Thursday, November 29, 2007

Cuti Hamil; sebuah dialog penuh emosi

06 November 2007, pada malam terakhir di sebuah pameran computer terbesar di jogja expo center.

 

Seorang kawan lama      : Fitri ya?

Saya                             : Hey, iya kawan lama. Apa kabar?

Seorang kawan lama      : Baik, sudah selesai kuliahnya?

Saya                             : Belum, masih kuliah..

 

Erghh, kenapa sih selalu pertanyaan standar ini  yang muncul ? Apa nggak ada pertanyaan yang lebih kreatif lagi ya? Atau bisa jadi pola pertanyaan ini sudah terlanjur mendarah daging dan mengurat syaraf.

 

Tenanglah Fitri, tetaplah menjawab dengan jujur dan tersenyum. Bukankan kau sudah melalui fase sensi ? Dan dialogpun berlanjut.

 

Seorang kawan lama   : Masih kuliah? Kok? (dengan wajah tak jelas, mata penuh selidik)           

Saya lagi                      : Iya. Aku masih kuliah. Belum lulus. Sedang cuti dan belum sarjana. (seingat saya, wajah saya waktu menjawab dengan ikhlas )

Seorang kawan lama      : Cuti ? (dengan nada melengking)

Saya                             : Iya, cuti.

Seorang kawan lama      : Hamil ya ? (dengan nada penuh keyakinan)

 

Tenang dan sabarlah Fitri. Tetaplah menjawab dengan jujur dan kembali tersenyum. Tenang, tubuhmu ini juga nggak seperti orang hamil kok. Lantas apanya yang salah ya?

 

Saya                             : Oh, bukan. (tiba-tiba dipotong)

Seorang kawan lama     : Ah, ngaku aja, pasti hamil ya ? (dengan volume dan nada semakin melengking)

 

Walah, tenan to..ada perulangan. Alhasil, tak sedikit yang menoleh. Rupanya, kata-kata ini tetap earcatching ditengah-tengah bisingnya ruang pameran. Pertanyaannya membuat saya semakin yakin bahwa perempuan ini sama sekali tidak kreatif. Pola pikirnya persis seperti sinetron remaja indonesia. Sempit sekali.

 

Ayo, perjelas semuanya. Jawablah dengan cerdas. Bila harus keluar, maka keluarkanlah emosi secara perlahan.

 

Saya                              : Sori ya, tebakannya salah. Aku nggak hamil. Tapi kerja.

Seorang kawan lama      : Lha terus ngapain kok pake cuti? Kerja apa? (wajah dengan mosi tak percaya).

 

Nada suaranya masih nggak menggenakkan. Marai kupingku risi. Apakah perlu dijelaskan semuanya? Ah, meski sebenarnya saya jarang bercerita tentang pekerjaan. Bagi saya, kerja bukanlah konsumsi publik. Takut takabur. Tapi, ini beda. Dia keterlaluan. Terlalu monoton. Iki ra iso nek ming dinengke wae.

 

Saya                             : Iya, saya kerja. Jam kerjanya Senin sampai Jumat. Jadi, memang harus cuti. Jadi sekarang kuliahnya leren dulu. (penjelasan kecil dengan informasi padat).

Seorang kawan lama      : Oh.

 

Aneh. Jawabannya pendek sekali. Cuma Oh. Padahal tadi dia sangat berapi-api. Seperti mercon rentengannya si Daffa. Nyalanya awalnya memang meyakinkan, namun sejurus lalu lerem dan mak klekep. Mungkinkah bukan jalaban itu yang diinginkan? Ah jangan suudzon, Tapi, tetap saja puas. SATU KOSONG. Kecele ya? Makanya jangan clemongan. Tidak semua orang cuti kuliah itu terus diasumsikan hamil.

 

07 November 2007, di tangga cantor. Asap marahnya masih bersisa. Agni, kawan kantor malah berkata beda ketika dia tahu ceritanya.

 

Agni                             : Nek aku jadi kamu meh tak jawab gini: Iya, ini malah yang kedua. Yang pertama, sudah jadi tapi diilangin dulu. Gitu Fit !

Saya                             : Walah, kok malah golek perkoro anyar to mas ?

Agni                             : Dijamin enggak, Malah pasti dia yang justru akan kisinan. Asal kita bener, bohong sisan ra masalah. Sirik jangan dilawan emosi.

Saya                             : Haha.. bener juga ya. Iya deh, besok tak jajale.

 

 

Monday, November 26, 2007

Sunday, November 25, 2007

Boyolali Coret; Road to Rowo Pening to Rowo Seneng

Jadwal semula, sesuai rembungan singkat lewat sms berantai, saya hendak ke  Tlatar menyambung ke Rowo Seneng. Pertama adalah objek wisata air yang sedang naik daun di Boyolali.  Kemudian akan disusul dengan wisata peternakan di kandang sapi perah, minum susu segar, makan bebek Pengging (bukan bebek Peking lho !), soto rumput dan ngojek cikar. Kedua, adalah area pasturan yang terkenal dengan keju handmadenya.

