Surabaya.. dari dulu saya ingin ke sana. Mengunjungi Tari dan Lilies, survey lokasi untuk magang dan memenuhi undangan keluarga Jonathan.
Dan kebetulan pas ada pameran fotografi ttg masyarakat Samin di CCCL Surabaya. Alasan untuk ijin dengan ibu komandan pun tambah kuat.Cerita di atas Sancaka
Hari senin kemarin terasa sangat cepat. Untung beberapa deadline pekerjaan sudah lenyap dari antrian ”to do list” saya. Meski sedikit tergesa, sepeda motorpun bergerak dari kantor menuju rumah. Pesan pendek dari ibu mengingatkan saya bahwa saya nggak boleh ketinggalan kereta. ”Kok yo tetep aja kesusu ya, meski cuman kerja setengah hari,” guman saya dalam hati.
Pamit. Untung tadi pagi, sebelum berangkat kerja, sudah nyicil pamit ke sarean bu Ni dan rumah simbah Hadi. Semuanya memang harus dipamiti. Dari Simbah, Budhe dan sampai sepupu-sepupu kecil.
Sesampainya di stasiun Tugu, panggilan bagi penumpang Sancaka telah berulang untuk kali ketiga. Diantar bapak, saya naik mencari kursi. Gerbong 2 nomor 3A. Sementara ibu hanya mengawasi dari seberang jendela. ”Nyuwun titip nggih mbak,” ujar Bapak pada seorang ibu yang duduk di kursi 3B. Itulah bapak. Selalu menitipkan saya disetiap perjalanan.
Melepas pandang ke luar jendela, kereta perlahan mulai menjauh dari Yogya. Dan kamipun segera berbincang. Saya memang paling tidak betah bila hanya anteng-antengan. Namanya mbak Ika, perawakannya kecil dengan balutan sepatu sneakers dan jaket semi corduray. Trendy diusianya yang tak lagi muda.
Mbak Ika adalah Dosen S3 Seni Rupa ITB yang sedang baru saja mengajar di kuliah umum ISI Yogyakarta. Dosen Terbang. ”Saya cuma sempat ke Malioboro, keburu harus segera ke Surabaya,” ceritanya. Obrolan pun mengalir, dari masalah Samin, Pak Harto, Fotografi dan cerita tentang keluarga masing-masing. Rupanya Mbak Ika melirik bacaan saya. Kumpulan tulisan tentang Samin hasil googling dan Majalah Tempo edisi Last Supper.
Saat kereta merangsek di Stasiun Madiun, kami menemukan kesamaan. Rupanya kami sama-sama risi dengan ulah 2 penumpang disebelah kami. Sepasang laki-laki dan perempuan setengah baya yang terlalu mesra. ”Mbak, bukan suudzon ya, tapi kok mencurigakan ya,” ujarnya berbisik.
Surabaya, Saya Datang
Kereta bergerak cepat dan datang tepat waktu di Gubeng Surabaya. 21.35. ”Mbak, bener sudah ada yang jemput ?” tanyanya pada saya. Ini adalah tawaran ketiga hari ini. Alhamdulillah, saya dikelilingi banyak orang baik yang menawari jemputan. Dengan terpakasa saya menolak karena Tari sedang on the way dengan motornya.
Waduh, penyakit saya kumat. Saya binggung arah, mencari pintu timur. “Ah, seandainya ada gunung merapi,” kata saya bergumam. Untung feeling saya tepat dengan memilih pintu utama. Lebih aman karena banyak orang, sederet becak dan berlapis taksi. Selang 5 menit, Tari datang dari arah parkiran motor. Uh, lega.
Setelah menaruh tas di kos tari di daerah Gubeng Airlangga, kami segera pergi lagi. Mencari makan malam ditengah gerimis ucapan selamat datang. ”Kita makan bebek aja ya,” ajaknya. Sayang, kami salah tempat. Bebeknya alot. Dan sepertinya Tari belum lulus peta kuliner kota pahlawan ini. ”Maklum, kan baru lima bulan,” katanya membela diri.
