Hari ini; pada sebuah jendela dan sore yang indah saya bahagia.
Thursday, June 26, 2008
Tuesday, June 24, 2008
Menjadi Cakrawala
kesadaran adalah matahari
kesabaran adalah bumi
keberanian menjadi cakrawala
dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
Rendra 1989
ps: catatan kecil pada sebuah hari yang sulit
Monday, June 23, 2008
Nadia; Sebentar Lagi Masuk SD
Kemarin adalah hari terakhirnya dengan baju TK. Bulan depan, Nadia akan berganti seragam merah putih dengan jam sekolah yang lebih panjang, sedangkan Daffa, adik Nadia akan pula masuk TK. Sudah pasti, rumah akan jadi nyenyet dari celoteh dan berisiknya mereka.
June 22, 2008 (Di belakang panggung, setelah pentas tari Gerak dan Lagu di pesta perpisahan TK Dharma Rini)
Thursday, June 19, 2008
Di sebuah Ladang Tebu di belakang Madukismo
Di ladang tebu tepat di belakang Madukismo ini saya dan Mas Doni bertemu Pak Rohmat, seorang penebas tebu lepas. Bapak berkaus orange ini sudah hampir setengah hari disengat matahari. Beliau dengan sekitar 30 orang kawannya datang dari Tretep Temanggung. Sebagian kecil dari mereka berasal dari Magelang.
Bulan Mei sampai September adalah bulan rejekinya para penebas tebu. Pak Rohmat misalnya, beliau datang dari Temanggung ke Madukismo untuk memperoleh upah kotor sekitar Rp. 500.000/bulan. Upah tersebut masih akan dipotong ongkos Temanggung Yogya pulang pergi Rp. 60.000, biaya makan dan rokok selama mburuh. “Keno nggo sangu sekolah anak,” ucapnya sambil tersenyum.
Sebagai penebas tebu, ada tiga hal yang menjadi kawan dekat para penebas ini. Mereka adalah getah yang menghitamkan tangan, lugut atau duri halus pada batang tebu dan panas yang membuat keringat semakin deras mengucur. Tak ada sarung tangan dan hanya sedikit yang beralas kaki. Mayoritas nyeker. ”Malah angel mbak, rakulino,” jawab mereka berbarengan saat saya tanya tentang sandal.
Pekerjaan ini, meskipun berat tetap menjadi primadona. Hampir 90% warga Tretep Temanggung usia 15 s/d 35 tahun bekerja sebagai penebas tebu. ”Nek tuwo ra kuat awakke, kudu rosa soale gaweanne abot,” ujar mereka sambil terus bekerja. Setelah mas panen usai, mereka kembali mencari pekerjaan lain seperti menjadi buruh bangunan & petani tembakau. Tak sedikit pula yang menganggur.
Jangan bayangkan ada sepiring camilan atau segelas teh nasgitel buat mereka. Saat haus menyergap, tersedia satu jerigen air teh dan air putih untuk bersama. Setidaknya, minuman tersebut harus cukup untuk 30 penebas, seorang mandor dan supir truk. Mereka menyebutnya dengan istilah “Teh Es”, meski sebenarnya hanya teh semi pahit tanpa butiran es sama sekali. Maklum, cuaca yang panas membuat seteguk teh dari jerigen dan ceret ini seolah-olah dingin.
Selain itu ada juga rokok dengan bau khas yang menyengat. Rokok para penebas memang bukan rokok filter dengan iklan yang berbiaya tinggi itu. Tapi rokok lintingan dengan ramuan khusus cengkeh, klembak dan kemenyan.
Akrobat Prancis O Ultimo Momento
Start: | Jun 20, '08 7:30p |
Location: | Ampiteater TBY |
Wednesday, June 18, 2008
ps: i love you
Selasa lalu, selepas pulang kantor berdua dengan Mbak Vivi kami melenggang ke Plaza Ambarrukmo. Ini adalah acara nonton film yang sempat tertunda dua kali. Setelah telpon ibu masing-masing, kami segera bergegas. Boleh dibilang, saya dan Vivi sama-sama dalam pengawasan orang tua. Sebuah perlakuan wajar bagi anak perempuan yang belum mentas.
Berdasarkan cerita dari beberapa kawan, kami terprovokasi untuk menonton suguhan film berjudul ’ps: i love you’. Selain karena ada Hillary Swank, saya lebih dulu terpikat dengan genre dramanya. Maklum, inilah memang salah satu sisi melankolis saya.