 

Judul besar jalan-jalannya adalah wisata kolesterol. Padahal tidak ada satupun dari anggota rombongan yang butuh program penggemukan badan. Tiga pria yang ikut, Irawan, Hendri dan Pak Sabar juga tidak bisa dibilang kurus. Malah berpontensi punya tas pinggang di depan. Dua mbakyu saya, Tyas dan Dewi malah justru harus diet. Apalagi saya, yang akhir-akhir ini selalu ribut milih baju sebelum berangkat kerja. Maklum hanya 1 dari 4 celana jeans saya yang muat.

 

Tentang jalan dan rute, awalnya kami sedikit lega, ada dua putra daerah Bajul Kesupen dalam rombongan. Setidaknya bisa meminimalisir acara kesasar dan kelangan enggok alias kehilangan arah. Meski demikian, kadang saya sering mensyukuri ritual tersebut. Tak jarang saya menjadi tahu atas hal diluar rencana. Dan hal ini juga terjadi diperjalanan ini. Kami urung ke Tlalar dan salah arah untuk Rowo Seneng. (Semula kami mengira lokasinya ada di Salatiga, padahal ada di Temanggung).

 

 

10.35, Sego Tumpang Mbok Nah, Jln. Raya Ampel Boyolali

 

Piknik kali ini dibuka dengan menu Sego Tumpang. Ini adalah warung favoritnya seorang kawan dan bundanya. ”Ini sego tumpang paling enak, yang di utara kantor itu nggak ada apa-apanya”, ujarnya berpromosi. ”Cincai lah, saya percaya, mari merapat Pak Sabar !” begitu kata saya. Berhubung jam makannya nanggung ( disebut sarapan sudah lewat, dimaksud makan siang juga enggak tepat), saya pesan nasi tumpang tanpa nasi.. Aneh ya?

 

Setelah menunggu 5 menit, terhidang didepan saya pecel tumpang. Pecelnya adalah kombinasi dua macam sayuran, yaitu daun pepaya dan adas pulowaras dengan sambal tempe semangit (tempe yang sangat matang dan berbau) dengan warna coklat abu-abu. Diatasnya ada 3 lauk yakni empal bacem yang diiris tipis, perkedel kentang sebesar telur ayam kampung dan tahu magel berbentuk segitiga. Tak lupa diatasnya ada taburan srundeng dan kerupuk legendar. Paket komplit ini seharga 6000 rupiah. 

 

Awalnya saya sangat bersemangat, seperti teman-teman saya yang memang penyuka sayuran. Tapi lidah saya tak begitu cocok dengan sambal tumpangnya dan rasa tajam daun adas. Jadi, seperti biasanya, hanya lauk dan sedikit daun pepaya yang sama sekali tidak pahit yang terlahap. Nyuwun sewu, terpaksa makanan kali ini tidak habis.

 

10.50, Waluh Tengaran

 

”Beli pumpkin ya, ntn dibuat sop dan makan bareng-bareng”, kata Mbak Tyas sesaat setelah mobil memasuki daerah Tengaran. Ternyata, selain penghasil pepaya, wilayah Boyolali ke Salatiga adalah surga penggemar labu atau waluh. Disepanjang jalan banyak ditemui kios kecil dan rumah yang menjajakan labu, pepaya dan timun suri. Kami berhenti di kios terbesar dengan waluh-waluh raksasa. Soal harga, waluh tergolong buah sayuran yang murah. Buah waluh berukuran mediun yang kami beli dibanderol harga 15 ribu rupiah.

 

11.25, Petapaan Gedono Salatiga

Awalnya, perkiraan kami petapaan Gedono ini adalah entry gate menuju Rowo Seneng. Setelah mobil berjalan hampir 10 kilo, 6 kali berhenti bertanya, 2 kali telepon teman, kami yakin 100% bahwa kami salah jalan.

Halah, meski salah saya tetap bangga. Tak perlu getun atau menyesal. Kenapa? Diperhentian ke 6, saya bertemu dengan Ibu Sutini, petani alpukat mentega dan 2 gadis kecil Gedono. Sayang, lagi lagi saya lupa bertanya nama. Satu hal yang saya tahu mereka ramah dan rambutnya merah. Tapi yang jelas, mereka tampak sumringah ketika saya perlihatkan preview foto mereka dari layar LCD kamera. Dan saya juga cukup puas meski hanya mengintip area pertapaan Gedono yang saat itu tutup untuk umum. Desainnya unik dengan kapel di atas bukit.

 

12.30, Bukit Cinta Rowo Pening Ambarawa

Rencana kembali diatur. Kami tetap akan ke Rowo Seneng. Sesuai rute di peta wasiat saya, kami akan melewati Ambarawa. Tak ada salahnya untuk mampir di Bukit Cinta Rowo Pening. Bersua dengan petani enceng gondok yang siang itu sedang panen.

 

13.12, Jajan Serabi Nangka  

Sebenarnya ada 2 aktivitas. Jajan serabi dan jajan nangka. Dulu, 10 tahun yang  lalu, Serabi Nangka adalah penganan terkenal di jalan Magelang Ambarawa. Tapi serabi yang sekarang jauh lebih sederhana. Tidak ada lagi nangka dan daun pandan, tetapi berganti dengan pewarna makanan. Meski demikian setangkup serabi polos dengan santan gula jawa seharaga 1500 rupiah telah mengobati kerinduan kami.

