Wednesday, July 29, 2009

Mulat Sarira PKB 2009




Berbeda dari rute tahun-tahun sebelumnya, Pawai Pesta Kesenian Bali tahun 2009 yang berlangung pada tanggal 13 Juni 2009 dimulai dari lapangan Puputan Badung hingga Art Centre. Mengusung tema ”Mulat Sarira” atau dengan arti kembali ke jati diri pawai ini menjadi magnet bagi masyarakat Bali maupun wisatawan baik dari dalam dan luar negeri. Sebuah pawai dari rakyat untuk rakyat.

Menikmati Kumbasari Pagi




Saya betah berlama-lama disini. Kumbasari waktu pagi dan saya yang terduduk di trotoar seberang dokar yang terparkir dengan gagahnya. Membau bau tanah yang bercampur aroma bunga, sayur, keringat dan aneka aroma lainnya. Saya belajar satu hal bahwa dalam ramai ada sepi dan mungkin sedikit kehampaan. Meski tampak lalu lalang, ada sepi dalam riuhnya.

Monday, July 27, 2009

Mbah Soma dan Semangkuk Wedang Trampas




Usianya tak tagi muda, giginya pun sudah tanggal semuanya. Namun, fisiknya masih prima, kuat mendaki untuk bertani di lereng Gunung Andong. "Kulo tani, saben dinten obah", tuturnya sambil tersenyum.

Mbah Soma, 95th ini adalah salah satu warga tertua di dusun Mantran Wetan, Girirejo Ngablak Magelang. Seperti warga desa lainnya, setiap hari beliau meminum wedang trampas. Minuman ini berasal dari pucuk daun teh yang dijerang air panas.

Tapi, Mbah Soma punya cara lain meminun seduhan yang berwarna hijau muda ini. Ketika orang-orang menikmatinya dengan gula jawa, kakek 7 cicit ini meramunya dengan garam. Mungkin, selain kehidupan yang rukun di kaki bukit yang berhawa dingin, trampas juga menjadi salah satu obat sehat alami yang membuat beliau awet muda.

Pengilon Gempil




Pengilon (cermin) ini saksi bisu rumah. Mengamati pertumbuhan dari saya TK sampai sekarang. Cermin yang menurut saya paling jujur.

Kata simbah, umurnya sudah tua, bahkan dari usia ibu. Dibingkai kayu jati dengan pegangan dari besi. Saat gempa 3 tahun lalu, pengilon ini sempat jatuh. Bingkai kayu di sisi kirinya koyak. Gempil.

Sunday, July 26, 2009

http://photoblogger.jogjafashionweek2009.com/

Start:     Aug 5, '09
End:     Aug 9, '09
Tentang XL JFW 2009 Photo Competition :
BOEDAJA IN MOTION!

Itulah tema dalam XL Jogja Fashion Week 2009 Photo Competition kali ini. Siapkan kameramu, tangkap momen=momen menarik selama pelaksana Jogja Fashion Week yang berlangsung mulai tanggal 5 - 9 Agustus 2009 mendatang, dan menangkan hadiahnya!

Friday, July 17, 2009

John van der Sterren




John van der Sterren is a New Zealand artist of Dutch origin. He was born in Sukabumi, a town south of Jakarta, the capital city of Indonesia. He spent his early years on a tea estate in west Java where his father was the manager. After the Second World War, the family immigrated to New Zealand, where he was educated and where he developed a taste for the arts.

Story Only Taken From http://www.johnvandersterren.com/

Tuesday, July 14, 2009

Merapi & Ice Cream Milik Tuhan




Saat awan-awan berarak mengitarinya, rasa ingin terbang. Awan yang dulunya saya kira adalah ice cream milik Tuhan.
Saat kembali menatapnya, dia tetap satu-satunya penanda arah primadona bagi saya. Maklum, saya buta arah. Hanya paham arah utara.


Gondolayu, 12 Juli 2009.

Tuesday, July 7, 2009

Geliat Petani Garam Kusamba




Berkaus singlet dan bertelanjang kaki, Nyoman Dadek mulai meratakan pasir yang berada tepat didepan bedeng garam semi permanent miliknya. Cuaca mulai terik saat ia beranjak menuju bibir pantai sambil memikul teku, wadah air laut yang terbuat dari pelepah nira. Ini adalah aktivitas keduanya hari ini setelah sebelumnya beristirahat. Proses yang sama telah dilaluinya pada pagi hari, tepat setelah surya mulai bersinar di pantai Kusamba, Klungkung Bali.

Tak sampai lima menit, teku telah penuh dengan air laut. Air laut tersebut lalu disiramkan diatas pasir yang sebelumnya telah diratakan. Ia berjalan maju sambil menggoyangkan teku-teku yang dipikulnya. Hal sama dilakukakan berulang kali sampai seluruh pasir berikuran 4x10 meter tersebut basah. Cuaca menjadi kunci dalam proses pembuatan garam di Kusamba mengingat proses ini hanya mengandalkan sinar matahari.

