Thursday, October 28, 2010

Ilmu Cukup Mbah Maridjan

Tahun 2005, satu minggu sebelum Suran adalah kali kedua saya ke Kinahrejo. Sebelumnya saya mengunjungi Kinah saat hajad dalem labuhan alit di Merapi. Tetapi ini adalah kali pertama saya bertemu mbah Maridjan untuk keperluan wawancara peliputan Trulyjogja. Tugas peliputan utama sebenarnya ada di teman saya Dito Yuwono. Tetapi karena kendala bahasa jawa halus maka saya dan Titi diminta membantu.

Saat saya datang simbah sedang sholat di masjid Kinah. Sebelum kami datang ada sepasang suami istri yang juga menunggu Simbah.  Rupanya mereka meminta petunjuk simbah agar bisa segera punya momongan. “Kulo niku bodo, sanes dukun nopo wong pinter, ampun takon kaleh kulo,” ceritanya kemudian pada saya.

Saya pun memperkenalkan diri dan membawakannya foto beliau saat labuhan merapi. Baru lima menit kami bertemu, simbah sudah membuat kami tercengang dengan berhasil menebak agama yang kami anut. Rasanya seperti  sudah kenal lama. Beliau selalu berbicara dengan bahasa sanepan atau justru bahasa yang sangat sederhana. Simbah masih melanjutkan cerita tentang sepasang suami istri tadi. “Pengen duwe anak kok takon aku, kudune takon dokter,” katanya sambil tertawa. Simbahpun menganjurkan mereka untuk berdoa, mencoba dan pergi ke dokter.

Sebenarnya kami sedang mencari informasi soal kegiatan suran di lereng merapi. Maridjan mengatakan bahwa masyarakat Kinahrejo tidak memiliki ritual khusus setiap bulan muharam. Kalau ada yang melakukannya itu pasti orang luar Kinah. Simbah lalu bercerita tentang kesenian Sholawatan sambil kedua tangannya seolah-olah memainkan terbang (rebana).

Saat bercerita tentang tugas sebagai juru kunci Merapi, beliau menunjukkan serat kekancingan (surat pengangkatan) dari Kraton Yogya dengan mata berbinar. Ini adalah kebanggaannya sebagai abdi penewu sebagai amanat dari Ngarso Dalem HB IX. Saat itu gaji bulanan beliau baru saja naik dari Rp. 4,800 menjadi Rp. 6,300. Gaji bulanan itu diambilnya sendiri dengan berjalan kaki setiap 3 atau 4 bulan sekali. “Dirapel, mergane adoh,” jelasnya pendek.

Saya sempat membuat pertanyaan bodoh soal gaji yang diterima yaitu apakah gaji tersebut cukup menghidupi keluarga satu bulan. Simbah menjawab pertanyaan saya sambil tersenyum. “Manungsa nek dituruti ora tau cukup Nok, anane semono yo dicak’e, dicukup-cukupke,” ucap beliau.

Kami berbincang lama sampai pada saatnya harus pamit undur diri. Simbah lalu berdiri kemudian mengambil kemeja batik yang dikaitkan di paku cagak rumah. Kemeja lengan panjang warna coklat yang sudah memudar warnanya itu kemudian dipakainya sambil berkata “Monggo Kulo Ndherekke” kepada saya. Saya lalu menjelaskan bahwa kami membawa kendaraan yang diparkir dibawah. Simbah tetap bersikeras mau mengantarkan saya jalan kaki sambil menerangkan rute dari Kinah sampai rumah saya di Iromejan. “Nak Iromejan niku kidule Samirono to? Mengkih nyidat Karangmalang mawon,”jelasnya dengan bersemangat. Dan saya sekarang menyesali kenapa dulu menolaknya.

Sugeng Tindak, semoga ilmu cukup itu bisa saya lakukan.