 

14.00, Losari Coffee Plantation Magelang

Dari dulu saya pengen kesini. Mencicip kopi di resort perbatasan Magelang Salatiga yang pernah diinapi pak SBY beberapa waktu lalu. Seenak apa sih kopinya? Maklum, saya dulu adalah coffee addict, yang selalu ngopi saban subuh.

 

Losari, bagi saya tempat ini penuh misteri. Pertama karena ada peraturan bahwa tamu tidak diperkenankan memotret. ”Hmm..dari dulu ya, tapi kok Pak SBY boleh foto” ? tanya saya dengan nada protes kepada seorang karyawan.  Huh, ini nggak adil !!!

 

Kedua, kenapa harganya kelewat mahal? Mata kami saling beradu begitu melihat daftar menu yang disodorkan dimeja. ”Untung saja, Ibu saya tidak ikut”, bisik saya kepada mbak Tyas. Sudah pasti beliau akan kaget, kamitenggengen dan langsung mengajak pergi setelah melihat harga di daftar menunya.

 

Untung saja, perut belum lapar. Kami hanya mengorder 5 cangkir Kopi Losari, segelas Sorbet Lemon Mint dan segelas Kawista Soda. Sebelumnya mbak Tyas hampir saja memesan lumpia. Tapi batal setelah saya berargumen bahwa 65 ribu rupiah plus PPN 10% adalah harga yang tidak wajar untuk 2 pcs lumpia.

 

 

Hutan Pinus Kandangan

Saya mengalami dejavu.. seperti di Lembang. Pohon-pohon pinus nan ramping dan menjulang. Bau getahnya masih tajam. Ah, saatnya berfoto ala film india. Saling berlindung dan mengintip dibalik batang pohonnya.

 

17.00, Pertapaan St. Maria Rowo Seneng

Harus bergerak cepat. Sebentar lagi akan ada misa. Untung ada penjaga yang masih bersedia melayani di koperasi kecilnya. Semuanya produksi sendiri oleh para frater. Ada Kastengel, Katetong Keju dan Roti Pisang Keju. Ia pun memperbolehkan kami masuk untuk menyapa sapi-sapi perah mereka. Ada Monika, Veronika dan Bambang. (Nama yang terakhir sebentar lagi akan berganti menjadi Bartholomeus menyusul diberikannya nama permandian)

 

19.00, Magelang

Saatnya makan malam. Chinnese Food di Larahati jalan Tentara Pelajar Magelang adalah paling tepat. Loo mie, cumi saus mentega dan sup bakso rambutan. Want to try?

Thursday, November 22, 2007

menjemput rejeki






suatu saat aku tergagap, melihat mereka lebih sigap

Road to Boyolali

Start:     Nov 24, '07 9:00p
Location:     Boyolali dan seterusnya...
Bebek Bakar, Susu Sapi, Wisata Air Tlatar, Mancing, Dokar, Pengging, ...apalagi yak?

Wednesday, November 21, 2007

Nostalgila with Butet - Matinya Toekang Kritik




humornya segar, cerdas dan up to date.. Saban pementasan, pasti sold out dan gayeng..
ini foto saya dulu : jaman pake samsung digimac 2,1
ini tulisan saya dulu : jaman jd reporternya www.trulyjogja.com
http://www.trulyjogja.com/index.php?action=news.detail&cat_id=19&news_id=359

Sarimin, monolognya Butet

Start:     Nov 26, '07 10:00p
End:     Nov 27, '07
Location:     Purna Budaya
http://kuaetnika.com/detail_berita.php?id=55&ver=ina....

ada yang mau ikutan nonton?

Tuesday, November 20, 2007

Kudus.. sebiru hatimu






Lintang Ceblok

“Pak, aku mau weruh lintang mak cleret tibo”, cerita saya kepada bapak. “Nak ra popo to pak?”, tanya saya kemudian. Ayem rasanya ketika kata bapak bilang tidak perlu khawatir. Ya, bagi kami, untuk beberapa hal memang selalu saja berbuntut pertanyaan. Maklum saja, orang jawa asli.

 

Minggu dini hari yang lalu, sekitar jam 00.28, saya melihat bintang jatuh. Ternyata pulang pagi juga membawa berkah. Bintang jatuh ternyata juga memang ada. Dan bukan cerita bohong seperti cibiran saya semula. Akhirnya saya juga bisa membuktikan seperti filmnya Dian Sastro atau Meteor Garden.

 

Lintang ceblok alias bintang jatuh adalah cerita menarik minggu ini.  Istilah Lintang Ceblok ini saya dapat dari mbak Dewi, lebih earcathcing dari pada lintang tumurun. Kata orang Jawa ini namanya pulung alias keberuntungan.  Ah, semoga saja pulungnya benar.

Friday, November 16, 2007

ndredeg..


sebelum pentas 17an..



Nadia : Bu Aning, ojo adoh-adoh.
Bu Aning : Ho o, iki lho Ibu neng cerak lawang. Mbak Dia rasah wedi.
Nadia : (kembik-kembik, mau nangis)
Bu Aning : Lho kok nangis to mbak? Mengko pupure ilang

Thursday, November 15, 2007

sepotong cerita dari dermaga




Thole : Bu’e, bapak baline kapan?
Bu’e : Sesuk, dilit meneh.
Thole : Sesuk kapan Bu’e?
Bu’e : Sesuk, nek dhuwite wis akeh nggo tumbas susu.
Thole : Bu’e bu’e, bapak ki sakjane nang di to?
Bu’e : Adoh Le, ndadak numpak prahu.
Thole : Prahune gedhe opo cilik bu?
Bu’e : Gedhe, mulane abot lan suwe ndayunge.

