://www.trulyjogja.com/index.php?action=news.detail&cat_id=19&news_id=475

dan

http://www.trulyjogja.com/index.php?action=news.detail&cat_id=11&news_id=479

Tumplak Wajik

Start:     Mar 17, '08 01:00a
Location:     Magangan Kraton Yogyakarta
proses pembuatan gunungan maulud

Liputan Pameran Foto Sedulur Sikep Pieter Dwiyanto CCCL Surabaya 23 Februari 2008




Sampai di Darmokali, parkirnya sudah meluber di pinggir jalan. Peminatnya datang dari berbagai kalangan. Setidaknya ini juga terlihat dari beragamnya jenis kendaraan. Fotografi memang luwes dan bisa dinikmati oleh semua orang. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa Magnet Sedulur Sikep memang luar biasa.

Ada 20an foto yang dipamerkan malam itu. Foto-foto portrait, human interest dan jurnalistik yang dilengkapi caption yang bercerita dan penuh rasa. Baik yang BW maupun berwarna. Semua dikerjakan dengan pola pendekatan pasrawungan. Artinya, sang fotografer tinggal satu bulan menyelami kehidupan dan mengamati setiap harinya. Bergaul, berbaur dan melebur.

Lebih menyenangkan lagi karena apresiasi tentang masyarakat Samin (yang sekarang lebih memilih disebut Sedulur Sikep) jauh lebih tinggi dan mengarah ke sisi positif. Maklum, berbagai cap minor yang sebenarnya salah terlanjur melekat. ”Paling tidak pameran ini bisa memberikan beberapa potongan gambaran kehidupan Sedulur Sikep,” jelas Pieter.

Pieter Dwiyanto kali ini hanyalah satu dari sekian banyak upaya untuk mengenalkan siapa Sedulur Sikep yang sebenarnya dengan cara yang benar. Mengusung lokalitas dan nilai-nilai kearifan yang masih terjaga di saat modernitas menggempur beberapa nilai kehidupan. Satu hal yang juga masuk dalam daftar keinginan saya.

Adalah Mas Gunretno, seorang sedulur Sikep yang turut hadir malam itu. Datang dari desa Bombongan Pati Jawa Tengah ia bercerita sedikit tentang sedulurnya. Namun, Ia lebih senang bila kita menemukan jawabannya sendiri dengan berkunjung ke rumah sedulur Sikep di Pati atau Blora. Ini karena Mas Gun bukan berbicara mewakili atau atas nama sedulur Sikep.

Satu yang paling saya ingat dari beliau adalah sapaannya dalam bahasa jawa ngoko pada awal acara. ”Sedulurku lanang utowo wedok sing teko ing papan iki tanpo pilih kasih. Kabeh tak anggep sedulurku,” begitu ujarnya hangat.

Sunday, March 2, 2008

Bersua Sedulur Sikep di Darmokali; Mlaku-mlaku Menyang Suroboyo - Bagian 1

Surabaya.. dari dulu saya ingin ke sana. Mengunjungi Tari dan Lilies, survey lokasi untuk magang dan memenuhi undangan keluarga Jonathan. Dan kebetulan pas ada pameran fotografi ttg masyarakat Samin di CCCL Surabaya. Alasan untuk ijin dengan ibu komandan pun tambah kuat.

 

Cerita di atas Sancaka

 

Hari senin kemarin terasa sangat cepat. Untung beberapa deadline pekerjaan sudah lenyap dari antrian ”to do list” saya. Meski sedikit tergesa, sepeda motorpun bergerak dari kantor menuju rumah. Pesan pendek dari ibu mengingatkan saya bahwa saya nggak boleh ketinggalan kereta. ”Kok yo tetep aja kesusu ya, meski cuman kerja setengah hari,” guman saya dalam hati.

 

Pamit. Untung tadi pagi, sebelum berangkat kerja, sudah nyicil pamit ke sarean bu Ni dan rumah simbah Hadi. Semuanya memang harus dipamiti. Dari Simbah, Budhe dan sampai sepupu-sepupu kecil.

 

Sesampainya di stasiun Tugu, panggilan bagi penumpang Sancaka telah berulang untuk kali ketiga. Diantar bapak, saya naik mencari kursi. Gerbong 2 nomor 3A. Sementara ibu hanya mengawasi dari seberang jendela. ”Nyuwun titip nggih mbak,” ujar Bapak pada seorang ibu yang duduk di kursi 3B. Itulah bapak. Selalu menitipkan saya disetiap perjalanan.