Thursday, September 30, 2010

Revisiting Kanjeng Wir




Kanjeng Wir (I just call him Mbah Wir), 74 year old man still looks dashing and sprightly. He is the costume maker for 8 Solo’s soldier teams and serves Solo Palace for almost 48 years.



His first name is Sukarno. He has seven names before finally bears the name Kanjeng Raden Ario Tumenggung Wiranto Diningrat as his fifth title. This title is a trust from the Sinuhun Pakubuwono 12 (King of Solo) who appointed him as commander of the 189 soldiers. Due his illness, he didn’t visit Palace in this Ied Fitr.

Kanjeng Wir has three grandchildren from her the one and only daughter Retno Kusrini. The older one named Devy (17th) who willing to learn about culture from him. A request was said by her during my visit on the third day of Lebaran.



Endang Sadimi is the busiest person during Lebaran. Except preparing the house, she also must be quick to remind her husband to drink medicine, take a rest and choose recommended foods.

Loyalty as a Commander of the Soldiers put him on a big responsibility. Although he no longer able to come to Palace every day like a procession of Eid Fitr Grebeg, everyone can still learn by visiting him.

Solo, 12 September 2010. Trip with Wibowo Wibisono

Tuesday, August 10, 2010

Wish Me Luck




Ini kali pertama saya melalui Ramadhan jauh dari keluarga karena sedang bermain di Jakarta. Seperti gadis kecil yang bermain sendiri diantara puluhan balon warna - warni.

Tuesday, July 27, 2010

Belajar di Bantar Gebang




Sabtu dua minggu lalu saya, Yoppie dan Rian mengunjungi Sekolah Dasar (SD) Dinamika Indonesia, Kelurahan Ciketing Udik, Kecamatan Bantar Gebang, Kota Bekasi, Jawa Barat.



Di jalan besar dekat pos penjagaan Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang, kami bertemu dengan Nasrudin Mu’anis, Kepala Sekolah Dinamika. Saat itu beliau sedang dalam perjalanan berkendara mengurus surat pindah salah seorang anak muridnya.“Kami baru seminggu ini pindah mbak, gedung sekolahnya baru tak jauh dari sini. Silahkan masuk nanti saya susul, “ ucap pak Nas sedikit samar karena memakai masker sapu tangan. Setelah melewati pemukiman warga yang berprofesi sebagai pemulung, akhirnya kami menemukan bangunan 2 lantai bercat warna putih ungu donasi sebuah lembaga swadaya masyarakat asing. Bau menyengat perlahan memudar.

Kami disambut Bu Rini yang dengan sangat bersemangat bercerita tentang gedung barunya. Diharapkan nantinya kegiatan belajar tidak dilaksanakan secara bergiliran seperti beberapa saat yang lalu ketika menempati bangunan lama dengan 2 ruangan kelas.



Meski demikian, masih banyak hal yang diperlukan untuk sekolah ini. Selain tenaga pengajar yang hanya berjumlah 5 orang, sarana belajar dan mengajar belum lengkap. Meja dan kursi baru tersedia untuk kelas 1 dan 4 dari 6 kelas yang ada. Ketersediaan atas buku ajar pun masih memprihatinkan. Satu buku ajar dipakai setidaknya oleh 3 sampai 4 anak. Tidak heran bila mereka terbiasa menulis dengan posisi buku miring 90 derajat dan belajar ala lesehan. Miris mendengar seorang murid perempuan mengeluh dadanya sakit setelah terlalu lama terkurap saat mengerjakan tugas IPS. Inilah salah satu potret pendidikan Indonesia.

Thursday, July 8, 2010

Jakarta [Dalam Tiga Purnama]




Sudah hampir 4 purnama saya di Jakarta. Menempati sebuah ruang mini di bilangan Karet yang kata seorang teman mirip kandang merpati. Saya menyebutnya Karet Permai. Selain 12 kucing yang memang diberi minum susu bendera oleh Mbak tetangga kos saya, setiap hari setidaknya ada 2 kali fashion show diatas genteng kamar seberang. Peragawan dan peragawatinya adalah 3 ekor musang awalnya ditenggarai bapak, ibu dan anak.