Wednesday, November 14, 2007

Farewell Partynya Ade Sukabul

Start:     Nov 16, '07 8:00p
Location:     masih binggung, 3 nyonya, sapi bali ato sevenresto
uh...sedih, kenapa sih harus pergi?

Sunday, November 11, 2007

Bersama Rijal di Dermaga Tasik Agung




Batik Lasem




Sekarang jumlah pembatik di Lasem memang menurun drastis. Hanya ada 2 perusahaan batik besar disini. Kebanyakan buruh batiknya berusia diatas kepala lima. Sedangkan para yang berusia muda beliau bekerja menjadi buruh Sriten/pengambil sarang walet.

Klenteng Tri Murti Cu An Kiong - Dasun Lasem




Inilah kleteng tertua di Jawa. Usianya 600 tahun dengan ornamen khas berwarna merah. Klenteng ini terakhir dipugar pada tahun 1983. Klenteng ini khusus dipersembahkan untuk Mak Cong atau Dewa Laut. Didepan klenteng terdapat sebuah sungai. Konon, dulu sungai ini menjadi dermaga pendaratan kapal-kapal dari Cina dan Malaka. Lalu lintas perairannya ramai.

Kasrun Segie




Namanya Pak Kasrun Segie atau Ong Hway Bwe. Namun biasa dipanggil Pak Kasegi. Usianya sekitar 60 tahunan. Beliau adalah generasi ketika rumah ini. Rumah ini kurang lebih berumur hampir seratus tahun dan belum pernah direnovasi. Dirumah yang sangat luas ini, beliau hanya tinggal berempat, bersama istri, seorang famili dan seorang rewang. 3 orang putranya bekerja di Jakarta. Sedang putra bungsunya meninggal dunia karena kecelakaan.

Episode 4 Road to Rembang; Vihara, Klenteng dan Mbok Rondo Dadapan

“Fit, kalau ke Lasem, jangan lupa mampir ke Klenteng dan Viharanya”, pesan Andik, teman MP saya ditelepon. Siap bos, petunjuk segera dilaksanakan.

 

Vihara Ratanavana Arama, Sendangcoyo Lasem, 11.12

 

Letaknya ada di bukit, dengan jalan sedikit memutar. Areal viharanya terhitung luas. Rupanya Vihara masih dalam proses renovasi dan pembangunan beberapa fasilitas peribadatan. Beberapa pekerjanya sibuk berkerja ditemani lagu dangdut pesisiran dari radio kecil dengan salon tambahan.  

 

Di Vihara ini ada Patung Buddha dengan posisi tidur kesamping kanan dengan ukuran raksasa. Warnanya emas dan dilindungi bangunan kanopi sebagai naungan. Sayang saya kesulitan mengambil gambarnya dengan utuh. 

 

Satu hal yang paling saya senangi ketika berkunjung ke Vihara adalah petuah-petuahnya. Sama seperti yang saya alami ketika ke Vipassana Graha di Lembang. Rasanya menjadi kecil dan kerdil.

 

Klenteng Poo An Bio, 12.01

 

Hanya sekejap, sekilas dan numpang lewat. Mengejar matahari dan dikejar mendung. Berputar menuju the Biggest & Oldest Klenteng in Lasem.

 

Klenteng Tri Murti Cu An Kiong, Jl. Dasun 19 Lasem, 12.09

 

Inilah kleteng tertua di Jawa. Usianya 600 tahun dengan ornamen khas berwarna merah. Klenteng ini terakhir dipugar pada tahun 1983. Klenteng ini khusus dipersembahkan untuk Mak Cong atau Dewa Laut. Didepan klenteng terdapat sebuah sungai. Konon, dulu sungai ini menjadi dermaga pendaratan kapal-kapal dari Cina dan Malaka. Lalu lintas perairannya ramai.

 

Seorang bapak penjaga Klenteng menemani kami berkeliling ke dalam area klenteng. Tak lupa beliau memberi rambu-rambu kepada kami. Sejuk dan magis dengan aroma hionya yang menyengat.

 

Desa Dadapan, Kecamatan Sedan Rembang, 14.04

 

Kunjungan ke desa ini memang sudah dijadwalkan. Kami akan bertandang ke desa tempat Mas Bembi dulu bekerja. Kami datang sengaja mendadak. Kami tidak ingin ada yang repot. Tapi meskipun kami tidak ingin ngrepoti, tetap saja kami tidak bisa menolak kebaikan mereka.  Kebaikan pertama adalah rasa bersahabat mereka menerima kedatangan kami. Kebaikan kedua adalah kami langsung dianggap anak. Kebaikan ketiga adalah aneka suguhan yang sulit untuk ditolak.

