Wednesday, November 7, 2007

Episode 1 Road to Rembang; Para Primadona Pantura

Perkenalkan, nama saya Rachma Safitri. Perjalanan kali ini saya tidak sendiri. Berlima bersama Rizki Nurindiani AKA Indie, Dhiraestria Dyah Pramesi AKA Superdhira, Aria Dewangga AKA Kampang dan Wisnu Aribowo AKA Apow.

“Duh, kok hujan ya”, celoteh kami di dalam mobil. “Duh, bisa dapet foto nggak ya”? tanya saya sedikit bimbang. Semoga mendung berganti baju dan awanpun menjadi biru.

Manahan Solo, 09.00

Dari Jogja, perjalanan kami awali melalui Solo, menjemput seorang rekan Bambang AKA Bembi di Manahan. Sejenak kami bertegur sapa dengan sang Bunda. Berhubung beberapa perut dari kami belum terisi, maka langsung meluncur mencari sarapan. Setelah sedikit binggung memilih menu, antara Tengkleng atau Pecel. Lebih tepatnya berdebat. (maklum, seorang dari kami sedang dalam pengawasan ketat dokter ahli gizi). Untung ada jalan tengah di seputaran Stadion Manahan, nasi Liwet Mbak Lasmini. Cukup 3500 rupiah untuk sepincuk nasi Liwet dengan telur suwir.

Purwodadi Grobogan, 11.23

Rupanya jalannya tak semulus Ring Road Utara di kota Yogya. Bergelombang bak Anturium gelombang cinta. Perumpamaan ini mucul karena saya masih juga keheranan tentang booming Anturium.  Rupanya mobil kami harus berhati –hati pada dua hal. Tidak hanya pada jalan yang berjerawat tetapi juga pada Bis RELA. Warning khusus pada BIS yang punya tagline SAPU JAGAT. Bis full musik dangdut pantura yang berkecepatan dahsyat.  

Juwana Pati, 12.10

Petani Garam, Kincir angin dan bergunung-gunung garam mentah. Sayang, hujan turun menyambut kami. Padahal konon Rembang dan Pati hanya kejatahan 3 bulan untuk hujan, yakni Januari – Maret.

Kantor Plan International Rembang, Jalan Raya Pantura, 13.30

2 dari anggota rombongan kami, Mbak Dhira dan Mas Bembi pernah berkantor disini. Ah senangnya, berkenalan dengan beberapa teman baru. Ramah dan bersahabat. Setelah menjamak sholat, kami meneruskan langkah.

Lontong Tuyuhan, desa Jeruk Kecamatan Pancur Rembang, 14.35

Makanan ini direkomendasikan oleh Andik, teman MP saya. Lontongnya sendiri sudah tampak berbeda.  Dibungkus daun pisang berbentuk segitiga dengan ukuran raksasa. Untuk lauknya, kita bisa memilih sendiri bagian mana yang kita sukai. Bisa swiwi atau pupu. Terakhir disiram kuah opor bersantan dengan bumbu pedas cabai dan merica.

Sebenarnya lontong Tuyuhan yang asli ada di desa Tuyuhan. Bukan desa Jeruk. Penjualnyapun semuanya lelaki. Namum, pamor dari desa Tuyuhan tergeser dengan setelah di desa jeruk hadir deretan los sederhana. Bedanya adalah semua penjual adalah perempuan. Dan setiap periode memiliki primadona. Primadona kali ini adalah Mbak Marfuah. Primadona ini juga akan berganti setelah si penjual ini menikah. Hal lain yang menarik adalah cara stategi marketing para penjualnya. Contohnya mbak Marfuah yang hapal nama para pelanggan tetapnya. Kebanyakan dari mereka adalah para pengemudi di jalur Pantura.

Kampung Pecinan, Sawahan Rembang, 15,46

Pintu-pintu dengan aksen Cina membuat kami terpana. Duh, pasti bagus kalau bisa juga dipasang di rumah Kotagedhe. Rumah-rumah yang berdinding tinggi dan berpintu kayu kaya ornamen. Ukirannya mantap.

Dikampung ini kami bersua dengan Pak Tari, penjual aneka pepes khas Pantura. Ada pepes rajungan, kepiting, tongkol, telur jungan, ati pe, manyung, udang dan lain-lain. Beliau menyapa dengan jurus marketing  yang lagi-lagi ampuh. Saya jamin enak, pepesnya pernah dishooting pak Bondan Mak Nyuss lho”, ujar beliau dengan semangat 45. Langsung, saya dan Apow menyerbu menjajalnya. Pepes udang dan Ati Pe dibungkus daun pisang berukuran 10 senti habis sekejap. Murah dengan narasi meriah sang penjual. Bila penasaran, beliau bisa ditemui dengan sepeda pepesnya di Pantai Kartini.