Purnama kedua lalu saya membuka pintu dan melihat purnama. Bulannya sedikit samar karena efek udara yang kurang bagus, hawa panas seminggu terakhir dan tentu saya filter UV pada lensa. Sedikit berbeda dengan kebiasaan saya di Jogja yang melihatnya dari sumur belakang rumah atau menyelinap di resto Candi Prambanan.



Meski tidak ada keluarga, disini saya punya banyak sahabat, teman dan saudara baru. Mereka bergantian mengajak jalan-jalan ke kawasan Kota, Sunda Kelapa, Museum dan beberapa tempat lainnya. Menikmati aroma khas bus Transjakarta dengan pemandangan umum kabel-kabel earphone yang menempel di telinga atau sekedar menumpang Bajaj yang ngebutnya luar biasa. Temani saya bermain di Jakarta !

Tuesday, June 15, 2010

Lengger diatas Sukuh




Cahwati & Widya Ayu meliuk disamping sebuah dolmen berbentuk kura-kura. Sedetik kemudian sampurnya terlempar seiring dengan gerakan kaki yang rancak dan goyangan pinggulnya yang sensual. Sebagai penampil kedua, Cahwati dan kelompok Pring Sereret miliknya berhasil mengundang perhatian banyak orang. Grup ini berjumlah 5 orang yang terdiri dari 2 orang penari, seorang sinden dan 2 orang pemusik. Dengan kostum warna merah, keduanya menari koreografi berjudul Senggote dengan penuh semangat.



Selintas seolah biasa-biasa saja saat Srawung Candi digelar tanggal 1 Januari 2010 lalu. Tetapi ada satu hal istimewa tatkala 2 hal yang sama-sama terstigma bertemu. Hal istimewa tersebut adalah pementasan Lengger di pelataran Candi Sukuh Karanganyar Jawa Tengah.

Ini adalah kali pertama saya mengunjungi Candi Sukuh. Terletak di dusun Sukuh desa Berjo Kecamatan Ngargoyoso Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, Sukuh adalah candi Hindu peninggalan Brawijaya VII. Oleh beberapa orang yang kurang paham, Candi ini kerap pula disebut sebagai candi porno hanya karena memiliki visualisasi lingga dan yoni yang sangat jelas. Dalam wikipedia sekalipun, tertulis bahwa Sukuh digolongkan sebagai candi kontroversial karena bentuknya yang kurang lazim dan karena banyaknya obyek-obyek lingga dan yoni yang melambangkan seksualitas.



Hal yang sama terjadi pula pada kesenian Lengger dari Banyumas. Dalam tulisan Surahmat, penggiat Komunitas Nawaksara di Kompas pada 20 Oktober 2009, tarian ini kemudian dicitrakan sebagai kesenian yang kuno, kaku dan erotis. Selain stigma porno, stigma PKIpun juga sempat melekat pada tarian yang awalnya dipentaskan untuk acara pasca panen.



Selain pentas Pring Sereret, deretan seniman dari beberapa kota besar di Indonesia dan luar negeri turut ambil bagian. Pentas pertama adalah konsep tarian bertajuk Dewi Uma. Pentas lain yang juga mencuri perhatian adalah suguhan tarian dari Dayak Kalimantan Barat. Tiga penari berkostum lengkap dengan bulu-bulu ekor bulu Enggang menari di puncak Candi Sukuh. Gerakan ritmisnya semakin mempesona saat gerimis mulai turun.

Ingin ke Sukuh dan Cetho?