 

Beruntun muncul dihadapan kami rejeki tersebut. Ronde pertama kelapa muda murni dengan batok kelapanya. Menyusul kemudian empat toples penganan lalu suguhan khas Rembang. Ialah sebaskom mangga arummanis yang habis petik, sebuah pisau, serbet dan semangkuk air untuk cuci tangan. Terakhir sang tuan rumahpun berkata, “Monggo lho dipun kedhapi“. “Nggih pak, kulo kedhapi, soale pelem e ket wau nggih sampun ngedepi“, ujar saya disusul tawa sang empunya rumah.

 

Setelah sholat, haha hihi dan bergilir menggendong Alim, kami pamit pulang. Tapi dicegah serentak oleh mereka. “Ampun wangsul riyin, tenggo sekedap“, pinta mereka. Pasti sedang ada aktivitas rahasia di dapur belakang.

 

Ketika yang lain sedang terlepap dalam siesta, saya pergi ke Dapur. Aduh, firasat saya benar. Dua orang wanita sedang sibuk dengan peralatan tempur mereka. Seorang memarut kelapa, seorang lagi bergulat dengan wajan memasak rica-rica.

 

Sambil duduk di amben dapur, tak lupa saya sms Dhimas, teman MP yang bernada pamer. Sudah pasti smspun berbalas kalimat penuh rasa iri. Hahaha… Tapi di satu smsnya, saya menjadi tahu bahwa desa yang saya kunjungi ini adalah desa pemilik cerita ’Mbok Rondo Dadapan’.

Segera saya mencari narasumber untuk ini. Dah, ternyata benar, didesa ini Mbok Rondo Dadapan memang menjadi living history. Menurut data demografis tentang janda yang diperoleh Bembipun membuat cerita ini lebih hidup. Desa iki rondone pancen akeh Fit”, kata Bembi diikuti anggukan kepala beberapa warga desa. Kebanyakan janda adalah wanita yang menjanda karena tak tahan ditinggal terlalu lama suami menjadi TKI.

 

Setengah jam pun berlalu. Waktu yang cukup bagi Dhira, Indie, Kampang dan Apow untuk ngeluk boyok sambil menunggu matang hidangan. Makanan pun datang. Bau sambal terasi dalam cobek dan nasi liwet yang masih panas membangunkan mereka. Menu yang lengkap dengan Ayam Kampung bumbu Rica-rica, kerupuk pohung dan teh anget dengan bau sangit. Uh.. bener-bener mak nyoos. Perkenalkan, inilah menu terenak selama di Rembang versi saya.

Episode 3 Road to Rembang; Kampung Pecinan Lasem & Senyum Hangat Keluarga Kasegie

Setelah menyisakan rasa kagum pada batik pesisiran, langkah kami berlanjut ke Lasem kota. Ada banyak agenda hari ini yang harus diselesaikan. Menjelajah Rembang di ujung ke pangkal. Oh ya, kami berhenti sejenak untuk mengisi amunisi dengan sarapan di warung depan Masjid Raya Lasem.

 

Sarapan kali ini memang agak telat. Selain karena harus mengejar waktu melihat proses pembuatan batik, ada alasan lain yakni hunting sate srepeh. Sayang, kami belum berjodoh dengan sate sapi khas Rembang ini. Namun, semangkuk sayur asem-asem berkuah pedas juga tak kalah lezat. Ini sayur asam ningrat. Isinya bukan buncis tetapi daging & jerohan sapi. Tambah lagi dengan telur kamal sebagai kawan nasi. Cukup 7000 rupiah rupiah plus segelas es teh. Ah, perut sudah terisi dengan makanan berat. Saatnya kembali bergerak.

 

Atas petunjuk seorang warga kepada Apow, kamipun menuju kawasan Karangturi. Di daerah ini ada banyak rumah-rumah lama dengan arsitektur Cina.

 

Karangturi Gang 4 No 16 Lasem, 09.21 - 10.16

 

Akhirnya sampai juga. Mata saya langsung terpana. Berderet rumah yang membuat saya serasa terlempar ke masa lalu. Saat ketika Lasem menjadi dermaga dan pusat perdagangan. Kamipun berpencar. Masing-masing hanyut dalam decak kagum. “Ya ampun, apik tenan yo, coba Ketandan seperti ini”, ujar saya.

 

Rumahnya besar dengan pintu sarat ukiran, pilar-pilar tinggi dan tembok pagar yang kokoh.  Rata-rata setiap rumah memiliki 3 pintu besar bergandengan dengan pagar. 1 pintu utama, 1 pintu butulan atau pintu samping dan pintu garasi.

 

Ketika sedang asik motret, tiba-tiba saya disapa seorang bapak. “Dari mana dek” ?, tanya beliau diatas motor Honda. “Kami dari Jogja pak, pengen motret rumah Cina di Lasem” jawab saya. “Mohon ijin ya Pak”, imbuh saya. “Mari dek, silahkan. Di kampung ini ada puluhan rumah cina yang sering jadi objek foto” jelas si bapak sambil menunjuk ke sepenjuru mata angin.

 

Selang lima menit tiba-tiba lagi, si Bapak muncul dibalik pintu rumah yang sedari tadi jadi objek foto kami. Rumah bercat coklat kayu yang tampak tua. Rupanya, si bapak adalah pemilik rumah ini. Kami dipersilakan untuk blusukan ke dalam rumah. Menjelalah rumah berlantai keramik dengan motif daun semanggi. Dingin dan silir.

