Cuacanya yang sebelumnya bersahabat mendadak menjadi sedikit muram. Gerimis tiba-tiba meyergap saat semangkuk bubur ayam tepat ditangan. Bubur ayam setengah porsi diseberang masjid agung tak kalah lezat meski sempat sedikit kecewa karena gagal menemukan bubur ayam Zaenal di daerah Kalektoran.
Setelah kenyang, perjalanan dilanjutkan dengan angkot jurusan 08 untuk kembali ke hotel. Sepuluh menit kemudian, Kang Kankan dan Zahwa (putri bungsunya) menjemput untuk bergerak ke sentra payung geulis di Indihiang Panyingkiran.
Geulisnya Payung Mak Cicih
7 Desember 2008
Mendung yang hadir saat itu membuat halaman rumah mak Cicih (82th) sepi dari puluhan payung-payung yang biasanya dijemur berjejer. Meski demikian, rasa kecewa mendadak terobati karena Mak Cicih, Warsono (menantu) dan seorang tetangganya tetap bekerja meski hujan mungkin datang. Payung-payung geulis yang terbentang cantik di bengkel kerja.
Mak Cicih, yang sejak usia belasan bekerja sebagai perajin payung, dengan telaten mengajari saya melukis bunga diatas kertas bubut berwarna coklat. Rumit meski awalnya terlihat sangat mudah. “Coba dulu Neng, pasti bisa”, katanya menyemangati.
Setelah Panyingkiran, saya mampir sejenak ke rumah Kang Kankan. Teh manis buatan Teh Santi menjadi obat kangen setelah sebelumnya terus-terusan minum teh tawar. Hatur Nuhun Teh, lain waktu saya kembali.
Satu hal yang menarik dari setiap perjalanan adalah spontanitas. Ketika sebuah rencana tiba-tiba ada didepan mata meski sebelumnya tidak ada didalam jadwal. Seperti ketika Kang Kankan mengusulkan untuk memotret Asrina, mojang priangan 2008 yang kebetulan sedang libur semesteran. Alhasil, terjadilah sesi pemotretan model dengan konsep Duo Geulis. Asrina vs Payung Mak Cicih.
Malam takbiran di Singaparna
7 Desember 2008
Senja mulai menampakkan diri saat saya menunggu angkutan ELF jurusan Singaparna di simpang Linggajaya. Singaparna adalah tempat transit untuk semalam sebelum berpindah ke Kampung Naga. Setelah menunggu beberapa saat, kendaraan yang ditunggupun datang. Cukup dengan 4500 rupiah, transportasi umum ini akan mengantarkan kita dari Tasikmalaya menuju Singaparna. Biaya yang 3X jauh lebih murah dibandingkan kisaran harga dari cerita seorang kawan.
Tepat sebelum adzan Magrib, saya sampai di hotel Dewi yang terletak di belakang pasar Singaparna. Ini adalah satu dari dua hotel yang tersedia di kota sejuta ojek ini selain hotel Dewi Asri. Bicara soal harga, hotel sederhana ini tergolong mahal, Rp.150.000/malam. Tapi yang menyenangkan adalah tersedianya banyak colokan listrik dan kamar mandi bergayung.
Bagi yang tak terbiasa jalan-jalan malam, mungkin akan sedikit deg-degan. Pasalnya, ojek motor dan calo bis jumlahnya sangat banyak dan menawarkan jasa secara bersamaan. Setiap jalan 100 meter, 6 ojek menghampiri saya.
Takbir berkumandang dan saling bersahutan. Pasalnya tepat di belakang tembok kamar terdapat 2 surau yang mulai riuh semenjak Isya. Sambil mencari makan malam, saya memutuskan untuk berkeliling kota menonton takbiran. Perkiraan saya meleset. Ternyata tidak ada takbiran keliling seperti di kampung saya. Warga masyarakat terutama anak-anak bertakbiran di surau/masjid.
Ini adalah takbiran pertama saya jauh dari keluarga. Telepon terus menerus berdering dari Ibu dengan suara sedikit bergetar. Beliau menanyakan kabar, bergantian dengan Bapak yang memastikan bahwa anaknya akan mengikuti sholat Idul Adha di esok paginya.
No comments:
Post a Comment