Dengan transportasi umum, dari Yogyakarta Sukuh dapat ditempuh dengan menumpang Kereta Prameks jurusan Solo Balapan. Dari Stasiun Solo Balapan Lama saya mengambil jalan belakang stasiun menembus kampung tepat di belakang Terminal Tirtonadi. Hanya 10 menit dengan berjalan kaki. Bila bepergian pagi, direkomendasikan untuk menikmati nasi rames Bu Nah di kios ujung terminal Tirtonadi. Ketika perut sudah terisi, bus dua pintu jurusan Tawangmangu telah menanti. Bus ini adalah bus pertama yang hanya mengantarkan kita menuju terminal kecil Karangpandan. Ada baiknya untuk tidak langsung mencari bus kedua jurusan Kemuning karena pasar unggas Karangpandan samping terminal juga menarik didokumentasikan.

Apabila tujuan pertama adalah candi Sukuh, desa Nglorog adalah pemberhentian yang paling tepat. Tapi bila Cetho yang diprioritaskan, berhentilan di Terminal Kemuning. Didua tempat tersebut, deretan ojek siap mengantar kita menuju lokasi candi dengan jalan yang menanjak. 2 kilo untuk Sukuh dengan pemandangan pepohonan Cengkeh yang menua dan 8 kilo untuk Cetho dengan pemandangan perbukitan teh Kemuning di dusun Jenawi.

Mengakhiri hari disarankan untuk menyantap segelas teh gardhoe yang merupakan olehan dari pucuk daun teh Kemuning. Teh yang bening dengan rasa sepet ini cocok menemani sepiring nasi Tumpang khas Karanganyar. Kami menemukannya di warung pojok Nglorog.

Berapa anggaran yang harus disediakan?

Prameks PP : Rp. 16.000
Bus Jurusan Tawangmangu (Tirtonadi – Karangpandan) PP : Rp. 14.000
Bus Jurusan Kemuning (Karangpandan – Nglorog) PP : Rp. 5.000
Ojek Nglorog – Sukuh : Rp. 5.000
Ojek Sukuh – Cetho PP : Rp. 50.000

Monday, June 14, 2010

Pandol; Sembrono Pari Keno ala Gandrik




Siapa yang tak kenal duo seniman kakak beradik bernama Butet Kartarejasa dan Djaduk Ferianto? Bagi publik Jogjakarta, dua nama ini menjadi jaminan berjubelnya penonton dan riuhnya pentas dengan guyon sembrono pari keno. Canda khas yang serba spontan dan membuat seisi Taman Budaya Yogyakarta tertawa lepas.

Dua pekan silam mereka dengan bendera Gandrik kembali berkolaborasi dalam satu panggung membawakan pentas berjudul Pandol (Panti Idola). Ini adalah pementasan kedua setelah Jakarta yang sukses membuat penonton antri masuk gedung pertunjukan. Sebuah cerita yang mengangkat isu politik di Indonesia lengkap dengan sindiran cerdas karya Heru Kesawa Murti.



Pandol dibuka dengan joget dan parikan Ludruk khas ala Jawa Timuran. Sampur warna-warni mengembang dari badan para pemain yang berjumlah 22 orang. Deretan pemain muda seperti Broto Wijayanto, Very Ludiyanto, Cilik Tri Pamungkas dan sejumlah nama lain memberikan warna tersendiri. Pemain senior seperti Susilo Nugroho, Whani Dharmawan dan Sepnu Heryanto juga tetap bermain apik.

Adalah Bupati Kotabulus (Butet K) yang membangun Panti Perawatan Mental Korban Korupsi di wilayahnya. Panti itu kemudian lebih dikenal sebagai Panti Idola atau PAN-DOL. Pandol adalah pembudayaan baru Bupati bahwa korupsi hanya bisa dilawan oleh para korban korupsi.



Digambarkan bahwa di Kotabulus praktek korupsi telah merajalela. Sampai-sampai dua orang anggota Dewan Perwakilan Daerah Owel (Whani Darmawan) dan Maekani secara terang-terangan melakukan praktek jual-beli Peraturan Daerah. “Perda-perda..DAU, siapa mau pesan?” teriak mereka bersahutan persis para perdagangan air mineral di terminal-terminal.