Film ini kaya dengan visual cantik New York dan Irlandia. Kota New York memikat secara fotografis karena apartemen bertingkat dengan batu bata bercat cokelat. Yang jelas, lorong-lorong dan lanscape kotanya seru untuk lokasi prewed dengan konsep kehangatan. Ya, sehangat berpuluh-puluh pasangan di bangku bioskop kemarin dan ucapan ps: i love you dari Gerry buat Holly.
pss: ini hanya catatan nggak penting hari ini, tp ini mungkin bisa jadi penting sepuluh tahun lagi
Nostalgia Fitri SD; 17 Tahun Yang Lalu
Mengingat saya 17 tahun yang lalu. Sebuah potret anak nakal yang males-malesan untuk sekolah, selalu berantem sama ibu soal baju dan warna kaus kaki.
Tuesday, June 17, 2008
Balet Semalam; Dance Work Rotterdam
Pertunjukan Balet dari Dance Works Roterdam bertabur tepukan riuh yang panjang serta decak kagum. Maklum, selain karena koreografi yang menawan, pertunjukan balet boleh dibilang langka untuk panggung kesenian Jogja. Tak heran bila concert hall Taman Budaya Yogyakarta 16 Juni 2008 lalu penuh dengan penonton. Seluruh kursi terisi dan tak sedikit yang berdiri. Seperti saya, sepertiga penontonnya pun duduk lesehan di deretan depan.
Suguhan tari kontemporer kemarin menjadi salah satu kegiatan dari program internasional Festival Kesenian Yogyakarta 2008 yang mengusung tema ”The Past is New”. 12 penari, lima diantaranya laki-laki, meyuguhkan 2 karya dengan gerak-gerak sulit yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Suguhan pertama adalah Mortal Coil karya Ton Simons, sang direktur artistik Dance Work Rotterdam, sedangkan “Lareigne” sebagai nomor kedua dibesut oleh Stephen Petronio asal New York City.
ps: dan saya masih butuh banyak belajar.. (bukan belajar balet, tapi motret balet)
Sunday, June 15, 2008
Main Mata
Ini adalah aneka ekspresi mata para warga Nogosari yang sedang belajar tentang air, pada suatu siang di bulan Juni. Maafkah saya wahai para ibu dan bapak karena saya justru sedang belajar menangkap rasa dari balik lensa. Ada yang tegang, melongo, mengantuk, tampak antusias, tanpa ekspresi, binggung dan perasaan tenang. Sekali lagi, ini rasa versi saya. Tak bisa saya pungkiri pula bahwa kemungkinan besar hasilnya jauh dari pakem komposisi di ilmu fotografi.
All pictures taken with Panasonic FZ30, manual & program exposure mode, aspect ratio 3:2, without cropping.
Thursday, June 12, 2008
Doa ‘Kokoh Bakoh’ Mbah Mulud
Sebenernya nama asli nenek ini adalah Mijem. Sedangkan nama tua beliau, mengikuti nama tua suaminya yang meninggal tak lama setelah gempa adalah Suparto. Namun, jangan kaget bila tak banyak yang mengenal 2 nama itu di dukuh Nawungan II Selopamioro. Hanya segelintir orang yang mengenal nama Mijem atau Suparto. Tapi coba tanya nama Mbah Mulud, pasti semua orang akan segera mengangguk dan mengantarkan kita ke sebuah rumah berdinding batu bata setengah telanjang, Maklum, rumah beliau ini merupakan bangunan baru dengan bantuan sebesar 15 juta dari dana rehab rekons pemerintah setelah gempa hanya menyisakah sebuah sumur di belakang rumah buatnya. Didepan sumur itu pula kemarin sore kami berbicang.
Lantas kenapa iya disebut Mbah Mulud ? Pertanyaan ini spontan muncul saat saya menghitung ada 3 nama buat simbah yang hobi nginang ini. Ternyata sebutan itu muncul setelah adalah anak tertuanya lahir dan bernama Mulud. "Mulud niku jeneng anak mbarep kulo, ndilalah lahir pas sasi Mulud," ceritanya.
Seperti kebanyakan orang tua yang saya temui, Mbah Mulud juga tidak tahu berapa usianya. ”Ngapunten, lha nek miturut mbak e kinten-kinten pinten ?” ucapnya sambil meminta saya menaksir usianya. Taksiran saya beliau lebih kurang berusia 70an, karena sepertinya beliau seusia dengan simbah putri saya yang sedo 2 tahun lalu. Bedanya, simbah putri saya lebih dulu berpulang karena luka dalam di bagian kepala karena benturan saat mendekap tiang didapur saat lindu datang. Benturan itu menyebabkan pembekuan darah di otak kecil yang baru kami ketahui satu bulan setelah gempa.