 

Namanya Pak Kasrun Segie atau Ong Hway Bwe. Namun biasa dipanggil Pak Kasegi. Usianya sekitar 60 tahunan. Beliau adalah generasi ketika rumah ini. Rumah ini kurang lebih berumur hampir seratus tahun dan belum pernah direnovasi. Dirumah yang sangat luas ini, beliau hanya tinggal berempat, bersama istri, seorang famili dan seorang rewang. 3 orang putranya bekerja di Jakarta. Sedang putra bungsunya meninggal dunia karena kecelakaan.

 

Beliau mendadak diminta Apow untuk difoto. Awalnya beliau menolak. Tapi bujuk rayu Apow dan Dhira akhirnya berhasil juga. “Waduh saya ganti celana dulu ya“ ? pinta beliau sambil memegang celana tenisnya. Rupanya Pak Kasegie tampak kurang pede dan malu-malu kucing. Tapi jangan khawatir, kami masih menjaga orisinalitas objek foto, sehingga bisa menampilkan pak Kasegi yang sebenarnya. Bercelana pendek dengan topi belundru berbordir nama. Salah satu eksotisme lokal  juragan yang kebanyakan etnis Cina.

 

Setelah hampir setengah jam kami pamit pulang. Sebelum teh disuguhkan oleh Bu Sunarti sang Nyonya rumah. Ada indikasi beliau sibuk di dapur dari suara gelas yang beradu. Kamipun bertukar alamat. Beliau kaget ketika mendengar kata warung Marhaen dari mulut saya. Sejurus beliau pun beliau berkata, “Fit, keliatannya saya cocok sama Bapaknya, besok kalau saya ke Jogja saya pasti mampir“. Monggo-monggo, silahkan.

 

Di Karangturi kami juga bertemu Pak Toyo. Beliau adalah penjual agar-agar yang dengan wadah kayu pikulan. Usianya sudah lanjut, kira-kira 75 tahunan. Agar-agar dijual cukup murah. 300 rupiah dengan topping gula pasir. Legit, semanis senyumnya pada kami. Kulitnya keriput, badannya kurus. Saban hari beliau berjalan kaki keliling Lasem. Berbekal sekeranjang semangat, topi dan sandal japit swallow yang sudah mulai tipis. ”Kulo wiwit tahun 72, nenggo telas nembe mantuk”, jawab beliau atas pertanyaan-pertanyaan bombardir saya.

 

Siang ini, saya bertemu orang-orang istimewa. Orang-orang dengan mengajarkan bahwa senyum itu barokah. Yak, ketika sekarang senyum menjadi suatu hal yang mahal. Bagi sebagian dunia dan  hampir terjadi pada saya.

Friday, November 9, 2007

Episode 2 Road to Rembang; Batik Lasem, Walah jebule larang !

Rencananya, pagi ini kami ingin bergerak sangat pagi. Bakda subuh, jam 5. Kami ingin kembali ke Dermaga Tasik Agung. Melihat sunrise dan mungkin berperahu.

 

Kemarin, seorang bapak menawarkan perahunya. Delapan puluh ribu untuk satu kali perjalanan PP. Tapi setelah dihitung-hitung, waktunya tidak bakal cukup.“Kalau ke laut, butuh seharian jadi mending ke kota“, saran Apow.  Duh, leganya. Saya kan satu-satunya yang ndak bisa berenang.

 

Batik Purnomo, Gedongmulyo Lasem, 07.47, 04 November 2007

 

“Fit. Aku nitip batik Lasem untuk bawahan ya?“, kata seorang kawan di ujung telepon. Lain halnya dengan ibu yang selalu wanti-wanti agar tidak lapar mata. “Mbak, nggak usah pake acara beli kain batik, opo meneh nek regane nggilani“, pinta Ibu sebelum pergi.

 

Disetiap perjalanan, saya hampir selalu beli kain tradisional. Terakhir, kain Endeg dari Bali. Niatnya ingin senada seirama dengan Ibu dan Bapak. Kain saya warna ungu sedangkan ibu berwarna hijau. Warna-warni ini bakal match dengan batik Joger Toscanya bapak.

 

Nah, ternyata harga batik Lasem diluar perkiraaan. Rata-rata diatas Rp. 150.000,-. Itupun untuk batik motif sederhana yang berlatar polos. Ciri batik Lasem adalah kekuatan warna dan ragam motifnya. Biru dan Nila.

Tapi setelah dipikir-pikir harga tersebut menjadi wajar. Pengerjaannya memakan waktu paling cepat satu bulan. Dikerjakan secara bertahap oleh beberapa pembatik. Ada yang bagian pola, lalu nyorek, nembok, nitik, kemudian nyecek. Belum lagi proses pewarnaan dan nglorotnya. Benar-benar mahakarya.

 

Melihat mereka saya jadi malu sendiri. Dulu memang pernah belajar batik, ketika di SMP. Tapi pas jamnya mbatik, jadi ajang mbolos. Jahatnya, saya nggak ingat lagi siapa nama guru mbatik. Kurang ajarnya karena nama beliau diubah menjadi Ibu Napthol. (ini nama cairan kimia untuk melepas malam/lilin).  