Pandol membuat Bupati Kotabulus memperoleh Penghargaan Nasional dari Presiden karena kinerjanya telah diakui dunia sebagai obat ampuh pemberantasan korupsi. 50 kasus korupsi berkurang setiap tahunnya. Semakin banyak orang yang bermasalahan dengan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan ingin masuk Pandol dan menyebut dirinya sebagai korban korupsi.

Di lain pihak, tersebutlah Palaran (Susilo Nugroho) dan Hasrat (Sepnu Heryanto) dua pemeriksa dari Panita Pemberantasan Korupsi yang dengan bersemangat mencecar dua Kepala Dinas, Masgul dan Aleman. Masgul dan Aleman selama ini bersama Dinas lainnya memberikan dukungan anggaran luar biasa banyaknya per tahun kepada PAN-DOL atas perintah Bupati. Direktur Pandol, Sirahe Sigar semakin memperkuat dugaan korupsi ini.



Namun seperti kenyataan yang terjadi di Indonesia, Aparatus Kabupaten Kota Bulus segera bertindak cepat untuk menutupi praktek koruspsi dengan membuat peraturan baru. Bupati Kotabulus telah berhasil mensahkan Peraturan Daerah, mengangkat Direktur Pandol untuk menjadi Kepala Badan Pengawasan Kabupaten, serta menempatkan Panita Pemberantasan Korupsi sebagai unit terkecil di bawah Bidang Pengawasan Internal, Badan Pengawasan Kabupaten.

Taman Budaya Yogyakarta, 4 Juni 2010

Thursday, June 10, 2010

Lasem; Sebuah Perjumpaan Kedua




Setelah 15 jam perjalanan dari Jakarta, kami tiba di Lasem tepat pukul setengah enam pagi. Kami berhenti tepat di pertigaan Masjid Agung Lasem dan langsung diserbu enam orang pengemudi ojek. Tiga orang teman saya yang lain satu persatu menyingkir. Tinggalah saya seorang diri yang berjuang menawar harga untuk perjalanan menuju desa Sendangcoyo, mengejar puja bahkti yang setengah jam lagi akan dimulai. Harga pun disepakati, limabelas ribu untuk satu motor dan satu penumpang. Setidaknya ini lebih manusiawi ketimbang satu motor dua penumpang dengan harga duapuluh ribu, seperti penawaran sebelumnya.



Mas Wibi, Mas Andi dan Mas Ivan melesat dengan cepat sementara saya ada diurutan paling belakang, menunggu si Bapak Ojek memakai sapu tangan merahnya sebagai pelindung muka. Kami melewati pemukiman penduduk dengan rumah-rumah teduh dan areal perkebunan sekaligus penambangan batu. Jalan pintas yang sempat membuat cemas.



Akhirnya kami sampai di Vihara Ratanavana Arama dan berkumpul dengan pemeluk Budha dari petinggen Sentulsalak Kecamatan Kluwak Pati Jawa Tengah. Dengan menumpang 3 bis yang dicarter secara berkelompok, mereka secara rutin beribadah puja bhakti setiap perayaan Waisak, ritual sederhana yang khusuk dan sarat makna. Sebuah keheningan di perbukitan kapur pesisir pantai utara yang diakhiri dengan ziarah di Candi Sudhammo Mahathera.

Wednesday, May 5, 2010

Friday, April 23, 2010

Goes to Bandung dengan Kereta Parahyangan di Minggu Terakhirnya

Start:     Apr 24, '10 08:00a
End:     Apr 25, '10
Location:     Bandung
Saya mau jalan-jalan ke Bandung dengan kereta Parahyangan yang per tanggal 27 April 2010 akan dihentikan operasionalnya. Berencana menikmati Braga dan Asia Afrika serta mampir di resto klasik Sumber Hidangan.
Bagi yang mau bergabung, silahkan ke Gambir besok jam 8 pagi.