 

Melepas pandang ke luar jendela, kereta perlahan mulai menjauh dari Yogya. Dan kamipun segera berbincang. Saya memang paling tidak betah bila hanya anteng-antengan. Namanya mbak Ika, perawakannya kecil dengan balutan sepatu sneakers dan jaket semi corduray. Trendy diusianya yang tak lagi muda.

 

Mbak Ika adalah Dosen S3 Seni Rupa ITB yang sedang baru saja mengajar di kuliah umum ISI Yogyakarta. Dosen Terbang. ”Saya cuma sempat ke Malioboro, keburu harus segera ke Surabaya,” ceritanya. Obrolan pun mengalir, dari masalah Samin, Pak Harto, Fotografi dan cerita tentang keluarga masing-masing. Rupanya Mbak Ika melirik bacaan saya. Kumpulan tulisan tentang Samin hasil googling dan Majalah Tempo edisi Last Supper.

 

Saat kereta merangsek di Stasiun Madiun, kami menemukan kesamaan. Rupanya kami sama-sama risi dengan ulah 2 penumpang disebelah kami. Sepasang laki-laki dan perempuan setengah baya yang terlalu mesra. ”Mbak, bukan suudzon ya, tapi kok mencurigakan ya,” ujarnya berbisik.

 

Surabaya, Saya Datang

 

Kereta bergerak cepat dan datang tepat waktu di Gubeng Surabaya. 21.35. ”Mbak, bener sudah ada yang jemput ?” tanyanya pada saya. Ini adalah tawaran ketiga hari ini.  Alhamdulillah, saya dikelilingi banyak orang baik yang menawari jemputan. Dengan terpakasa saya menolak karena Tari sedang on the way dengan motornya.

 

Waduh, penyakit saya kumat. Saya binggung arah, mencari pintu timur. “Ah, seandainya ada gunung merapi,” kata saya bergumam. Untung feeling saya tepat dengan memilih pintu utama. Lebih aman karena banyak orang, sederet becak dan berlapis taksi. Selang 5 menit, Tari datang dari arah parkiran motor. Uh, lega.

 

Setelah menaruh tas di kos tari di daerah Gubeng Airlangga, kami segera pergi lagi. Mencari makan malam ditengah gerimis ucapan selamat datang. ”Kita makan bebek aja ya,” ajaknya.  Sayang, kami salah tempat. Bebeknya alot. Dan sepertinya Tari belum lulus peta kuliner kota pahlawan ini. ”Maklum, kan baru lima bulan,” katanya membela diri.

 

Rencana esok hari pun sekalian dirancang diatas meja makan. Besok, akan ada satu sepeda motor dan peta buat saya, berhubung Tari urung mengantar karena bekerja. Sehingga selepas makan makan, saat waktu menunjuk jam sebelas malam, kami berkeliling kota dalam rangka orientasi jalan.

 

Test Menghapal Jalan

 

Tidur saya pulas, tidak berbeda seperti tidur saya dirumah. Kamar kos berukuran 3x3 ini menyambut dengan hangat, seperti halnya ramahnya teman-teman kos Tari saat berkenalan dan mengantri kamar mandi.

 

Tibalah saatnya test menghapal jalan-jalan yang dilalui semalam saat sesi orientasi jalan. Setidaknya harus menguasai jalan dari kos dan kantor Tari pulang pergi. Gubeng Airlangga menuju Delta Pemuda. ”Jangan asal belok ya, salah belok harus muter,” saran Tari. ”Disini juga jarang boleh belok kanan, pokoknya kalau binggung langsung telpon ya! ” lanjutnya.

 

Sukses. Meski sempat berputar sekali di dekat Balaikota Surabaya, jalanpun mulai terang. Petunjuk stategis semisal flyover gubeng dan kapal selam pasopatipun didepan mata. Lagipula salah jalan tetap bisa bertanya. Beberapa teman khawatir saya hilang. Padahal yang paling mungkin adalah ngilang bukan ilang. Hehehe.

 

3K Nan Eksotik (Kompleks Ampel, Kampung Arab dan Klenteng Dukuh)

 

Siang ini selepas dari mengantar Tari ke kantor, saya kembali ke kos. Menjemput seorang kawan baru yang akan menemani berputar. Namanya Iip, mahasiswi tingkat akhir kedokteran hewan Unair yang lucu dan ndemenakke. Meski harus saya bonceng, Iip lebih menguasai medan. Ini adalah tahun ke 5 ia ada di Surabaya sejak hijrah dari Klaten. Setidaknya ia meminimalisir celah tersesat.

