Sunday, March 16, 2008

Berbekal Peta Melintas Kota; Mlaku-mlaku Menyang Suroboyo bag. 2 (habis)

Setelah rampung menyambangi pameran foto di Darmokali, langkah pun berlanjut ke Tahu Tek Pak Ali di daerah Dinoyo. Sambil menikmati tahu berbalut telur dengan bumbu petis kami berdiskusi tentang Lumpur Lapindo. Sayang, saya tak sempat kesana dihari kedua maupun ketiga. Pengalaman pergi ke desa Besuki menumpang Bisonpun tertunda untuk beberapa saat. Tetapi, hari inipun tetap bisa berwarna. Berbekal peta melintas kota.

 

Anak Perempuan Dadakan

 

Dihari kedua, saya bermalam di rumah Lilies di daerah Manukan. Butuh setidaknya 30 menit menembus malam yang semakin gelap dengan kecepatan tinggi. “Fit, disini lebih aman ngebut,” anjur Lilies sambil menyalip motor.

 

Bune, anakke wedok tambah siji ki,” sapa Bapak Lilies saat kami datang. “Kok sampai malem to ? ” tanyanya kemudian. Bertemu dengan Keluarga Irnanto membuat saya ingat dengan bapak dan ibu saya. Mereka setipe. Selalu dekat dengan telepon, membiarkan pintu terbuka dan tak henti mengirimkan pesan singkat dengan kalimat : “ojo bengi-bengi baline”. Mungkin ini kami  adalah anak tunggal. Cuma kebalikannya yang sering khawatir adalah Bapaknya Lilies. Bedanya, justru ibu saya yang sering cemas.

 

Pagi ini rumah sudah regeng. Ramai karena celotehan 2 anak perempuan dadakan. Tari dan saya. Bertiga pun segera berbagi tugas di dapur. Lilies yang mengupas, Tari yang mencuci dan saya kebagian mbumboni. Menu kami pagi ini adalah lele, tempe dan terong penyet sambel. Dan sudah pasti kami tanduk berulang kali. Entah karena tempene kasinen, kepedesen sambel atau turah lawuh, jadi selalu nambah nasi. Sebuah pembelaan yang logis.

 

Pucat Pasi di Zangrandi

 

Hari beranjak siang. Saatnya meluncur ke arah kota, melanjutkan agenda yang belum sempat terlaksana. Setelah mengantar Tari ke kantornya, saya segera bergegas menuju kos untuk mandi dan packing. Sesuai rencana semula ini adalah hari terakhir saya di Surabaya. Jadi, hari ini harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.

 

Melalui tiga sms dengan Mas Doni (beliau adalah teman Flickr saya), saya pun berkencan dengan istrinya, Mbak Eka (yang kebetulan teman MP saya). Jadwalnya lumayan padat yang harus rampung antara jam 10.00 s/d 16.00 WIB. Kami akan beli tiket ke Gubeng, berkeliling kota, makan es krim di Zangrandi, mengintip Cheng Ho dan ke daerah Genteng Kali.

 

Zangrandi adalah sesi paling seru di edisi kali ini. Bukan hanya karena Avocado Flodge atau Tuti Fruti ice creamnya. Tapi karena sapa ’hangat’ yang tak terlupakan dari bapak Parkirnya. 10 menit terasa lama hanya untuk mencari tempat parkir motor yang benar menurut si bapak. Hingga pihak ketiga pun datang membela. Tetap saja kata-katanya tajam tak beralasan. Hingga badan ini pucat pasi dan memilih diam. ”Mungkin Bapak ini sedang ada masalah dirumah,” duga saya dalam hati menentramkan diri.

 

Benar adanya bahwa kata maaf itu mujarab. Meski saya yakin seyakin-yakinnya saya tidak salah parkir. Tempat parkir yang jelas dan berada di halaman Zangrandi. ”Ya sudah pak, saya minta maaf kalau saya salah, saya cuma ingin makan ice cream disini,” ucap saya padanya. ”Sekarang saya boleh parkir dimana ? ”tanya saya kemudian.

