Friday, November 9, 2007

Episode 2 Road to Rembang; Batik Lasem, Walah jebule larang !

Rencananya, pagi ini kami ingin bergerak sangat pagi. Bakda subuh, jam 5. Kami ingin kembali ke Dermaga Tasik Agung. Melihat sunrise dan mungkin berperahu.

 

Kemarin, seorang bapak menawarkan perahunya. Delapan puluh ribu untuk satu kali perjalanan PP. Tapi setelah dihitung-hitung, waktunya tidak bakal cukup.“Kalau ke laut, butuh seharian jadi mending ke kota“, saran Apow.  Duh, leganya. Saya kan satu-satunya yang ndak bisa berenang.

 

Batik Purnomo, Gedongmulyo Lasem, 07.47, 04 November 2007

 

“Fit. Aku nitip batik Lasem untuk bawahan ya?“, kata seorang kawan di ujung telepon. Lain halnya dengan ibu yang selalu wanti-wanti agar tidak lapar mata. “Mbak, nggak usah pake acara beli kain batik, opo meneh nek regane nggilani“, pinta Ibu sebelum pergi.

 

Disetiap perjalanan, saya hampir selalu beli kain tradisional. Terakhir, kain Endeg dari Bali. Niatnya ingin senada seirama dengan Ibu dan Bapak. Kain saya warna ungu sedangkan ibu berwarna hijau. Warna-warni ini bakal match dengan batik Joger Toscanya bapak.

 

Nah, ternyata harga batik Lasem diluar perkiraaan. Rata-rata diatas Rp. 150.000,-. Itupun untuk batik motif sederhana yang berlatar polos. Ciri batik Lasem adalah kekuatan warna dan ragam motifnya. Biru dan Nila.

Tapi setelah dipikir-pikir harga tersebut menjadi wajar. Pengerjaannya memakan waktu paling cepat satu bulan. Dikerjakan secara bertahap oleh beberapa pembatik. Ada yang bagian pola, lalu nyorek, nembok, nitik, kemudian nyecek. Belum lagi proses pewarnaan dan nglorotnya. Benar-benar mahakarya.

 

Melihat mereka saya jadi malu sendiri. Dulu memang pernah belajar batik, ketika di SMP. Tapi pas jamnya mbatik, jadi ajang mbolos. Jahatnya, saya nggak ingat lagi siapa nama guru mbatik. Kurang ajarnya karena nama beliau diubah menjadi Ibu Napthol. (ini nama cairan kimia untuk melepas malam/lilin).  

 

Saya sempat berbincang dengan Bu Sasmiyati. Usianya paruh baya. Beliau nampak telaten menjawab pertanyaan saya yang seperti grontol wutah.“Kathah-kathahipun ingkah mbatik sing sepuh, tiyang enem kados Mbake menika mboten wonten ingkang purun“, kata Ibu Sas sambil tangan bercantingnya menunjuk kearah saya. Ya, sekarang jumlah pembatik di Lasem memang menurun drastis. Hanya ada 2 perusahaan batik besar disini. Kebanyakan buruh batiknya berusia diatas kepala lima. Sedangkan para yang berusia muda beliau bekerja menjadi buruh Sriten/pengambil sarang walet.

 

Kami bertiga, para perempuan sibuk memilih batik.  Hampir sepuluhan kain dijereng. Meskipun langsung dilipat balik setelah melihat harga yang tersebut. Eits..larang banget jebule. Dua orang mbak karyawannya tersenyum kecut. Belum tentu beli tapi displaynya sudah diobrak-abrik.

 

Akhirnya ada satu kain batik dengan motif pesisiran yang sederhana. Harganya paling murah tapi batiknya cantik. Batik itupun terbeli tanpa proses taren dengan ibu. Pokoknya dibayar dulu baru ngabari. “Ya ampun, siji regane semono ? ” tanya ibu dengan nada kaget. “Lho rapopo buk, mosok wis tekan Lasem ra tuku batik”, jawab saya membela diri. Negosiasi cantik yang sebenarnya licik.

 

Bersambung…

7 comments:

  1. hahahahaha sama ...selalu ga tahan godaan batik... :P

    ReplyDelete
  2. iya.. godaannya terlalu berat, bikin susah tidur :D

    ReplyDelete
  3. Xixixi...uang gak bisa diboongin ya..ono rupo ono rega..

    ReplyDelete
  4. batik memang mengelitik untuk dimilik.... mending beli daripada nyesel.

    ReplyDelete
  5. hmmm.. paling murah 157 rb, rata-rata yang motif dan warnanya penuh sekitar 400rb keatas. Gimana, mau beliin ak batik ya?

    ReplyDelete