 

Saya sempat berbincang dengan Bu Sasmiyati. Usianya paruh baya. Beliau nampak telaten menjawab pertanyaan saya yang seperti grontol wutah.“Kathah-kathahipun ingkah mbatik sing sepuh, tiyang enem kados Mbake menika mboten wonten ingkang purun“, kata Ibu Sas sambil tangan bercantingnya menunjuk kearah saya. Ya, sekarang jumlah pembatik di Lasem memang menurun drastis. Hanya ada 2 perusahaan batik besar disini. Kebanyakan buruh batiknya berusia diatas kepala lima. Sedangkan para yang berusia muda beliau bekerja menjadi buruh Sriten/pengambil sarang walet.

 

Kami bertiga, para perempuan sibuk memilih batik.  Hampir sepuluhan kain dijereng. Meskipun langsung dilipat balik setelah melihat harga yang tersebut. Eits..larang banget jebule. Dua orang mbak karyawannya tersenyum kecut. Belum tentu beli tapi displaynya sudah diobrak-abrik.

 

Akhirnya ada satu kain batik dengan motif pesisiran yang sederhana. Harganya paling murah tapi batiknya cantik. Batik itupun terbeli tanpa proses taren dengan ibu. Pokoknya dibayar dulu baru ngabari. “Ya ampun, siji regane semono ? ” tanya ibu dengan nada kaget. “Lho rapopo buk, mosok wis tekan Lasem ra tuku batik”, jawab saya membela diri. Negosiasi cantik yang sebenarnya licik.

 

Bersambung…

Wednesday, November 7, 2007

Kumpul-kumpul di Rumah Kotagedhe

Start:     Nov 10, '07 4:00p
End:     Nov 10, '07 9:00p
Location:     Widiadisoro 40 Kotagedhe
Rencananya pengen ngumpulin saudara dan teman kantor di rumah Kotagedhe. Ibu siap dengan Bakmi Kopyok dan Agar-agarnya...

badhe tumut? monggo-monggo

Episode 1 Road to Rembang; Para Primadona Pantura

Perkenalkan, nama saya Rachma Safitri. Perjalanan kali ini saya tidak sendiri. Berlima bersama Rizki Nurindiani AKA Indie, Dhiraestria Dyah Pramesi AKA Superdhira, Aria Dewangga AKA Kampang dan Wisnu Aribowo AKA Apow.

“Duh, kok hujan ya”, celoteh kami di dalam mobil. “Duh, bisa dapet foto nggak ya”? tanya saya sedikit bimbang. Semoga mendung berganti baju dan awanpun menjadi biru.

Manahan Solo, 09.00

Dari Jogja, perjalanan kami awali melalui Solo, menjemput seorang rekan Bambang AKA Bembi di Manahan. Sejenak kami bertegur sapa dengan sang Bunda. Berhubung beberapa perut dari kami belum terisi, maka langsung meluncur mencari sarapan. Setelah sedikit binggung memilih menu, antara Tengkleng atau Pecel. Lebih tepatnya berdebat. (maklum, seorang dari kami sedang dalam pengawasan ketat dokter ahli gizi). Untung ada jalan tengah di seputaran Stadion Manahan, nasi Liwet Mbak Lasmini. Cukup 3500 rupiah untuk sepincuk nasi Liwet dengan telur suwir.

Purwodadi Grobogan, 11.23

Rupanya jalannya tak semulus Ring Road Utara di kota Yogya. Bergelombang bak Anturium gelombang cinta. Perumpamaan ini mucul karena saya masih juga keheranan tentang booming Anturium.  Rupanya mobil kami harus berhati –hati pada dua hal. Tidak hanya pada jalan yang berjerawat tetapi juga pada Bis RELA. Warning khusus pada BIS yang punya tagline SAPU JAGAT. Bis full musik dangdut pantura yang berkecepatan dahsyat.  

Juwana Pati, 12.10

Petani Garam, Kincir angin dan bergunung-gunung garam mentah. Sayang, hujan turun menyambut kami. Padahal konon Rembang dan Pati hanya kejatahan 3 bulan untuk hujan, yakni Januari – Maret.

Kantor Plan International Rembang, Jalan Raya Pantura, 13.30

2 dari anggota rombongan kami, Mbak Dhira dan Mas Bembi pernah berkantor disini. Ah senangnya, berkenalan dengan beberapa teman baru. Ramah dan bersahabat. Setelah menjamak sholat, kami meneruskan langkah.

Lontong Tuyuhan, desa Jeruk Kecamatan Pancur Rembang, 14.35

Makanan ini direkomendasikan oleh Andik, teman MP saya. Lontongnya sendiri sudah tampak berbeda.  Dibungkus daun pisang berbentuk segitiga dengan ukuran raksasa. Untuk lauknya, kita bisa memilih sendiri bagian mana yang kita sukai. Bisa swiwi atau pupu. Terakhir disiram kuah opor bersantan dengan bumbu pedas cabai dan merica.