 

Kami meluncur ke Komplek Ampel, Kampung Arab dan Klenteng Dukuh. Ketiga tempat ini adalah rekomendasi beberapa kawan Flickr, MP dan SS. Meski tidak sempat berlama-lama, setidaknya saya telah membau aroma eksotisme surabaya. Diburu waktu dan berkawan hujan. Ya, seharian hujan turun di Surabaya. Sesekali deras, lalu berganti gerimis lembut. FZ30pun lebih memilih untuk sering keluar masuk tas.

 

Magnet Sedulur Sikep dan Kopi Darat  di Darmokali

 

Jam 4 sore, saya sudah ada di lantai 6 Gedung Mandala Mandiri di daerah Pemuda menjemput Tari dan Lilies. Bertiga kami akan ke Darmokali, tepatnya di CCCL Surabaya nonton pameran. Sebelumnya kami berencana jalan-jalan di mal Delta yang hanya sebelah gedung dengan kantor mereka.

 

Entah, wajah Lilies sendu sore itu. Rupanya ia gagal memperoleh klien potensial meski pendekatan dan presentasi sudah dilakukakan semenjak seminggu terakhir. Wajah Tari justru kebalikan. Ia tampak sumringah karena ini adalah minggu terakhirnya di kantor ini. Administrasi bukan ladang yang tepat bagi sarjana komunikasi seperti dirinya.

 

Untuk mengurai kekusutan mereka, kamipun memutuskan creambath di Delta. Bukannya sok kemayu atau apa. Lagipula, ini juga mengurangi aroma dupa dan hio masih menyengat. Creambathnya pun kilat, karena mengejar pembukaan pameran di darmokali yang lumayan jauh plus macet. 

 

Sampai di Darmokali, parkirnya sudah meluber di pinggir jalan. Peminatnya datang dari berbagai kalangan. Setidaknya ini juga terlihat dari beragamnya jenis kendaraan. Fotografi memang luwes dan bisa dinikmati oleh semua orang. Magnet Sedulur Sikep memang luar biasa. Ada 26 foto yang dipamerkan malam itu. Foto-foto portrait, human interest dan jurnalistik yang dilengkapi caption yang bercerita dan penuh rasa. Baik yang BW maupun berwarna.

 

Lebih menyenangkan lagi karena apresiasi tentang masyarakat Samin (yang sekarang lebih memilih disebut Sedulur Sikep) jauh lebih tinggi dan mengarah ke sisi positif. Maklum, berbagai cap minor yang sebenarnya salah terlanjur melekat. Pameran foto oleh Pieter Dwiyanto kali ini hanyalah satu dari sekian banyak upaya untuk mengenalkan siapa Sedulur Sikep yang sebenarnya dengan cara yang benar.  Mengusung lokalitas dan nilai-nilai kearifan yang masih terjaga di saat modernitas menggempur beberapa nilai kehidupan. 

 

Adalah Mas Gunretno, seorang sedulur Sikep yang turut hadir malam itu. Datang dari desa Bombongan Pati Jawa Tengah ia bercerita sedikit tentang sedulurnya. Namun, Ia lebih senang bila kita menemukan jawabannya sendiri dengan berkunjung ke rumah sedulur Sikep di Pati atau Blora. Ini karena Mas Gun bukan berbicara mewakili atau atas nama sedulur Sikep. Satu yang paling saya ingat dari beliau adalah sapaannya dalam bahasa jawa ngoko. ”Sedulurku lanang utowo wedok sing teko ing papan iki tanpo pilih kasih. Kabeh tak anggep sedulurku,” begitu sapanya hangat.

 

Masih di lokasi yang sama, saya juga sekalian berjumpa dengan beberapa kawan Flickr, Multiply dan SS. Sejauh ini komunikasi kami hanya lewat email, yahoo messenger, personal message, sms dan telepon. Seorang teman saya mengistilahkan adalah virtual friend’s of Fitri. Hahaha. Apapun istilahnya, mereka tetap teman dan saudara saya. Terimakasih untuk Mbak Eka, Mas Doni dan Pak Totok. Tanpa kalian saya pasti beneran ilang. Sekali lagi, suwun.

 

 

Bersambung...