Selain usianya yang hampir sama, Mbah Mulud dan simbah putri saya sama-sama fasih mengucapkan ”kokoh bakoh” saat gempa menghujam Yogya. Ya, saya masih ingat simbah putri saya keluar rumah sambil berteriak ”kokoh bakoh” berulang-ulang. Ucapan yang berarti doa agar bumi tetap kokoh dan kuat ini selalu dilafalkan menemani ucapan Allahu Akbar. ”Kulo mlajar kaliyan bengok-bengok kokoh bakoh-kokoh bakoh,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Wednesday, June 11, 2008
Ballet Dance Work Rotterdam
Start: | Jun 16, '08 7:30p |
Location: | Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta |
Tiket Rp. 15.000, bisa pesen di Ilal dan Neni di sekretariat FKY di 0274587712
Tuesday, June 10, 2008
Mbah Darmo dan Sekotak Tahu Ceplus
Seulas senyumnya sudah nampak dari kejauhan. Lebih tepatnya, saat ia datang dengan kotak kayu berisi tahu ceplus di ujung pintu loket museum kereta Ambarawa. Ya, dari kejauhan selain senyum dan suaranya yang empuk, tahu pong didalam kotak kaca dengan cabe rawit yang tertata rapi juga menjadi daya tarik tersendiri.
Sudah hampir 30 tahun Mbah Darmo berjualan tahu ceplus. Setiap pagi, anak ragilnya mengantar beliau ke Museum Kereta. Tempat ini memang menjadi salah satu primadona wisatawan dan surga bagi pedagang di kota Ambarawa selain Ngawen dan Rawapening.
"Anak kulo niko wau isuk muring-muring, kulo mboten angsal dodol malih," ujarnya sambil menepuk kotak tahu yang sedari tadi dipangku. "Ngisin-isini mungale," lanjutnya lagi sambil tersenyum. 6 orang anak mbah Darmo sudah mentas semuanya. Dari keenam anaknya, hanya satu orang yang masih tinggal bersamanya di desa Bawen, Ambarawa.
Mbah Darmo ternyata bandel. Beliau tetap tidak patuh pada permintaan anak-anaknya untuk tidak berjualan tahu keliling lagi. Mereka mengkhawatirkan kesehatan kakek dan kemungkinan penertiban oleh Satpol PP. Namun, bagi beliau yang terpenting adalah dengan pekerjaannya ini ia tidak merepotkan dan mengganggu orang lain. "Sing penting ora ngrusuhi liyan," ucap kakek 83 tahun ini mantap.
Selama tiga puluh tahun juga beliau setia menyunggi seratus buah tahu di dalam kotak jati seberat 10 kilo itu. "Sirah kulo ngantos mlenyok-mleyok," jelasnya sambil membuka topi yang bentuknya tak lagi proposional. Sebagian kulit kepala Mbah Darmo lecet. Meski sudah pasti perih, beliau tetap tersenyum.
Sesi obrolan yang paling menyenang dengan mbak Darmo saat beliau tiba-tiba memberikan sebuah kalimat wejangan pada saya dan mbak Ina sesaat sebelum kami berpamitan. "Pokoke mbak, nek nyambutgawe kudu jujur," ucapnya. Selain itu beliau juga meminta untuk mengingatkan beliau bila saja saya bertemu lagi dilain kesempatan karena penglihatannya tak lagi sempurna. "Mripat kulo pun blawur," terangnya beralasan.
Monday, June 9, 2008
Menanti Mentari di Banyubiru
Jam 3 pagi angkot warna kuning sudah menanti kami di depan hotel Tenteram Ambarawa. Dingin dan kelopak mata yang masih saja mengatup. 35 menit kami sampai di Banyubiru. Menyusur Bukit cinta yang pagi itu sangat gelap dengan bau bunga yang mau tidak mau tercium.
Friday, June 6, 2008
Indahnya Bila Semua Seperti Ini
Ibu berkerudung putih ini tampak antusias saat akan mulai difoto. Sesekali tawanya merekah meski terlihat sedikit malu-malu. Ia tampak cantik dengan baju kebesaran Cina warna merah jambu dengan hiasan kepala yang memantul sinar keperakan. Anggun.
Sam Poo Kong, 17 Mei 2008
Curiosity
Thursday, June 5, 2008
Trampolin Satu Kaki Happy & Virgo
Trampolin itu berderit saat Virgo dan Happy beraksi diatasnya. Halaman samping aula itu tak lagi sepi. Riuh dengan karena keduanya saling bercanda. “Happy itu yang paling pinter main trampoline lho Mbak, bukan Virgo”, ucap bocah lelaki berusia 11 tahun itu sambil menatap saya dengan mata berbinar.