Dermaga, Tasik Agung Rembang, 16.45

Sayang, langit tak begitu berwarna ketika kami sampai di dermaga Rembang. Belum lagi bau menyengat dari pantai yang sarat kotoran. Tapi, senyum ceria Rijal dan Naja, 2 bocah dari desa Tasik Agung membuat semuanya berubah.  Mereka bersemangat difoto dan bergaya. “Mbak-mbake, endi gambarku,” tanya mereka sambil mengerubungi kamera.

Indomaret Rembang III, 18.32

Kota kecil ini tidak mempunyai mall atau pusat perbelanjaan one stop shooping. Hanya ada 3 supermarket franchise yang menjadi kebanggaan. Jauh berbeda dengan Jogja yang semakin sesak dengan 8 Mallnya.

Alun-Alun Rembang, 19.20

Waktunya untuk makan malam. Alun-alun ini ramai dengan pedagang kaki lima. Pilihannya pun beraneka. Mau Nasi Goreng, Nasi Gandul, Lontong Tuyuhan, Kopi Klothok atau Pecel Lele. Semuanya tinggal pilih. Pilihan kami jatuh pada warung Ijo atas rekomendasi Dhira. Sebenarnya warung ini tidak punya nama. Hanya karena spanduknya berwarna hijau pupus sehingga muncul istilah warung Ijo.

Menu adalahnya adalah sambal cobeknya. “Sambelnya enak banget, pokoknya di Jogja nggak nemu yang seenak ini“, kata Dhira meyakinkan kami. Dan ternyata Dhira menang. Sambalnya memang benar-benar nendang. Ramuan cabai ini menjadi lengkap dengan Bebek Bakar Bumbu Kemiri di piring saya.

Kafe Resese, desa Landoh, Kecamatan Sulang Rembang, 21.34

Tak lengkap bila ke Rembang tanpa merasakan dangdut Pantura. Berdelapan, kami berangkat. Menjawab keingintahuan dan rasa penasaran terhadap kafe pertama di kota ini. Mayoritas pengunjung kafe ini adalah para reserse. Malam itu pengunjungnya rata-rata berambut cepak dengan usia matang.

Berbeda dengan kafe-kafe di Jogja, Resese jauh lebih merakyat. Bila dilihat dari segi tampilan, Resese memang sederhana. Ukurannya tak begitu luas dengan kursi kayu dan tembok tembok telanjang. Jenis minuman juga terbatas. Tidak ada tequila tapi tetap ada vodka beer dengan pitcher plastik.

Suguhannya adalah karaoke lagu-lagu dangdut melalui seperangkat TV dan VCD berukuran 21 inchi. Sound systemnya juga seadanya. Keras tapi terdengar pecah. Jadi kudu tetep bengok-bengok atau berteriak kalau mau bicara. Ada 2 microphone yang disediakan. Satu untuk tamu dan satu lagi untuk penjaga kafe yang setia menemani berduet. Bergincu merah jambu dengan suara tak tertalu merdu.  Oh ya, saat ini ada dua S yang menjadi idola dangdut Pantura. Penyanyi Sera dan lagu Sahara. Jadi jangan kaget bila lagu-lagu mereka diputar berulang-ulang.

bersambung..

Day 1, 03 November 2007

8 comments:

  1. weits..keren...cerita na seru..huhhuu sayangnya aku ndak ikutan...huhuhuhu nyesell bow....

    ReplyDelete
  2. weits..keren...cerita na seru..huhhuu sayangnya aku ndak ikutan...huhuhuhu nyesell bow....kapan lagi ada hunting seperti ini fitri....tetap keep info ya'.....

    ReplyDelete
  3. wah, detail banget.... runtut....dan lengkap. ditunggu foto-fotonya...

    ReplyDelete
  4. foto kulinernya mbake
    jadi laper niy

    ReplyDelete
  5. wah bak bikin aku makin kangen ja ma kampung aku rembang....
    pengen lontong tuyuhan
    pengen bakso pak joko
    pengen makan sego gandul
    pengen makan nag alun2 rembang nak bengiiii

    ReplyDelete
  6. wah bak bikin aku makin kangen ja ma kampung aku rembang....
    pengen lontong tuyuhan
    pengen bakso pak joko
    pengen makan sego gandul
    pengen makan nag alun2 rembang nak bengiiii

    ReplyDelete