Sunday, July 20, 2008

Belajar [lagi] Pada Kanjeng Wir; Sebuah Dokumentasi




“Wah, ngepasi tenan, pun ket winggi Kakung kenken kulo ngebel Mbak Fitri,” ucap mbak Kus, putri Kanjeng Wir saat saya muncul dibalik pintu rumah mereka. Rupanya sudah dari bulan lalu, Kanjeng Wir meminta Mbak Kus untuk menelepon saya. Kata beliau, ada beberapa acara yang pasti akan saya senangi.

Segera Ibuk, begitu saya menyebut istri Kanjeng Wir, memanggil Kakung yang ada di bengkel kerja di loteng rumah. “Kung, wonten Mbak Fitri,” teriaknya. Tak lama, Kanjeng Wir atau Kakung turun dan menemui kami di ruang tamu. Ada yang berbeda dengan Kakung. Badannya tampak kurus dan pipi tirus. Sudah hampir sebulan Kakung menjalani perawatan jalan karena pembengkakan jantung yang dialaminya. Hampir satu bulan pula beliau tidak ke Keraton. “Nembe tindak menawi dipun dawuhi Sinuhun,” jelas Kakung.

Namun, sifat dan kebiaasannya yang lain tetap sama. Saat saya datang Kakung bercerita tentang banyak hal, salah satunya tentang tekadnya yang bulat untuk meyelesaikan 60 stel seragam Prawiroutomo. Prajurit ini adalah satu dari cita-cita Kakung yang ingin mengeksiskan lagi kesatuan yang dulu pernah ada. Hanya bayonet yang dipesan dari luar, selebihnya dikerjakan sendiri oleh Kakung. Maka tak heran bila beliau kurang tidur dan berpengaruh pada kondisi fisiknya. Kakung hanya tidur selama 1 jam setiap harinya. Selebihnya, 23 jam beliau habiskan di bengkel untuk merampungkan 60 baju, aksesoris, topi dan pedang untuk prajurit paling tinggi di Kraton Solo ini.

6 comments: