Thursday, December 17, 2009
Jakarta: sebentar saya kesana
Bismillah. Semoga berakhir indah.
Wednesday, December 9, 2009
Mbah Ngatiyem
Setelah kurang lebih satu bulan, akhirnya saya bertemu beliau lagi. Ini adalah perjumpaan kedua. Seharusnya ini menjadi kopi darat yang ketiga bila saja saat Grebeg Besar 28 November lalu saya menemukannya diantara ratusan simbah-simbah yang ngalab berkah.
Namanya Mbah Ngatiyem. Usianya 70 tahun. Nenek asal Klaten Timur ini sudah berpuluh-puluh tahun menjadi peminta-minta di Keben Kraton Yogyakarta. “Lebih baik ngemis dari pada mencuri,” katanya sambil tersenyum.
Kemarin beliau sumringah. Berkali-kali memeluk dan mengatakan bahwa ia masih ingat saya. “Tasih eling kulo, nak nok’e niki sing kala wingi kaliyan mas-mase niko to ?” tegasnya sambil bertanya. (Saya masih ingat, ini anak gadis yang kemarin bersama dua lelaki muda itu kan –red).
Kamipun berbincang. Mungkin karena suara saya sedikit berisik, beberapa simbah seprofesi dengan mbah Ngatiyem pun satu persatu mendekat. Mereka saling melempar doa dan nasehat disela guyonan.
Satu kalimat yang masih saya ingat adalah “nyawa sampiran bondo gaduhan”. Artinya adalah bahwa hidup manusia cuma mampir/sementara dan harta benda yang dimiliki pun sifatnya hanya pinjaman. Ini adalah peribahasa lama yang dulu pernah saya dengar dari simbah kakung ketika dulu mendongeng 15 tahun lalu.
Monday, December 7, 2009
Pak Soer
Namanya Pak Soeryadi. Saya bertemu beliau kemarin saat sedang memotret pertujukan tari klasik dari sanggar tari Siswo Among Bekso di bangsal Srimanganti Kraton Yogyakarta, Ahad 6 Desember lalu. Kebetulan saya jongkok didepan tempat duduk bapak yang berprofesi sebagai Abdi Dalem Kaprajan ini. Beliau mempersilakan saya berdiri agar saya leluasa memotret. "Nduk, ne motret ngadek mawon mboten nopo-nopo", kata beliau berulang-ulang.
Thursday, December 3, 2009
Sangam fusion dance drama 'Shikhandini' with Didik Nini Thowok
Start: | Dec 14, '09 7:00p |
Location: | Concert Hall TBY |
Also perform in Jakarta (GJK, 4 Dec 2009, 7pm) and Bali (Ksarinawa, 7 Dec 2009, 7 pm)
Wednesday, November 25, 2009
Thursday, November 19, 2009
Monday, November 16, 2009
Java Grand Expo
Start: | Nov 18, '09 06:00a |
End: | Nov 22, '09 |
Location: | Atrium Ambarrukmo Plaza |
Tujuan dari pameran ini adalah untuk memfasilitasi produsen kerajinan, produk paska panen, makanan, dan lembaga keuangan mikro untuk mendapat hubungan yang lebih baik dengan pembeli, lembaga keuangan, fasilitas pemerintah, dan jasa bisnis.
Pameran akan dibuka dengan pertunjukan Jemek Supardie dan selain pameran, akan ada demo proses produksi yaitu tenun dan batik. Ada juga Fashion Show Lurik tanggal 21 November 2009.
Monggo, silahkan datang !
Wednesday, November 4, 2009
Malioboro Festival
Start: | Nov 6, '09 |
End: | Nov 8, '09 |
Location: | Maliboro Yogyakarta |
http://www.festivalmalioboro.com/
KRT. Joyo Dipuro; Magnet Lain Museum Kereta Rotowijayan
Kalau ditanya apa yang menarik di Museum Kereta Rotowijayan, saya tidak akan menjawabnya dengan koleksi kereta kencana yang mencapai puluhan jumlahnya. Tetapi bagi saya, ada magnet lain yang mempesona. Sebuah sejarah hidup yang selalu bercerita dengan penuh semangat. Dia adalah KRT. Joyo Dipuro, abdi dalem yang akan berjaga di pintu tengah sayap kanan museum kereta milik Kraton Yogyakarta ini.
Dikursi rotan tepat didepan pintu jati warna hijau (kami menyebutnya ijo parianom), KRT. Joyo Dipuro menyambut kami. “Umur saya 102 tahun. Lahir 15 Januari 1907”, jelasnya dengan suara yang lantang. Dua kalimat ini akan diulang berkali-kali oleh simbah yang rambutnya sudah memutih semua ini.
Lantas beliau menuju dinding museum di sayap kanan, mengambil sebuah foto usang. Dalam foto tersebut, KRT. Joyo Dipuro kecil bergambar bersama para sais kereta Kraton Yogyakarta di tahun 1937. Beliau ada di deretan nomor 4 dari kanan. Gagah dan berkharisma.
Ini adalah kali ketiga saya bertemu Mbah Joyo. Setahun lalu ia bercerita hal yang sama. Hitungan umur pun tidak meleset. Dulu saya masih ingat, saya perah bertanya tentang rahasianya awet muda. Seketika beliau tersenyum dan berkata bahwa berkerja dengan ikhlas adalah kuncinya. Selain itu rokok kretek masih menjadi teman setianya.
Seperti kemarin, setelah menerangkan foto lawasnya, beliau bergegas ke mengambil rokok dan korek gas yang masing-masing disimpan terpisah di dua bagasi kereta yang berbeda. Asap dan bau khas rokok kretek kemudian bercampur dengan bau besi tua dan bunga sajen kereta.
Yogyakarta, 1 November 2009
Monday, November 2, 2009
Mbah Ngatiyem
Simbah yang 'sakbarakan' dengan simbah putri saya ini ramah. Sumeh. Saat saya mendekat, ia sedang membisik doa buat Lindung. Menyusul kemudian Yopi dan Dite. Usianya 70 tahun. Guratan di wajah dan kulit legam karena matahari mempertegas perjalanan hidup yang sepertinya keras. Setiap hari beliau nglajo dari Klaten Timur dengan 2 kali ganti angkutan ke Keben.
"Simbah sadean nopo"? tanya saya pada beliau. Sejurus kemudian sebuah jawaban membuat saya tercekat. "Simbah pados nyotro, luwih becik tinimbang maling", ujarnya sambil tersenyum. Seorang anaknya bermukim di Sumatera, sedangkan suaminya telah lebih dulu meninggal.
Kamipun bercanda. Layaknya seorang simbah yang sedang kumpul dengan empat orang cucunya. Regeng. Sampai akhirnya kami harus pamit untuk melanjutkan perjalanan. Satu persatu dari kami diciumnya. Sederet doa mengalir tulus dalam bahasa jawa yang halus. Sebuah barokah di suatu siang yang terik.
Yogyakarta, 1 November 2009
Monday, October 26, 2009
Wednesday, October 21, 2009
Pecinan Semarang: Berjumpa Gorilla Gang Buntu dan Pak Liem di Klenteng Hitam
Semarang memang selalu mempersona. Kota pelabuhan ini kaya akan bangunan-bangunan tua dan sumber sejarah warisan masa lalu. 17 Oktober 2009 lalu, saya kembali menelusur lekuk indahnya yang saling bersilangan satu sama lain. Menumpang bis Joglosemar kloter pertama bersama Sastomo Haryo dan Retno Hayu, perjalananpun dimulai.
Perjalanan menelusur Pecinan dimulai dari simpang empat Pedamaran. Berjalan di sisi kiri yang penuh dengan kendaraan roda empat, saya berpapasan dengan belasan kuli panggul dan buruh angkut yang sedang berkerja membongkar muat barang. Pedamaran memang terkenal dengan kawasan yang paling padat di Pecinan. Bahkan taksi yang saya tumpangi dari Masjid Agung Semarang menolak untuk melalui jalan ini.
Tujuan pertama saya adalah gang Buntu di Pedamaran. Tak sulit menemukan gang ini. Gang selebar badan sebuah mobil sedan ini mengingatkan saya pada sebuah gang di Badung Bali. Tampak lengang. Hanya ada beberapa orang yang duduk santai di depan rumah. Bukan teras, tetapi hanya sebuah bangku kecil dengan peneduh dari plastik dan bekas spanduk ala kadarnya. Tak berapa lama, sampailah saya di sarang gorilla.
Saya berjumpa dengan bu Nunuk. Beliau ini adalah adik dari Pak Kardi, seorang pendiri Body Building Gorilla. Berlokasi di sebuah gang bernama Buntu, kelompok penggiat olahraga ini kemudian dikenal dengan istilah Gorilla dari Gang Buntu menyusul terpilihnya kisah ini di ajang Eagle Award sebuah televisi swasta.
Jangan membayangkan ruangan berAC dengan alat-alat beban yang mengkilap. Tempat latihan ini sangat sederhana dan jauh dari kesan mewah yang terletak di depan sebuah gudang di gg. Buntu no. 34a. Sebuah ruang yang memang diciptakan oleh dan untuk warga kelas menengah kebawah yang tidak sanggup berolahraga di fitnes centre karena keterbatasan biaya.
Sistem yang dipakai adalah sukarela. Sebuah kotak kayu kecil bergembok siap menampung setiap keping receh yang disumbangkan anggotanya yang kebanyakan adalah kuli panggul, tukang becak dan aneka profesi lainnya. Sayang, siang itu masih sepi. Pak Agus, salah satu anggota senior menyarankan saya untuk kembali lagi sore hari.
Sembari menunggu berkumpulnya para gorilla berbadan kekar, saya memutuskan untuk berkeliling. Selain air yang semakin keruh dan berbau, ada yang berubah dengan replika kapal Cheng Ho didepan Klenteng Tak Kak Sie di Gang Lombok. Tidak ada anak tangga seperti yang saya naiki pada kunjungan dua tahun lalu. Selain itu semuanya tampak sama. Klenteng Tak Kak Sie dengan dua lilin besar, penjual burung Emprit dan warung Lunpia yang rasanya masih tetap orisinil (dijamin berbeda dengan Lunpia Pandanaran).
Dari gang Lombok, saya berbelok ke kanan menuju gang Pinggir. Gang ini tergolong besar dengan tingkat kepadatan lalu lintas yang patut diwaspadai terutama bagi para pejalan kaki. Hampir setiap rumah dipakai sebagai ruang usaha. Kebanyakan adalah rumah makan yang menjual menu dengan akhiran Bak atau Babi. Meskipun demikian, beberapa tempat menjual menu halal yang mengakomodir beberapa warga pendatang seperti saya, baik untuk makan atau oleh-oleh. Misalnya ingin mencari buah tangan selain lunpia, Pia Cap Bayi Tjiang Goan (Gang Besen no 94, T(024) 3544968) adalah pilihan yang tepat. Pia ini dijual seharga Rp. 17.000 dengan 4 pilihan rasa berbeda yaitu kacang hijau, coklat, gula aren dan nanas.
Saya beranjak menuju Gang Besen yang dulu adalah sentra perajin besi. Saya hanya sebentar karena mayoritas bangunan sudah direnovasi besar-besaran lalu berbalik menuju gang Baru. 30 meter sebelum Klenteng Siu Hok Bio, mata saya terhenti pada sebuah bangunan dua lantai mirip Klenteng berwarna hijau tosca. Dipagar dan tembok bangunan itu penuh tertempel petuah dan pantangan yang memang sengaja ditempel untuk memperingatkan orang tentang karma. ”Ini bukan klenteng, tapi rumah sembayang keluarga”, ujar Pak Handoyo sang pemilik bangunan. Saya kemudian berbicang hingga dia menyarankan saya untuk menengok 2 buah Klenteng Marga di seberang rumahnya.
Sesuai petunjuk Pak Handoyo, saya berbalik arah menuju Jembatan Wotgandul. Berbelok di gang pertama setelah jembatan, kampung Sebandaran telah didepan mata. Di gang ini terdapat dua buah Klenteng yaitu Klenteng Sai Tan dan Klenteng See Hoo Kiong. Disebut Sai Tan karena dahulu tempat ini hanya diperuntukkan khusus untuk Marga Tan. Tetapi saat ini, semua marga diperkenankan berdoa dan menitipkan abu jenasah di Klenteng ini. Begitu pula dengan Klenteng See Hoo Kiong yang hanya berjarak 50 meter. Meski didedikasikan untuk Liem Bik Nio (arsitek klenteng pada masa lampau), marga Liem tidak lagi menjadi satu-satunya pengguna klenteng.
Setelah berjalan dari Sai Tan, saya tiba di Klenteng See Hoo Kiong yang disebut Klenteng Hitam. Halamannya luas. Di pintu kanan gapura klenteng, 5 orang bapak-bapak bertelanjang dada sedang bermain kartu. Penuh gelak dan canda meski teliga mereka penuh jepitan jemuran warna biru. Salah seorangnya bernama pak Amin yang kemudian mengajak saya masuk Klenteng. Sayapun melangkah ke ruang pemujaan utama, selasar dan rumah abu.
Saya bertemu bertemu dengan pak Liem, pria bertumbuh gempal yang bekerja sebagai penjaga Klenteng Hitam. Awalnya saya ragu untuk menegurnya meski pak Amin sudah mempersilahkan. Sarjana arsitektur lulusan sebuah perguruan tinggi di Belanda ini ternyata sangat ramah dan tak ragu-ragu bercerita. Rasa penasaran saya tentang sejarah Klenteng Hitam, asal nama Sebandaran dan 11 gang di pecinan satu persatu terjawab perlahan.
Disetiap gang Tusuk Sate terdapat Klenteng dan dewa penunggunya pun menyesuaikan riwayat pada masanya. Klenteng Hitam memiliki Mak Cong atau dewa Nelayan/ Laut karena Sebandaran (diambil dari kata Bandar) dulunya adalah pelabuhan. Klenteng ini dibangun pada tahun 1881 oleh Liem Siong Djian dan Liem Kim Ling.
Ia menuturkan tentang sejarah Pecinan Semarang yang lebih dikenal dengan istilah Cap Kao Keng yang artinya "sembilan belas bangunan". Saat ini hanya ada kurang dari 5 dari 19 bangunan tersebut yang utuh bertahan. Selebihnya telah beralih fungsi, bentuk atau malah sudah hancur dan tak berbekas sama sekali. “Membayangkan gang-gang di Pecinan Semarang itu seperti melihat jari tangan yang terbelah“, jelas Pak Liem.
Tuesday, October 6, 2009
HUT Jogja & Pawai Budaya
Start: | Oct 7, '09 |
Location: | Sebagian Besar SD di Yogya dan sekitarnya & Pawai dari Balaikota Balai Kota sampai Alun –alun yang akan melalui depan Kantor Pos. |
Pawai Devile dan Keprajuritan, bersamaan dengan pawai Alegoris peserta pawai Devile yang akan diikuti 20 kelompok dari intansi, sekolah, IKPM, kelompok kegiatan, lembaga, ABRI dsb. Dengan rute Balai Kota sampai Alun –alun yang akan melalui depan Kantor Pos.
Pawai Budaya akan dimulai pukul 14.00 sampai 17.30 WIB dengan melibatkan 40 kelompok untuk 2 rute. Peserta pawai akan melakukan display di titik – titik yang sudah ditentukan oleh panitia.
http://jogjajavacarnival.com/rangkaian-kegiatan/
Sementara hari ini, anak TK dan SD berdandan busana daerah Yogya. Selamat Hunting!
Magical Moment with Ririn & Ipung
Ririn is frankly, outspoken, try to serve people but strict in procedures. She met with Ipung, who's cool and caring.
Photographer: Rachma Safitri
Make Up & Hair : Rara (Paradise Salon)
Location : Kotagede
Monday, October 5, 2009
Jogja International Performing Arts Festival 2009
Start: | Oct 6, '09 |
End: | Oct 7, '09 |
Location: | Sositet TBY |
Saturday, October 3, 2009
Road to Pesta Blogger 2009
Start: | Oct 15, '09 05:30a |
Location: | Jogja National Museum (Gd. ISI Lama) Jl. Amri Yahya 1 Wirobrajan, Jogjakarta 55181 |
Komunitas Multiply Regional Jogja,
Ada undangan dari Panitia PB 2009 untuk merayakan keragaman budaya nasional dalam Pesta Blogger Jogja 2009. Acara rangkaian Road to Pesta Blogger 2009.
Mohon kesediaan kawan-kawan untuk membawa buku bekas untuk melengkapi koleksi perpustakaan anak-anak di daerah Mantrijeron dan Lereng Merapi sebagai wujud kepedulian kita terhadap dunia pendidikan. Sampai ketemu di Jogja National Museum!
RSVP. Mohon mengkonfirmasi kehadiran 10 kawan-kawan ke saya atau Alle (0274 923.9499) dengan menyertakan nama, email, telepon, dan alamat blog/website.
Sunday, September 13, 2009
Simbok Wir
Setelah sekian lama berusaha, akhirnya saya berhasil juga. Dengan berpura-pura memotret langit, saya memperoleh foto beliau. Pagi itu beliau sedang melakukan aktifitas keempatnya yaitu mengupas buncis di lincak bambu depan rumah.
Simbah yang saya panggil Simbok ini memang susah difoto. Meski sudah sering kali berusaha mencuri-curi kesempatan, selalu saja hasilnya tidak natural. Kalaupun “ditembung” beliau selalu menolak. “Mbokne elek ngene kok meh difoto, ra patut,” ucapnya beliau sambil mecucu.
Simbok dan saya punya kebiasaan lucu. Mengingat pendengarannya yang sudah berkurang, saya harus mengulang lebih dari 3 kali setiap saya pamit. Semakin sering saya pergi semakin sering saya pamit. Terlebih bila saya akan berpergian jauh dan dalam waktu yang lama. Perlu ancang-ancang waktu untuk “mblabari omongan” atau dengan kata lain memberi prolog atau introduksi.
Hampir sama seperti ibu, simbok juga punya saran andalan bagi saya yaitu agar tidak pulang malam dan segera mandi bila baru saja pulang dari bepergian. Untuk hal yang terakhir ada cerita lucunya. Meski saya sudah mandi, ganti baju dan wangi, beliau tetap saya menyuruh saya mandi. Aduh, apakah tidak terlihat berbeda antara belum dan sudah ya? Ibupun terbahak dan saya pun ndremimil..