Rencana esok hari pun sekalian dirancang diatas meja makan. Besok, akan ada satu sepeda motor dan peta buat saya, berhubung Tari urung mengantar karena bekerja. Sehingga selepas makan makan, saat waktu menunjuk jam sebelas malam, kami berkeliling kota dalam rangka orientasi jalan.
Test Menghapal Jalan
Tidur saya pulas, tidak berbeda seperti tidur saya dirumah. Kamar kos berukuran 3x3 ini menyambut dengan hangat, seperti halnya ramahnya teman-teman kos Tari saat berkenalan dan mengantri kamar mandi.
Tibalah saatnya test menghapal jalan-jalan yang dilalui semalam saat sesi orientasi jalan. Setidaknya harus menguasai jalan dari kos dan kantor Tari pulang pergi. Gubeng Airlangga menuju Delta Pemuda. ”Jangan asal belok ya, salah belok harus muter,” saran Tari. ”Disini juga jarang boleh belok kanan, pokoknya kalau binggung langsung telpon ya! ” lanjutnya.
Sukses. Meski sempat berputar sekali di dekat Balaikota Surabaya, jalanpun mulai terang. Petunjuk stategis semisal flyover gubeng dan kapal selam pasopatipun didepan mata. Lagipula salah jalan tetap bisa bertanya. Beberapa teman khawatir saya hilang. Padahal yang paling mungkin adalah ngilang bukan ilang. Hehehe.
3K Nan Eksotik (Kompleks Ampel, Kampung Arab dan Klenteng Dukuh)
Siang ini selepas dari mengantar Tari ke kantor, saya kembali ke kos. Menjemput seorang kawan baru yang akan menemani berputar. Namanya Iip, mahasiswi tingkat akhir kedokteran hewan Unair yang lucu dan ndemenakke. Meski harus saya bonceng, Iip lebih menguasai medan. Ini adalah tahun ke 5 ia ada di Surabaya sejak hijrah dari Klaten. Setidaknya ia meminimalisir celah tersesat.
Kami meluncur ke Komplek Ampel, Kampung Arab dan Klenteng Dukuh. Ketiga tempat ini adalah rekomendasi beberapa kawan Flickr, MP dan SS. Meski tidak sempat berlama-lama, setidaknya saya telah membau aroma eksotisme surabaya. Diburu waktu dan berkawan hujan. Ya, seharian hujan turun di Surabaya. Sesekali deras, lalu berganti gerimis lembut. FZ30pun lebih memilih untuk sering keluar masuk tas.
Magnet Sedulur Sikep dan Kopi Darat di Darmokali
Jam 4 sore, saya sudah ada di lantai 6 Gedung Mandala Mandiri di daerah Pemuda menjemput Tari dan Lilies. Bertiga kami akan ke Darmokali, tepatnya di CCCL Surabaya nonton pameran. Sebelumnya kami berencana jalan-jalan di mal Delta yang hanya sebelah gedung dengan kantor mereka.
Entah, wajah Lilies sendu sore itu. Rupanya ia gagal memperoleh klien potensial meski pendekatan dan presentasi sudah dilakukakan semenjak seminggu terakhir. Wajah Tari justru kebalikan. Ia tampak sumringah karena ini adalah minggu terakhirnya di kantor ini. Administrasi bukan ladang yang tepat bagi sarjana komunikasi seperti dirinya.
Untuk mengurai kekusutan mereka, kamipun memutuskan creambath di Delta. Bukannya sok kemayu atau apa. Lagipula, ini juga mengurangi aroma dupa dan hio masih menyengat. Creambathnya pun kilat, karena mengejar pembukaan pameran di darmokali yang lumayan jauh plus macet.