Sinar matahari akan membuat pasir yang telah basah tersebut tercampur dengan sempurna. Air resapannya yang bercampur pasir kemudian dikumpulkan dalam sebuah ceruk berpipa bambu didalam bedeng bambu. Air resapan kemudian akan menetes dari bilah bambu menuju tempat penampungan. Terdapat 2 tempat penampungan dengan sistem penyaringan sederhana sebelum nantinya air tersebut akan dijemur diatas lembaran karet hitam untuk menghasilkan butiran kristal garam.

Nyoman adalah satu dari puluhan petani garam tradisional yang masih bertahan ditengah gempuran garam pabrikan. Meski tak seramai dulu, ia tetap akan melakoni pekerjaan ini dengan sepenuh hati. Suami dari Nyoman Kani ini menuturkan bahwa profesi yang telah digeluti selama hampir 30 tahun ini adalah usaha turun temurun dari ayahnya.

Saat ini, ada dua sistem penjualan yang dia jalankan bersama istrinya. Selain tetap setia dengan menjual garam melalui perantara, ia juga melayani penjualan langsung. Pembelinya tidak hanya masyarakat lokal, tetapi juga wisatawan yang membeli garam sebagai buah tangan. Pasalnya bedeng miliknya terletak tak jauh dari Goa Lawah, salah satu objek wisata andalah kabupaten Klungkung Kota Semarapura.

Wednesday, July 1, 2009

Dari Tasikmalaya ke Singaparna

Cuacanya yang sebelumnya bersahabat mendadak menjadi sedikit muram. Gerimis tiba-tiba meyergap saat semangkuk bubur ayam tepat ditangan. Bubur ayam setengah porsi diseberang masjid agung tak kalah lezat meski sempat sedikit kecewa karena gagal menemukan bubur ayam Zaenal di daerah Kalektoran.

 

Setelah kenyang, perjalanan dilanjutkan dengan angkot jurusan 08 untuk kembali ke hotel. Sepuluh menit kemudian, Kang Kankan dan Zahwa (putri bungsunya) menjemput untuk bergerak ke sentra payung geulis di Indihiang Panyingkiran.

 

Geulisnya Payung Mak Cicih

7 Desember 2008

 

Mendung yang hadir saat itu membuat halaman rumah mak Cicih (82th) sepi dari puluhan payung-payung yang biasanya dijemur berjejer. Meski demikian, rasa kecewa mendadak terobati karena Mak Cicih, Warsono (menantu) dan seorang tetangganya tetap bekerja meski hujan mungkin datang. Payung-payung geulis yang terbentang cantik di bengkel kerja.

 

Mak Cicih, yang sejak usia belasan bekerja sebagai perajin payung, dengan telaten mengajari saya melukis bunga diatas kertas bubut berwarna coklat. Rumit meski awalnya terlihat sangat mudah. “Coba dulu Neng, pasti bisa”, katanya menyemangati.

 

Setelah Panyingkiran, saya mampir sejenak ke rumah Kang Kankan. Teh manis buatan Teh Santi menjadi obat kangen setelah sebelumnya terus-terusan minum teh tawar. Hatur Nuhun Teh, lain waktu saya kembali.

 

Satu hal yang menarik dari setiap perjalanan adalah spontanitas. Ketika sebuah rencana tiba-tiba ada didepan mata meski sebelumnya tidak ada didalam jadwal. Seperti ketika Kang Kankan mengusulkan untuk memotret Asrina, mojang priangan 2008 yang kebetulan sedang libur semesteran. Alhasil, terjadilah sesi pemotretan model dengan konsep Duo Geulis. Asrina vs Payung Mak Cicih.

 

 

Malam takbiran di Singaparna

7 Desember 2008

 

Senja mulai menampakkan diri saat saya menunggu angkutan ELF jurusan Singaparna di simpang Linggajaya. Singaparna adalah tempat transit untuk semalam sebelum berpindah ke Kampung Naga. Setelah menunggu beberapa saat, kendaraan yang ditunggupun datang. Cukup dengan 4500 rupiah, transportasi umum ini akan mengantarkan kita dari Tasikmalaya menuju Singaparna. Biaya yang 3X jauh lebih murah dibandingkan kisaran harga dari cerita seorang kawan.

 

Tepat sebelum adzan Magrib, saya sampai di hotel Dewi yang terletak di belakang pasar Singaparna. Ini adalah satu dari dua hotel yang tersedia di kota sejuta ojek ini selain hotel Dewi Asri. Bicara soal harga, hotel sederhana ini tergolong mahal, Rp.150.000/malam. Tapi yang menyenangkan adalah tersedianya banyak colokan listrik dan kamar mandi bergayung.

 

Bagi yang tak terbiasa jalan-jalan malam, mungkin akan sedikit deg-degan. Pasalnya, ojek motor dan calo bis jumlahnya sangat banyak dan menawarkan jasa secara bersamaan. Setiap jalan 100 meter, 6 ojek menghampiri saya.

