sebuah jurnal perjalanan yang terselip hampir enam bulan; adalah perjalanan yang menjadi mendadak karena urusan tiket dan perijinan internal (baca: keluarga)
Stasiun tugu, 07.30, 6 Desember 2008,
Akhirnya, tiket kereta Lodaya tujuan Bandung untuk jam keberangkatan 09.27 ada di tangan. Setelah semalam sebelumnya harap-harap cemas karena antrian yang mengular. Persiapannya serba apa adanya. Perjalanannya sederhana berteman sebotol air mineral dan sekotak bakpia Ayu yang masih panas. Sebelum berangkat ke Stasiun, Bapak mengantar saya membeli oleh-oleh di Bakpia langganan kami, masuk gang di Kampung Patuk.
Tasik, Wilujeng Sumping
6 Desember 2008, Tasikmalaya
Tepat pukul 15.30, kereta berhenti di stasiun Tasikmalaya. Stasiun ini lumayan penuh, maklum banyak masyarakat yang pulang kampung demi merayakan lebaran haji. Berbeda dengan saya yang justru meninggalkan keluarga saat hari raya tiba.
Saya urung naik angkot menuju jalan RE. Martadinata, lokasi penginapan saya untuk hari pertama. Seorang kawan, Teh Tini dan suaminya menjemput di stasiun. Meski pada menit-menit pertama masih canggung, kami langsung akrab dalam waktu yang cepat.
Teteh membawa saya di sebuah restoran sunda Saung Rangon untuk makan siang. Gurami bakar dan asam manis tersaji lengkap dengan lalapan mentah seperti leuncak, labu dan terong belanda. Pestapun dimulai tepat saat sepiring tempe mendoan ala tasik dengan rajangan besar daun bawang dan cabe teropong tiba-tiba terhidang di atas meja. Menyusul kemudian tumis genjer dengan ukuran daun jumbo dibanding sayur genjer yang dijual di pasar Demangan dekat rumah saya di Yogya.
Dua puluh menit kemudian, seorang kawan bergabung lagi bergabung. Ia adalah Kankan Iskandar dan keluarga yang sebelumnya menjadi guide online via yahoo messenger. Senang rasanya bisa bertemu muka setelah sekian lama hanya bertegur sapa di dunia maya.
Saya menginap di Hotel Aden bertarif 75 rb rupiah permalam dengan fasilitas kamar mandi dalam, double bed, televisi dan kipas angin. Aden terpilih karena jaraknya sangat dekat dengan sentra payung geulis yang rencananya akan saya kunjungi. Terletak di jalan RE. Martadinata, salah satu jalan utama yang mudah akses angkot bila akan ke arah pusat kota.
Menjajal angkutan umum adalah salah satu cara mudah untuk mengakrabkan diri ketika kita berada di tempat baru. Seperti yang saya lakukan agar tidak merasa kesepian didalam kamar hotel. Pesiar malam hari dengan angkot dan jalan kaki adalah pilihan yang menarik untuk mengetahui seluk beluk kota Tasik. Mulai dari alun-alun hingga masjid agung. 2 titik yang wajib dikunjungi pada malam dan pagi hari.
Duet Ibu-Ibu Muda dan Mulan Jameela di Dadaha
7 Desember 2008, Tasikmalaya Kota
Pagi-pagi sekali, angkot yang sama membawa saya menuju masjid agung. Kemudian langkah berlanjut mengikuti arus dari puluhan warga tasik yang datang bergelombang dengan baju olahraganya. Mereka menyusuri trotoar di kawasan perdagangan Cihideung sampai akhirnya terhenti stadion Dadaha. Ratusan orang melakukan aneka aktifitas distadion yang juga jadi pasar kaget. Jual beli aneka penganan tradisional sampai dengan ibu-ibu muda yang mengikuti senam pagi dengan lagu Mulan Jameela. Ya, paduan yang menyegarkan mata dan penuh gelak tawa. Inilah yang menyebabkan banyak orang yang berkerumun di seputaran halaman lokasi senam.
Puas berkeliling sambil jajan tape uli, saya menelusur pusat pertokoan Cihideung yang penuh dengan toko-toko berarsiterktur lawas. Lorong-lorong sempit dan tentu saja sapaan hangat para pengemudi becak menawarkan jasanya. “Neng, becaknya neng”, ucap mereka hangat.
Bersambung...
makin mendekati jakarta :)
ReplyDelete:) jakarta, saya akan datang dalam beberapa bulan kedepan.. janji
ReplyDeleteini perjalanan imajiner ya berhubung tglnya masi didepan...
ReplyDeletekota kecil yang cantik ...
ReplyDeleteiya ya..sepakat..
ReplyDeleteini perjalanan imajiner ya Nduk...
sudah saya ralat :D
ReplyDelete