 

Untung ice creamnya tak mengecewakan. Paling tidak bisa menetralisir hati yang masih ndredeg. Untung pula ada mbak Eka. ”Nanti disenyumin aja Fit, mungkin aja lagi ribut sama istrinya dan kamu yang ketiban sial, ” sarannya menyejukkan.

 

Siola dan Putaran Ganjil

 

Setelah sukses menemukan masjid Chengho dengan petunjuk peta, kami pun segera berkeliling kota. Mbak Eka (meski sudah hampir setahun tinggal di Surabaya), selalu siap membuka peta lalu berkata belok kanan dan kiri memberi aba-aba. Kami berdua mirip Dora the Explorer dengan peta dan tas ransel. Ketika peta tak jua memberi jawaban, kami bergegas berhenti lalu bertanya.

 

Kami sempat puyeng ketika mencari Taman Cak Durasim dan daerah Genteng Kali. 3 kali kami mengitari Siola. “Tenang mbak Eka, itunganne pancen kudu ganjil,” ucap saya sembari menenangkannya yang berubah menjadi sedikit panik.

 

Suara Surabaya dan Gempa Yogya

 

Terhenti 3 kali bertanya, akhirnya sampai juga kami ke Kampong Media di Bukit Wonokitri. Pak Errol meminta kami singgah dulu di kantor ini sebelum meluncur ke rumah beliau di Citraraya. ”Nanti kamu ke SS dulu ya,” pintanya diujung telepon.

 

Beliau mengajak saya berkeliling Suara Surabaya Media. Pertama kami menuju ruang Studio Radio SS FM. ”Teman-teman, ini saya membawa kawan-kawan dari Jogja,” ujar pak Errol pada 5 orang wanita didalam ruang kendali siar. ”Dulu siapa yang tugas ketika gempa? ” tanyanya kemudian. Semuanya tersenyum. ”Nah, kenalkan ini Fitri,  yang sering kita telpon tengah malam,” ujar beliau sambil tersenyum.

 

Rupanya Pak Errol sengaja ingin mengenalkan saya pada kru SS. Terutama penyiar, gatekeeper dan reporter yang dulu berhubungan langsung meski hanya melalui saluran telepon. 2 Jam setelah  gempa Yogya, SS melalui Pak Errol meminta saya untuk membantu informasi dengan melakukan live report ke SS FM dan suplai berita ke SS Net.

 

Ketika itu menjadi kali pertama saya siaran langsung berita hardnews untuk ukuran radio diluar Jogja. Selama seminggu saya standby on phone dan berkeliling setiap rumah sakit dan wilayah gempa baik Bantul maupun Klaten. Sebelum openmike, saya akan terhubung dengan gatekeeper terlebih dahulu. Jarak 2 menit setelahnya baru benar-benar berhadapan suara dengan sang penyiar. Penyiar akan membuka dengan opening sebagai berikut : ”Pendengar, sekarang kita sudah tersambung dengan Fitri, reporter trulyjogja.com yang akan mengupdate kondisi terakhir di Bantul. Silahkan Fitri .” Upps..cukup sekian kilas baliknya. Kamipun segera melangkahkan kaki ke ruang redaksi SS Net, Surabaya City Guide dan Giga FM.  Ramah meski hanya sempat berbincang sesaat.

 

Belajar Menyumpit Belajar

 

Menuju Citraraya, Singaporean Citynya, saya terpana. Perkembangan Surabaya Barat ini memang 3 kali lebih pesat dari pada wilayah Surabaya yang lain. Obrolan selama perjalanan bergulir lancar hingga tak sadar telah sampai di rumah beliau. Ibu Nunung, istri Pak Errol menyambut dengan wajah sumringah. “Welcome to the Jonathan’s house Fit,” sapanya ramah.

 

Dirumah yang asri bernuansa etnis ini saya menginap semalam. Tambah satu malam dari rencana awal. Sesuai saran Bu Nunung, saya pulang dengan sancaka pagi. Perjalanan malam memang tak mungkin dilakukan karena lokasinya jauh baik mana-mana. Baik dari Bandara maupun terminal.