 

Takbir berkumandang dan saling bersahutan. Pasalnya tepat di belakang tembok kamar terdapat 2 surau yang mulai riuh semenjak Isya. Sambil mencari makan malam, saya memutuskan untuk berkeliling kota menonton takbiran. Perkiraan saya meleset. Ternyata tidak ada takbiran keliling seperti di kampung saya. Warga masyarakat terutama anak-anak bertakbiran di surau/masjid.

 

Ini adalah takbiran pertama saya jauh dari keluarga. Telepon terus menerus berdering dari Ibu dengan suara sedikit bergetar. Beliau menanyakan kabar, bergantian dengan Bapak yang memastikan bahwa anaknya akan mengikuti sholat Idul Adha di esok paginya.

Tasik; 2 Hari Menjelang Idul Adha

sebuah jurnal perjalanan yang terselip hampir enam bulan; adalah perjalanan yang menjadi mendadak karena urusan tiket dan perijinan internal (baca: keluarga)

 

Stasiun tugu, 07.30, 6 Desember 2008,

Akhirnya, tiket kereta Lodaya tujuan Bandung untuk jam keberangkatan 09.27 ada di tangan. Setelah semalam sebelumnya harap-harap cemas karena antrian yang mengular. Persiapannya serba apa adanya. Perjalanannya sederhana berteman sebotol air mineral dan sekotak bakpia Ayu yang masih panas. Sebelum berangkat ke Stasiun, Bapak mengantar saya membeli oleh-oleh di Bakpia langganan kami, masuk gang di Kampung Patuk.

 

Tasik, Wilujeng Sumping

6 Desember 2008, Tasikmalaya

Tepat pukul 15.30, kereta berhenti di stasiun Tasikmalaya. Stasiun ini lumayan penuh, maklum banyak masyarakat yang pulang kampung demi merayakan lebaran haji. Berbeda dengan saya yang justru meninggalkan keluarga saat hari raya tiba.

Saya urung naik angkot menuju jalan RE. Martadinata, lokasi penginapan saya untuk hari pertama. Seorang kawan, Teh Tini dan suaminya menjemput di stasiun. Meski pada menit-menit pertama masih canggung, kami langsung akrab dalam waktu yang cepat.

Teteh membawa saya di sebuah restoran sunda Saung Rangon untuk makan siang. Gurami bakar dan asam manis tersaji lengkap dengan lalapan mentah seperti leuncak, labu dan terong belanda. Pestapun dimulai tepat saat sepiring tempe mendoan ala tasik dengan rajangan besar daun bawang dan cabe teropong tiba-tiba terhidang di atas meja. Menyusul kemudian tumis genjer dengan ukuran daun jumbo dibanding sayur genjer yang dijual di pasar Demangan dekat rumah saya di Yogya.

Dua puluh menit kemudian, seorang kawan bergabung lagi bergabung. Ia adalah Kankan Iskandar dan keluarga yang sebelumnya menjadi guide online via yahoo messenger. Senang rasanya bisa bertemu muka setelah sekian lama hanya bertegur sapa di dunia maya.

Saya menginap di Hotel Aden bertarif 75 rb rupiah permalam dengan fasilitas kamar mandi dalam, double bed, televisi dan kipas angin. Aden terpilih karena jaraknya sangat dekat dengan sentra payung geulis yang rencananya akan saya kunjungi. Terletak di jalan RE. Martadinata, salah satu jalan utama yang mudah akses angkot bila akan ke arah pusat kota.

Menjajal angkutan umum adalah salah satu cara mudah untuk mengakrabkan diri ketika kita berada di tempat baru. Seperti yang saya lakukan agar tidak merasa kesepian didalam kamar hotel. Pesiar malam hari dengan angkot dan jalan kaki adalah pilihan yang menarik untuk mengetahui seluk beluk kota Tasik. Mulai dari alun-alun hingga masjid agung. 2 titik yang wajib dikunjungi pada malam dan pagi hari.

 

Duet Ibu-Ibu Muda dan Mulan Jameela di Dadaha

7 Desember 2008, Tasikmalaya Kota

Pagi-pagi sekali, angkot yang sama membawa saya menuju masjid agung. Kemudian langkah berlanjut mengikuti arus dari puluhan warga tasik yang datang bergelombang dengan baju olahraganya. Mereka menyusuri trotoar di kawasan perdagangan Cihideung sampai akhirnya terhenti stadion Dadaha. Ratusan orang melakukan aneka aktifitas distadion yang juga jadi pasar kaget. Jual beli aneka penganan tradisional sampai dengan ibu-ibu muda yang mengikuti senam pagi dengan lagu Mulan Jameela. Ya, paduan yang menyegarkan mata dan penuh gelak tawa. Inilah yang menyebabkan banyak orang yang berkerumun di seputaran halaman lokasi senam.

Puas berkeliling sambil jajan tape uli, saya menelusur pusat pertokoan Cihideung yang penuh dengan toko-toko berarsiterktur lawas. Lorong-lorong sempit dan tentu saja sapaan hangat para pengemudi becak menawarkan jasanya. “Neng, becaknya neng”, ucap mereka hangat.

Bersambung...