Sunday, April 11, 2010

Suasana Jogja




Saat mata dimanja oleh rasa. Spot ini adalah salah satu tempat favorit saya yang membuat kesetiaan menunggu moment tepat ditengah pembatas jalan. Jogja, tunggu saya minggu depan.

Thursday, April 8, 2010

Kangen Rumah

Ini malam kedua saya di Palangkaraya ketika saya menulis jurnal ini. Mak bedunduk, jari – jari ini lincah. Mumpung juga ada wifi ngratis di lobby yang ternyata penuh para cukong berkalung emas. Asap ngebul dimana - mana. Bulek.

Ternyata sudah hampir seminggu saya ada di Jakarta. Bohong kalau saya tidak berat meninggalkan Jogja yang membuat saya jadi selebritis keluarga. Bagaimanapun Jogja tetap primadona, saya kan hanya nunut ngiyup di Ibukota. Saya akan seperti setrika. Wira - wiri.

Malam sebelum besok siangnya saya resmi pindahan, Bapak menemani saya ke Gamelan 18 sekaligus pamitan dengan Pak Pardjo. Beberapa hari sebelumnya saya masih berputar-putar, menelusur yang belum sempat terjamah. Sebuah perjalanan yang menyenangkan sekaligus mengharukan.

Monday, February 8, 2010

Mantel Kuda; Ide Kecil untuk Ksatria Penarik Kereta

Satu minggu yang lalu, kami melewati malioboro sesaat setelah hujan. Seperti biasa dari ujung teteg sepur Sarkem sampai depan Ngejaman, kami mengitung banyaknya kuda. Kalau sedang ramai, hitungan akan berhenti di bilangan belasan. Tetapi bila sedang sepi hampir tiga puluh andong berjajar rapat. Lebih spesifik lagi, warna juga kami perhatikan, apakah hitam pekat, coklat susu atau plonko si belang. Kami akan berteriak bila ada yg 'teji' alias gagah perkasa ataupun kurus dengan mata sayunya.

Sisa hujan deras ternyata masih membekas. Terpal-terpal plastik belum digulung para pedagang kaki lima dan para bapak becakpun masih meringkuk didalam rumah keongnya. Semuanya terlihat aman.

Namun, kuda-kuda yang kami hitung satu persatu itu terlihat kuyu. Beberapa menggenakan mantel kuda sebatas punggung. Selebihnya tidak. Tampak bertahan menahan dingin yang mengigit.

Spontan, ide pun terlontar. Sebuah proyek sosial untuk membuatkan mantel layak buat Srikandi dan teman-temannya. Kebanyakan kuda yang dipakai menarik andong adalah berjenis kelamin betina. Meski sedikit andong juga menggunakan kuda jantan.

Hari ini ide ini kami tawarkan pada seorang kusir di sebelah barat DPRD. Pita ukurpun turut dibawa serta. Namun sayang, bapak Kusir menolak dengan halus. "Mboten mawon, mangkeh ndak aleman, nganyih-anyih," kata pak Kusir. (Tidak usah saja, nanti kuda menjadi manja -red).

Lalu si Bapak menjelaskan kebiasaannya pada sang kuda bila sehabis hujan mengguyur badan. Air panas akan segera direbus untuk memandikan si penarik kereta.

Kami masih mau mencoba lagi. Mencari pak Kusir lain yang mungkin berminat pada mantel layak buat kuda, ksatria penarik kereta.

Gorila Gang Buntu




Dulu, sedikit orang yang melirik aktivitas belasan laki-laki remaja dan dewasa bertubuh kekar dari Gang Buntu di Gorilla Power Barbel Club. Mendadak gang kecil di kawasan pecinan Semarang ini menjadi buah bibir dan membuat penasaran orang tak terkecuali binaragawan dan selebriti ibukota Ade Rai. Sebuah potret kreatifitas dari sekelompok orang yang memodifikasi besi-besi bekas dan alat sederhana menjadi piranti fitness, meski hanya di depan emper garasi.