 

Sebelum makan malam, kami menikmati slide show foto-foto perjalanan keluarga Jonathan di Perth dan Eropa. Dokumentasi sarat cerita yang dituturkan runtut dan informatif oleh Bu Nunung. ”Ini sengaja sebagai inspirasi buat Iman yang crigis kalau siaran,” jelas beliau menoleh pak Mas Iman, seorang penyiar senior SS FM yang juga tamu malam itu.

 

Menu Yakiniku menutup malam saya di Surabaya. “Fit, ayo latihan pake sumpit ya,” canda bu Nunung di meja makan. Maklum, kebiasaan makan dengan tangan masih menjadi jawara. Susahnya minta ampun, padahal saya sudah membayangkan berada di Jepang berbaju kimono. Mungkin imajinasi yang tinggi bisa membantu melancarkan proses belajar ini. Namun tetap saja belum berhasil dan sampai detik ini sumpit masih belum bersahabat dengan si jemari.

 

 

Glosary:

 

Bune, anakke wedok tambah siji ki,”                            : Bu, Anak peremp. kita tambah 1

ojo bengi-bengi baline                                                : Jangan pulang terlalu malam

regeng                                                                          : ramai

tempene kasinen,                                                          : tempe yang terlalu asin

kepedesen sambel                                                         : sambel yang tertalu pedas

turah lawuh                                                                   : sisa lauk

ndredeg                                                                        : gemetar

Tenang mbak Eka, itunganne pancen kudu ganjil,”        : hitungannya harus selalu ganjil

crigis                                                                            : cerewet

 

Fitri goes to Surabaya support by:

  1. Kristina Rahayu Lestari dan kamar kosnya di Gubeng Airlangga
  2. Lilies Rolina Irnanto dan keluarga di Manukan
  3. J. Totok Sumarno, my online Surabaya city guide (suwun atas Tahu Teknya dan petunjuk lokasinya ya)
  4. Mbak Eka dan Mas Doni, terimakasih banyak ya...(kardus Ny. Beek nya laris manis)
  5. Pak Errol Jonathan dan Ibu Nunung (lain waktu saya sowan lagi J)
  6. Iip, calon dokter hewan yang menyenangkan.

17 comments:

  1. kudune mas... next trip hopefully.. (langsung teringat dengan sego boran :D)

    ReplyDelete
  2. wah... seru... seru sampai ada yang ndredeg .. foto2nya mana? kok belum ada

    ReplyDelete
  3. fit dah nyoba rujak cingur belummmmmmmmmm?

    ReplyDelete
  4. belum mbak,.. cuma tahu tek, soto lamongan ampel..

    ReplyDelete
  5. sarapan... sego boran...
    makan siang... rujak cingur...
    sore... lontong kupang..
    mbengine.. tahu campur...

    *malah ngeces...


    ReplyDelete
  6. melu ngeces.. btw, pesenanku pas mancing kemarin dpt ndak ya?

    ReplyDelete
  7. ra ono... wingi ketemune mung karo den mas bawal karo diajeng nila je...

    ReplyDelete
  8. di jogja ada rujak cingur...lumayan enak..rasa jawa timurnya kerasa...di jalan kaliurang, sebrang mp book point..:)

    ReplyDelete
  9. kapan ke sby?....kok gak ajak2???...wuuuu.....

    ReplyDelete
  10. uppss... sorry, mendadak. ke Sbynya 26-27-29 Feb 2008

    ReplyDelete
  11. inspirasi jalan ke surabaya neh mbak fit....kapan-kapan ke kampung arabnya yukss dan pecinan..di KOTA LAMA....plus ke sAMPOERNA museumnya'

    ReplyDelete
  12. yukkk...sekalian ke Klenteng Jalan Coklat..

    ReplyDelete
  13. mbak icha ini...jelas2 temanya trip ke sby...malah pamer jogja wae...wuuu.....sana minta maaf ke fitri...

    dududu...:-"

    ReplyDelete