Sampai di Darmokali, parkirnya sudah meluber di pinggir jalan. Peminatnya datang dari berbagai kalangan. Setidaknya ini juga terlihat dari beragamnya jenis kendaraan. Fotografi memang luwes dan bisa dinikmati oleh semua orang. Magnet Sedulur Sikep memang luar biasa. Ada 26 foto yang dipamerkan malam itu. Foto-foto portrait, human interest dan jurnalistik yang dilengkapi caption yang bercerita dan penuh rasa. Baik yang BW maupun berwarna.
Lebih menyenangkan lagi karena apresiasi tentang masyarakat Samin (yang sekarang lebih memilih disebut Sedulur Sikep) jauh lebih tinggi dan mengarah ke sisi positif. Maklum, berbagai cap minor yang sebenarnya salah terlanjur melekat. Pameran foto oleh Pieter Dwiyanto kali ini hanyalah satu dari sekian banyak upaya untuk mengenalkan siapa Sedulur Sikep yang sebenarnya dengan cara yang benar. Mengusung lokalitas dan nilai-nilai kearifan yang masih terjaga di saat modernitas menggempur beberapa nilai kehidupan.
Adalah Mas Gunretno, seorang sedulur Sikep yang turut hadir malam itu. Datang dari desa Bombongan Pati Jawa Tengah ia bercerita sedikit tentang sedulurnya. Namun, Ia lebih senang bila kita menemukan jawabannya sendiri dengan berkunjung ke rumah sedulur Sikep di Pati atau Blora. Ini karena Mas Gun bukan berbicara mewakili atau atas nama sedulur Sikep. Satu yang paling saya ingat dari beliau adalah sapaannya dalam bahasa jawa ngoko. ”Sedulurku lanang utowo wedok sing teko ing papan iki tanpo pilih kasih. Kabeh tak anggep sedulurku,” begitu sapanya hangat.
Masih di lokasi yang sama, saya juga sekalian berjumpa dengan beberapa kawan Flickr, Multiply dan SS. Sejauh ini komunikasi kami hanya lewat email, yahoo messenger, personal message, sms dan telepon. Seorang teman saya mengistilahkan adalah virtual friend’s of Fitri. Hahaha. Apapun istilahnya, mereka tetap teman dan saudara saya. Terimakasih untuk Mbak Eka, Mas Doni dan Pak Totok. Tanpa kalian saya pasti beneran ilang. Sekali lagi, suwun.
Bersambung...
wah saya ketinggalan deh
ReplyDeleteketinggalan kereta atau apa mas? hehehe
ReplyDeletemet datang di surabaya ya Fit.....
ReplyDeletejangan lupa ke kya kya jembatan merah...hehehhehehe
thx mbak, petunjuk via smsnya kemarin.. bener2 sparkling hehehe
ReplyDeleteHa3...
ReplyDeleteSekarang kamu sudah gak ngilang2 lagi khan...
wooo aku kok ra dia ajak :mrengut mode on:
ReplyDeletewekekekeke.....
ReplyDeletewah seru-seru....pengalamannya. Syep-syep mbak fitri' ntar kapan-kapan maen bareng deh ke Surabaya- atau ke tempat yang lainnya....Jangan lupa 7-9 Maret ini ada acara di IMOGiri
ReplyDeletekan naik kereta dik.. lah kamu nunggu bis mulu
ReplyDeleteditunggu cerita selajutnya.. sama foto2nya juga :D
sip..sipp.. kapan ya bisa hunting bersama?
ReplyDeletesipp... cuma fotonya banyak nggak bagusnya..
ReplyDeletesip..thanx liputannya...foto2 pamerannya kok ga ada?
ReplyDeletesabar kang, besok yah...
ReplyDeletewoo, ngilange neng suroboyo to...
ReplyDeletePasti ga kapok ke sby dong, hehehe
ReplyDeletekapok lombok mbak, kemarin saya ke surabaya lagi kok.. hehehe
ReplyDelete