Kisah ini berawal dari sejumlah potret dari seorang fotografer koran nasional yang kemudian menginspirasi 2 orang mahasiswa Universitas Diponegoro bernama Rio Harindra dan Bambang Rahmanto. 2 sahabat lalu mengikutsertakan ide cerita tentang kelompok olahraga ini ke ajang film dokumenter Eagle Awards 2009. Tak dinyana, film yang kemudian diberi judul Gorila dari Gang Buntu ini meraih anugerah sebagai film terbaik.

Setiap harinya, tempat fitness ini akan ramai pada pagi dan sore hari. Belasan laki-laki remaja dan dewasa berkumpul dua kali sehari setiap pukul sembilan pagi dan empat sore. Diluar jadwal tersebut, anggota pun tetap bisa berlatih dan berolahraga. “Syaratnya gampang, tinggal ambil dan mengembalikan alat pada tempatnya,” ujar pak Kardi sang penggagas.

Berbeda dengan tempat fitness kebanyakan, Gorilla Power Barbel Club memasang tarif sukarela. Biaya operasional untuk perbaikan alat dan air minum diperoleh dari sebuah kotak kayu kecil yang menampung uang recehan dan pecahan seribuan. “Kalau ada duit ya masukin, kalau ndak ada yang lain waktu nunggu rejeki,” jelas salah seorang anggota yang berprofesi sebagai pengemudi becak. Mayoritas anggota tempat fitness ini adalah mereka dengan ekonomi menengah kebawah seperti kuli angkut, pengemudi becak, pendagang dan pekerja kasar.

Agus, seorang penjual makanan mengaku bahwa keterbatasanlah yang mendorong mereka untuk kreatif. Mereka memanfaatkan aneka barang-barang bekas sebagai alat-alat fitness. Agus juga mejelaskan bahwa terdapat kebiasaan yang tak tertulis bahwa anggota senior harus memberikan pendampingan dan arahan kepada anggota baru. ”Kami pengen sehat dengan cara yang murah tapi tetap aman,” jelasnya.

Monday, January 25, 2010

Terbang Perdana




Perjalanan pulang dari Surabaya ke Jogja kemarin adalah penerbangan perdana bagi Nadia dan Daffa. Tetapi sekarang justru lebih memilih naik "sepur" yang menurut mereka tidak membuat takut saat terbang dan mendarat.

Nadia memang sudah tampak pucat sejak kami meninggalkan Ngagel Wasana. Maklum, dikeluarga kami terbagi menjadi 2 kelompok besar yaitu yang "mabuk" kendaraan dan yang tidak. Jangankan AC, bahkan Ibuk pun bisa seketika pusing saat bau parfum dari pintu mobil yang terbuka. Untungnya saya masuk golongan yang kedua.

"Mbak iki pesawate wis mabur ?" tanyanya berulang-ulang. Daffa duduk di samping jendela, Nadia di tengah dan Mbak Aning duduk di samping gang. Ia sempat membuat seisi pesawat tergelak karena salah membaca doa. Doa mau makan yang dibacanya. Dan saat lampu dimatikan dan pesawat benar-benar terbang Daffa pun terdiam. Pucat sampai akhirnya dua-duanya tertidur dengan tangan saling tergenggam.

J569, 9 November 2009

Friday, January 15, 2010

Arif si Penggembala




Namanya Arif, murid kelas 5 SD yang kemarin menemani neneknya menggembala kambing. Seorang anak laki-laki pemalu. Saya dan Mashoeroel Np bertemu dengannya di Candi Abang Sabtu (9/01/10) lalu. Diatas bukit Candi Abang dan gerimis kecil (kremun dalam bahasa Jawa -red) kami berbincang. Cerita tentang rapor semesteran dan pelajaran bahasa inggris yang paling sulit menurutnya.