“Dek, besok Mbak Fitri boleh main kesini lagi ?” tanya saya pada keduanya. ”Mau belajar main trampolin,” sambung saya kemudian. Mereka menggangguk. Tapi buru-buru Happy berkata bahwa ia akan pulang ke Purworejo. ”Besok aku mau pulang mbak, kesini lagi kalau kakiku sudah jadi,” paparnya sambil terus melompat. Gadis kelahiran tahun 1999 inipun menjanjikan oleh-oleh 10 buah durian sekembalinya dari Purworejo buat Virgo dan saya.
Happy dan Virgo terus melompat dan lompatannya semakin tinggi saja. Sekilas tidak ada yang berbeda dengan mereka dibanding anak-anak yang lain. Meski hanya dengan satu kaki, mereka tetap riang bermain trampolin sambil tertawa. Justru saya yang khawatir dan mengobral kata awas jatuh pada mereka. Ya, saya memang harus sering kesini dan belajar ilmu ikhlas dan semangat dari mereka berdua.
Wednesday, June 4, 2008
Kenapa Hanya Sebentar ?
Tak lebih dari 5 menit kami bertemu. Terlalu singkat untuk seseorang yang mempesona saya. Ah, andai saja ada yang bisa mengulur waktu kala itu.
Plagiarisme Buku 100 Warung Makan Enak di Jogja
2 Bulan yang lalu, seorang kawan menunjukkan pada saya sebuah buku mungil yang konon sedang jadi buah bibir. Mata saya mendadak terbelalak dan merasa dejavu saat membaca beberapa artikel. Tulisan sahabat saya, Aria Dewangga untuk kanal kuliner www.trulyjogja.com tiba-tiba bermigrasi tanpa permisi. Saya hapal betul tulisannya, pemilihan kata-kata dan rangkaian kalimatnya karena saya ikut dalam peliputan tersebut. Ungkapan yang dipilih berdasarkan pengalaman saat kami antri makanan, ngobrol dengan sang penjual dan saat lidah mencicip rasa. Dua bola mata semakin keluar dibarengi omelan yang tak karuan saat lembar demi lembar itu terjelajah. Podo Plek, dan terutama untuk link-link berikut.
Rayuan Maut Sate Kambing Pak Nano : How Hot Are You?
Anti Fast Food ala Gudeg Wirobrajan
Senjata Rahasia Angkringan Pak Parjo
Omelan saya kembali membahana saat membaca biografi penulisnya. Tertulis bahwa para penulis telah bekerja sangat keras untuk buku ini. Sungguh, saya angkat topi buat penulisnya. Kerja keras dan keberanian terlampau besar untuk memindahkan tulisan kedalam buku yang saat ini sudah masuk cetakan ketiga.
Maaf, bila salah satu atau salah tiga dari penulisnya membaca tulisan saya yang penuh emosi ini. Pertanyaan saya cuma satu, bagaimana bila karya tulis anda dibajak orang tanpa permisi ?
Email dari kawan saya Ogi Pornawan (salah satu pemilik www.trulyjogja.com) kepada media-jogja@yahoogroups.com & www.jogjafoodfest.com
Teman-teman, saya pengen berbagi masalah plagiat buku.
Ada orang yang membuat buku dengan judul
100 warung makan enak di Jogja
Penulisnya: Wanda Djatmiko & M. Solahudin
berikut link nya:
100 warung makan enak di Jogja
Buku tersebut sudah naik cetak 3 kali, dan katanya menjadi best seller
di penerbit bersangkutan.
Secara tidak sengaja, saya menemukan hampir keseluruhan isi buku
tersebut mengambil dari website www.trulyjogja.com,
penulisnya hanya merangkum isi dari artikel-artikel di website tersebut.
Point-point dari tiap artikel jelas mengambil dari website tersebut,
dan beberapa kalimat malahan masih sama persis, bahkan beberapa judul
yang juga sama persis.
Kebetulan saya salah satu pemilik web tersebut, dan merasa sedih hasil
susah payah beberapa programmerku cuman di ambil begitu saja tanpa
satu patah kata ijinpun.
Dan bahkan, di cetakan ke tiga, website kami tidak disebutkan sama
sekali sebagai referensi (saya kurang tau di cetakan sebelumnya apakah
ada semacam daftar pustakanya atau tidak).
Dan saat saya hubungi penulisnya, penulisnya dengan enteng merasa
tidak bersalah, dan berlagak sangat-sangat sibuk, sehingga saya ajak
bertemu susah sekali.
Sebiasa inikah plagiatisme di negri ini?
mohon tanggapan dari temen-temen.
Monday, June 2, 2008
Peh Cun
Start: | Jun 8, '08 11:00a |
Location: | Mancingan, Parangtritis |
thx KR..