Bubur Pandak dalam Piring Indonesia
Semua orang pasti mengenal bubur. Selayaknya soto, menu ini hampir bisa ditemui di seluruh tempat di Indonesia. Meski bubur ada dimana-mana, tapi masing-masing pasti punya ciri khas. Seperti bubur atau "jenang lemu" yang disajikan di sebuah masjid peninggalan Panembahan Bodho di dusun Kauman desa Wijirejo kecamatan Pandak kabupaten Bantul.
Bubur ini memang sekilas tanpa biasa. Satu hal yang berbeda adalah waktu dan cara penyajiaannya. Bubur ini hanya disajikan saat bulan Ramadan dan diperuntukkan untuk para warga dusun Kauman dan jamaaah Masjid Sabiilurrosyad. Bubur ini menjadi menu reguler berbuka atau yang biasa disebut ”takjil”.
Setiap harinya Pak Wardano, Takmir Masjid Sabiilurosyad memasak 3 kilo beras yang nantinya akan dapat dinikmati oleh sekitar 70 orang. Rasa gurih ini diperoleh dari santan kental hasil perasan 5 butir kelapa tua yang dipetik dari sekitar masjid. Perasan kedua kelapa ini juga dipakai untuk memasak sayur lodeh tahu tempe sebagai pelengkap sekaligus lauk bubur.
Menurut penuturan Pak Wardani dan Pak Yurqoni, tradisi bubur ini telah dilakukan sejak berpuluh-puluh tahun silam. Cara penyajiaannya pun unik yaitu dengan menggunakan cobek dari tanah lempung. ”Jaman dulu buburnya tanpa sayur, jadi cuma bubur dan makannya pun pakai cobek,” ujar mereka bernostalia. Tak jarang dari mereka yang menambah buah talok dan ceplukan yang dicari pada sore hari sebagai lauk.
Sepuluh tahun terakhir, cobek telah pensiun. ”Sekarang kami pakai piring Indonesia,” ucap salah satu warga sambil tertawa. Piring Indonesia yang dimaksud adalah piring blek. Selain karena harganya yang relatif murah, piring berwarna putih dan kuning dengan warna biru di bibir piring ini juga tahan lama. Maklum, mayoritas pemakainya adalah anak-anak dengan polah yang beraneka.
Sore lalu (30/08/09), sebanyak 28 anak menanti saat berbuka dengan mengaji dan mewarnai. Fitri Nurhandayani, salah satu remaja masjid yang menjadi pembimbing anak-anak di TPA ini mengatakan bahwa meski kuah sayur agak pedas, anak-anak tetap lahap menyantap. ”Biasanya kalau ada donatur, akan ada tambahan lauk atau buah,” imbuh gadis siswi SMK 1 Bantul ini.
Tak sampai sepuluh menit dari adzan dan beduq yang ditabuh, puluhan piring Indonesia telah kosong. Tak ada bubur yang tersisa. Hanya ada sisa remahan wafer coklelat yang menggantikan buah talok sebagai lauk tambahan.
Monday, August 31, 2009
Tadarusan di Santren
Semuanya khusyuk. Para santri melantunkan ayat-ayat suci Al Quran secara bergantian. Sebuah suasana yang sederhana namun mendamaikan hati di Panti Asuhan Santren, Watucongol Muntilan.
Friday, August 28, 2009
Misty Morning in Delodbrawah
Menebak pagi yang teduh dengan sinar yang hangat kadang lebih mudah dari pada menebak sifat orang. Seperti pagi yang saya temukan sebelum bersiap melihat Makepung di Delodbrawah.
Friday, August 21, 2009
Matahari, Bumi dan Cakrawala
Wednesday, August 19, 2009
Prajurit Lumpur
Monday, August 17, 2009
Nyadran
Start: | Aug 18, '09 09:00a |
Location: | Komplek Masjid & Pasarean Santren, Gunungpring Muntilan |
Friday, August 14, 2009
Mulanya Berhitung Lalu Berlari
Ada yang bilang, hidup ini seperti permainan. Mungkin mirip seperti petak umpet. Mulanya berhitung, lalu siap berlari.
Wednesday, August 12, 2009
Wukirsari Expo II
Start: | Aug 15, '09 04:00a |
Location: | Gazebo Desa Wukirsari Imogiri Bantul |
Nur Ahmadi (0817.54757.94)
Rumi (0856.2575.288)
Monday, August 10, 2009
Sukmarenjana Dadi Manten
Sahabat saya yang satu ini memang ajaib. Saat menemaninya pada detik-detik menjelang akad, tidak ada rasa gelisah sedikitpun. Tetap cengengesan.
Dan akhirnya Lilin Noorkholis Isnain akhirnya sukses menikah dengan mas kawin seperangkat kamera. Seperti seloroh kami setahun yang lalu, sebuah "sembrono pari keno". Semoga nular ya.. hahaha..
