Tahun 2005, satu minggu sebelum Suran adalah kali kedua saya ke Kinahrejo. Sebelumnya saya mengunjungi Kinah saat hajad dalem labuhan alit di Merapi. Tetapi ini adalah kali pertama saya bertemu mbah Maridjan untuk keperluan wawancara peliputan Trulyjogja. Tugas peliputan utama sebenarnya ada di teman saya Dito Yuwono. Tetapi karena kendala bahasa jawa halus maka saya dan Titi diminta membantu.
Saat saya datang simbah sedang sholat di masjid Kinah. Sebelum kami datang ada sepasang suami istri yang juga menunggu Simbah. Rupanya mereka meminta petunjuk simbah agar bisa segera punya momongan. “Kulo niku bodo, sanes dukun nopo wong pinter, ampun takon kaleh kulo,” ceritanya kemudian pada saya.
Saya pun memperkenalkan diri dan membawakannya foto beliau saat labuhan merapi. Baru lima menit kami bertemu, simbah sudah membuat kami tercengang dengan berhasil menebak agama yang kami anut. Rasanya seperti sudah kenal lama. Beliau selalu berbicara dengan bahasa sanepan atau justru bahasa yang sangat sederhana. Simbah masih melanjutkan cerita tentang sepasang suami istri tadi. “Pengen duwe anak kok takon aku, kudune takon dokter,” katanya sambil tertawa. Simbahpun menganjurkan mereka untuk berdoa, mencoba dan pergi ke dokter.
Sebenarnya kami sedang mencari informasi soal kegiatan suran di lereng merapi. Maridjan mengatakan bahwa masyarakat Kinahrejo tidak memiliki ritual khusus setiap bulan muharam. Kalau ada yang melakukannya itu pasti orang luar Kinah. Simbah lalu bercerita tentang kesenian Sholawatan sambil kedua tangannya seolah-olah memainkan terbang (rebana).
Saat bercerita tentang tugas sebagai juru kunci Merapi, beliau menunjukkan serat kekancingan (surat pengangkatan) dari Kraton Yogya dengan mata berbinar. Ini adalah kebanggaannya sebagai abdi penewu sebagai amanat dari Ngarso Dalem HB IX. Saat itu gaji bulanan beliau baru saja naik dari Rp. 4,800 menjadi Rp. 6,300. Gaji bulanan itu diambilnya sendiri dengan berjalan kaki setiap 3 atau 4 bulan sekali. “Dirapel, mergane adoh,” jelasnya pendek.
Saya sempat membuat pertanyaan bodoh soal gaji yang diterima yaitu apakah gaji tersebut cukup menghidupi keluarga satu bulan. Simbah menjawab pertanyaan saya sambil tersenyum. “Manungsa nek dituruti ora tau cukup Nok, anane semono yo dicak’e, dicukup-cukupke,” ucap beliau.
Kami berbincang lama sampai pada saatnya harus pamit undur diri. Simbah lalu berdiri kemudian mengambil kemeja batik yang dikaitkan di paku cagak rumah. Kemeja lengan panjang warna coklat yang sudah memudar warnanya itu kemudian dipakainya sambil berkata “Monggo Kulo Ndherekke” kepada saya. Saya lalu menjelaskan bahwa kami membawa kendaraan yang diparkir dibawah. Simbah tetap bersikeras mau mengantarkan saya jalan kaki sambil menerangkan rute dari Kinah sampai rumah saya di Iromejan. “Nak Iromejan niku kidule Samirono to? Mengkih nyidat Karangmalang mawon,”jelasnya dengan bersemangat. Dan saya sekarang menyesali kenapa dulu menolaknya.
Sugeng Tindak, semoga ilmu cukup itu bisa saya lakukan.