Sebenarnya lontong Tuyuhan yang asli ada di desa Tuyuhan. Bukan desa Jeruk. Penjualnyapun semuanya lelaki. Namum, pamor dari desa Tuyuhan tergeser dengan setelah di desa jeruk hadir deretan los sederhana. Bedanya adalah semua penjual adalah perempuan. Dan setiap periode memiliki primadona. Primadona kali ini adalah Mbak Marfuah. Primadona ini juga akan berganti setelah si penjual ini menikah. Hal lain yang menarik adalah cara stategi marketing para penjualnya. Contohnya mbak Marfuah yang hapal nama para pelanggan tetapnya. Kebanyakan dari mereka adalah para pengemudi di jalur Pantura.

Kampung Pecinan, Sawahan Rembang, 15,46

Pintu-pintu dengan aksen Cina membuat kami terpana. Duh, pasti bagus kalau bisa juga dipasang di rumah Kotagedhe. Rumah-rumah yang berdinding tinggi dan berpintu kayu kaya ornamen. Ukirannya mantap.

Dikampung ini kami bersua dengan Pak Tari, penjual aneka pepes khas Pantura. Ada pepes rajungan, kepiting, tongkol, telur jungan, ati pe, manyung, udang dan lain-lain. Beliau menyapa dengan jurus marketing  yang lagi-lagi ampuh. Saya jamin enak, pepesnya pernah dishooting pak Bondan Mak Nyuss lho”, ujar beliau dengan semangat 45. Langsung, saya dan Apow menyerbu menjajalnya. Pepes udang dan Ati Pe dibungkus daun pisang berukuran 10 senti habis sekejap. Murah dengan narasi meriah sang penjual. Bila penasaran, beliau bisa ditemui dengan sepeda pepesnya di Pantai Kartini.

Dermaga, Tasik Agung Rembang, 16.45

Sayang, langit tak begitu berwarna ketika kami sampai di dermaga Rembang. Belum lagi bau menyengat dari pantai yang sarat kotoran. Tapi, senyum ceria Rijal dan Naja, 2 bocah dari desa Tasik Agung membuat semuanya berubah.  Mereka bersemangat difoto dan bergaya. “Mbak-mbake, endi gambarku,” tanya mereka sambil mengerubungi kamera.

Indomaret Rembang III, 18.32

Kota kecil ini tidak mempunyai mall atau pusat perbelanjaan one stop shooping. Hanya ada 3 supermarket franchise yang menjadi kebanggaan. Jauh berbeda dengan Jogja yang semakin sesak dengan 8 Mallnya.

Alun-Alun Rembang, 19.20

Waktunya untuk makan malam. Alun-alun ini ramai dengan pedagang kaki lima. Pilihannya pun beraneka. Mau Nasi Goreng, Nasi Gandul, Lontong Tuyuhan, Kopi Klothok atau Pecel Lele. Semuanya tinggal pilih. Pilihan kami jatuh pada warung Ijo atas rekomendasi Dhira. Sebenarnya warung ini tidak punya nama. Hanya karena spanduknya berwarna hijau pupus sehingga muncul istilah warung Ijo.

Menu adalahnya adalah sambal cobeknya. “Sambelnya enak banget, pokoknya di Jogja nggak nemu yang seenak ini“, kata Dhira meyakinkan kami. Dan ternyata Dhira menang. Sambalnya memang benar-benar nendang. Ramuan cabai ini menjadi lengkap dengan Bebek Bakar Bumbu Kemiri di piring saya.

Kafe Resese, desa Landoh, Kecamatan Sulang Rembang, 21.34

Tak lengkap bila ke Rembang tanpa merasakan dangdut Pantura. Berdelapan, kami berangkat. Menjawab keingintahuan dan rasa penasaran terhadap kafe pertama di kota ini. Mayoritas pengunjung kafe ini adalah para reserse. Malam itu pengunjungnya rata-rata berambut cepak dengan usia matang.

Berbeda dengan kafe-kafe di Jogja, Resese jauh lebih merakyat. Bila dilihat dari segi tampilan, Resese memang sederhana. Ukurannya tak begitu luas dengan kursi kayu dan tembok tembok telanjang. Jenis minuman juga terbatas. Tidak ada tequila tapi tetap ada vodka beer dengan pitcher plastik.

Suguhannya adalah karaoke lagu-lagu dangdut melalui seperangkat TV dan VCD berukuran 21 inchi. Sound systemnya juga seadanya. Keras tapi terdengar pecah. Jadi kudu tetep bengok-bengok atau berteriak kalau mau bicara. Ada 2 microphone yang disediakan. Satu untuk tamu dan satu lagi untuk penjaga kafe yang setia menemani berduet. Bergincu merah jambu dengan suara tak tertalu merdu.  Oh ya, saat ini ada dua S yang menjadi idola dangdut Pantura. Penyanyi Sera dan lagu Sahara. Jadi jangan kaget bila lagu-lagu mereka diputar berulang-ulang.

bersambung..

Day 1, 03 November 2007

Thursday, November 1, 2007

another story of Kuda Lumping






Itu kuda lumping, kuda lumping kuda lumping, kesurupan
Itu kuda lumping, kuda lumping kuda lumping, lompat-lompatan

Kaki-kaki ini masih kuat saja. Menopang badan yang sedari tadi terus bergerak. Derap langkahnya luwes seiring irama gamelan sederhana. Rancak. Meski sesekali pecut kembali dilecut diatas tanah. Mengobarkan kembali semangat yang sempat kendur karena haus dan panas. Plus rasa gatal karena kostum berpayet dengan warna menyala.