Friday, August 7, 2009
Bedog Art Festival
Start: | Aug 7, '09 7:30p |
Location: | Sungai Bedog, Studio Banjarmili Kradenan Gamping Sleman |
Thursday, August 6, 2009
Tenganan dan Pesona Tenun Pegringsingan
Puluhan kain tenun dipajang dengan digantung di langit-langit rumah. Tenun Gringsing, kain andalah Tenganan berdampingan dengan puluhan kain dari seluruh penjuru Indonesia, seperti tenun Sumbawa, batik Yogya dan Pashmina ala Saudi Arabia.
Ni Wayan Suratmi dan Komang (10th) menyambut saya dengan ramah di rumah yang sekaligus menjadi tempat kerja dan usaha. Sebuah tustel (alat tenun) ukuran kecil yang diletakkan diatas balai-balai kayu bersama mereka siang itu. Ia sedang menyelesaikan sebuah selendang Gringsing yang biasanya ditawarkan dengan harga 400 ribu rupiah.
”Kami sekarang hanya membuat selendang, karena gampang laku dan harganya terjangkau,” ucap Ni Suratmi. Mengingat proses pembuatan tenun Gringsing yang sangat rumit, terutama proses pewarnaan yang memakan waktu paling lama (2-3 tahun), harga kain ini menjadi mahal. Selain itu Tenun Gringsing juga dipercaya mengandung nilai magis. Kata geringsing berasal dan dua kata yaitu gering yang berarti “sakit” dan sing berarti “tidak”. Bila dipadukan akan dapat berarti tidak sakit dan diharapkan si pemakai terhindak dari segala penyakit.
Tenganan siang itu lengang. Maklum, setelah perayaan perang pandan 2 hari sebelumnya, beberapa warganya telah kembali lagi ke tempat tinggal yang berada di luar Tenganan. Beberapa lagi tengah bekerja. Saat Perang Pandan, Tenganan akan dipadati wisatawan baik wisatawan nusantara maupun mancanegara. Sebagai salah satu desa kuno di Bali, atau biasanya disebut "Bali Aga", Tenganan Pegeringsing tumbuh menjadi desa tujuan wisata. Keramahan, aneka tenun ikat kaya warna dan tentu saja pesona desa Bali Aga akan membuat siapa saja betah berlama-lama disana.
Senja di Kedonganan
Saya ingin berjumpa dengan senja. Sebentar saja. Meniti indahnya cakrawala dan mega-mega yang berarak. Tapi senja kemarin hanya mampir sesaat. Dan camarpun tak terbang rendah.
Wednesday, August 5, 2009
Festival 5 Gunung
Puluhan pemuda bertelanjang kaki, berwajah garang dan berambut gimbal berjalan menuju sebuah halaman rumah di Mantran Wetan, Girirejo Kecamatan Ngablak Kabupaten Mangelang. Datang dari dua lereng gunung, Merapi dan Merbabu, pemuda-pemuda ini datang untuk sebuah pertunjukan. Bukan untuk tawuran atau adu kesaktian.
Mereka adalah salah satu penampil yang akan mengisi Festival 5 Gunung ke VIII yang kali ini (26/7/09) diadakan di desa Mantran Wetan. Dengan mengambil tema ’’Cokro Manggilingan Jiwo’’ atau yang artinya refleksi atas dinamika kehidupan yang terus berputar seperti roda, acara ini penuh semangat kemandirian dan kerukunan masyarakat.
Wednesday, July 29, 2009
Mulat Sarira PKB 2009
Berbeda dari rute tahun-tahun sebelumnya, Pawai Pesta Kesenian Bali tahun 2009 yang berlangung pada tanggal 13 Juni 2009 dimulai dari lapangan Puputan Badung hingga Art Centre. Mengusung tema ”Mulat Sarira” atau dengan arti kembali ke jati diri pawai ini menjadi magnet bagi masyarakat Bali maupun wisatawan baik dari dalam dan luar negeri. Sebuah pawai dari rakyat untuk rakyat.
Menikmati Kumbasari Pagi
Saya betah berlama-lama disini. Kumbasari waktu pagi dan saya yang terduduk di trotoar seberang dokar yang terparkir dengan gagahnya. Membau bau tanah yang bercampur aroma bunga, sayur, keringat dan aneka aroma lainnya. Saya belajar satu hal bahwa dalam ramai ada sepi dan mungkin sedikit kehampaan. Meski tampak lalu lalang, ada sepi dalam riuhnya.
Monday, July 27, 2009
Mbah Soma dan Semangkuk Wedang Trampas
Usianya tak tagi muda, giginya pun sudah tanggal semuanya. Namun, fisiknya masih prima, kuat mendaki untuk bertani di lereng Gunung Andong. "Kulo tani, saben dinten obah", tuturnya sambil tersenyum.
Mbah Soma, 95th ini adalah salah satu warga tertua di dusun Mantran Wetan, Girirejo Ngablak Magelang. Seperti warga desa lainnya, setiap hari beliau meminum wedang trampas. Minuman ini berasal dari pucuk daun teh yang dijerang air panas.
Tapi, Mbah Soma punya cara lain meminun seduhan yang berwarna hijau muda ini. Ketika orang-orang menikmatinya dengan gula jawa, kakek 7 cicit ini meramunya dengan garam. Mungkin, selain kehidupan yang rukun di kaki bukit yang berhawa dingin, trampas juga menjadi salah satu obat sehat alami yang membuat beliau awet muda.
Pengilon Gempil
Pengilon (cermin) ini saksi bisu rumah. Mengamati pertumbuhan dari saya TK sampai sekarang. Cermin yang menurut saya paling jujur.
Kata simbah, umurnya sudah tua, bahkan dari usia ibu. Dibingkai kayu jati dengan pegangan dari besi. Saat gempa 3 tahun lalu, pengilon ini sempat jatuh. Bingkai kayu di sisi kirinya koyak. Gempil.
Sunday, July 26, 2009
http://photoblogger.jogjafashionweek2009.com/
Start: | Aug 5, '09 |
End: | Aug 9, '09 |
BOEDAJA IN MOTION!
Itulah tema dalam XL Jogja Fashion Week 2009 Photo Competition kali ini. Siapkan kameramu, tangkap momen=momen menarik selama pelaksana Jogja Fashion Week yang berlangsung mulai tanggal 5 - 9 Agustus 2009 mendatang, dan menangkan hadiahnya!
Friday, July 17, 2009
John van der Sterren
John van der Sterren is a New Zealand artist of Dutch origin. He was born in Sukabumi, a town south of Jakarta, the capital city of Indonesia. He spent his early years on a tea estate in west Java where his father was the manager. After the Second World War, the family immigrated to New Zealand, where he was educated and where he developed a taste for the arts.
Story Only Taken From http://www.johnvandersterren.com/
Tuesday, July 14, 2009
Merapi & Ice Cream Milik Tuhan
Tuesday, July 7, 2009
Geliat Petani Garam Kusamba
Berkaus singlet dan bertelanjang kaki, Nyoman Dadek mulai meratakan pasir yang berada tepat didepan bedeng garam semi permanent miliknya. Cuaca mulai terik saat ia beranjak menuju bibir pantai sambil memikul teku, wadah air laut yang terbuat dari pelepah nira. Ini adalah aktivitas keduanya hari ini setelah sebelumnya beristirahat. Proses yang sama telah dilaluinya pada pagi hari, tepat setelah surya mulai bersinar di pantai Kusamba, Klungkung Bali.
Tak sampai lima menit, teku telah penuh dengan air laut. Air laut tersebut lalu disiramkan diatas pasir yang sebelumnya telah diratakan. Ia berjalan maju sambil menggoyangkan teku-teku yang dipikulnya. Hal sama dilakukakan berulang kali sampai seluruh pasir berikuran 4x10 meter tersebut basah. Cuaca menjadi kunci dalam proses pembuatan garam di Kusamba mengingat proses ini hanya mengandalkan sinar matahari.
Sinar matahari akan membuat pasir yang telah basah tersebut tercampur dengan sempurna. Air resapannya yang bercampur pasir kemudian dikumpulkan dalam sebuah ceruk berpipa bambu didalam bedeng bambu. Air resapan kemudian akan menetes dari bilah bambu menuju tempat penampungan. Terdapat 2 tempat penampungan dengan sistem penyaringan sederhana sebelum nantinya air tersebut akan dijemur diatas lembaran karet hitam untuk menghasilkan butiran kristal garam.
Nyoman adalah satu dari puluhan petani garam tradisional yang masih bertahan ditengah gempuran garam pabrikan. Meski tak seramai dulu, ia tetap akan melakoni pekerjaan ini dengan sepenuh hati. Suami dari Nyoman Kani ini menuturkan bahwa profesi yang telah digeluti selama hampir 30 tahun ini adalah usaha turun temurun dari ayahnya.
Saat ini, ada dua sistem penjualan yang dia jalankan bersama istrinya. Selain tetap setia dengan menjual garam melalui perantara, ia juga melayani penjualan langsung. Pembelinya tidak hanya masyarakat lokal, tetapi juga wisatawan yang membeli garam sebagai buah tangan. Pasalnya bedeng miliknya terletak tak jauh dari Goa Lawah, salah satu objek wisata andalah kabupaten Klungkung Kota Semarapura.
Wednesday, July 1, 2009
Dari Tasikmalaya ke Singaparna
Cuacanya yang sebelumnya bersahabat mendadak menjadi sedikit muram. Gerimis tiba-tiba meyergap saat semangkuk bubur ayam tepat ditangan. Bubur ayam setengah porsi diseberang masjid agung tak kalah lezat meski sempat sedikit kecewa karena gagal menemukan bubur ayam Zaenal di daerah Kalektoran.
Setelah kenyang, perjalanan dilanjutkan dengan angkot jurusan 08 untuk kembali ke hotel. Sepuluh menit kemudian, Kang Kankan dan Zahwa (putri bungsunya) menjemput untuk bergerak ke sentra payung geulis di Indihiang Panyingkiran.
Geulisnya Payung Mak Cicih
7 Desember 2008
Mendung yang hadir saat itu membuat halaman rumah mak Cicih (82th) sepi dari puluhan payung-payung yang biasanya dijemur berjejer. Meski demikian, rasa kecewa mendadak terobati karena Mak Cicih, Warsono (menantu) dan seorang tetangganya tetap bekerja meski hujan mungkin datang. Payung-payung geulis yang terbentang cantik di bengkel kerja.
Mak Cicih, yang sejak usia belasan bekerja sebagai perajin payung, dengan telaten mengajari saya melukis bunga diatas kertas bubut berwarna coklat. Rumit meski awalnya terlihat sangat mudah. “Coba dulu Neng, pasti bisa”, katanya menyemangati.
Setelah Panyingkiran, saya mampir sejenak ke rumah Kang Kankan. Teh manis buatan Teh Santi menjadi obat kangen setelah sebelumnya terus-terusan minum teh tawar. Hatur Nuhun Teh, lain waktu saya kembali.
Satu hal yang menarik dari setiap perjalanan adalah spontanitas. Ketika sebuah rencana tiba-tiba ada didepan mata meski sebelumnya tidak ada didalam jadwal. Seperti ketika Kang Kankan mengusulkan untuk memotret Asrina, mojang priangan 2008 yang kebetulan sedang libur semesteran. Alhasil, terjadilah sesi pemotretan model dengan konsep Duo Geulis. Asrina vs Payung Mak Cicih.
Malam takbiran di Singaparna
7 Desember 2008
Senja mulai menampakkan diri saat saya menunggu angkutan ELF jurusan Singaparna di simpang Linggajaya. Singaparna adalah tempat transit untuk semalam sebelum berpindah ke Kampung Naga. Setelah menunggu beberapa saat, kendaraan yang ditunggupun datang. Cukup dengan 4500 rupiah, transportasi umum ini akan mengantarkan kita dari Tasikmalaya menuju Singaparna. Biaya yang 3X jauh lebih murah dibandingkan kisaran harga dari cerita seorang kawan.
Tepat sebelum adzan Magrib, saya sampai di hotel Dewi yang terletak di belakang pasar Singaparna. Ini adalah satu dari dua hotel yang tersedia di kota sejuta ojek ini selain hotel Dewi Asri. Bicara soal harga, hotel sederhana ini tergolong mahal, Rp.150.000/malam. Tapi yang menyenangkan adalah tersedianya banyak colokan listrik dan kamar mandi bergayung.
Bagi yang tak terbiasa jalan-jalan malam, mungkin akan sedikit deg-degan. Pasalnya, ojek motor dan calo bis jumlahnya sangat banyak dan menawarkan jasa secara bersamaan. Setiap jalan 100 meter, 6 ojek menghampiri saya.
Takbir berkumandang dan saling bersahutan. Pasalnya tepat di belakang tembok kamar terdapat 2 surau yang mulai riuh semenjak Isya. Sambil mencari makan malam, saya memutuskan untuk berkeliling kota menonton takbiran. Perkiraan saya meleset. Ternyata tidak ada takbiran keliling seperti di kampung saya. Warga masyarakat terutama anak-anak bertakbiran di surau/masjid.
Ini adalah takbiran pertama saya jauh dari keluarga. Telepon terus menerus berdering dari Ibu dengan suara sedikit bergetar. Beliau menanyakan kabar, bergantian dengan Bapak yang memastikan bahwa anaknya akan mengikuti sholat Idul Adha di esok paginya.
Tasik; 2 Hari Menjelang Idul Adha
sebuah jurnal perjalanan yang terselip hampir enam bulan; adalah perjalanan yang menjadi mendadak karena urusan tiket dan perijinan internal (baca: keluarga)
Stasiun tugu, 07.30, 6 Desember 2008,
Akhirnya, tiket kereta Lodaya tujuan Bandung untuk jam keberangkatan 09.27 ada di tangan. Setelah semalam sebelumnya harap-harap cemas karena antrian yang mengular. Persiapannya serba apa adanya. Perjalanannya sederhana berteman sebotol air mineral dan sekotak bakpia Ayu yang masih panas. Sebelum berangkat ke Stasiun, Bapak mengantar saya membeli oleh-oleh di Bakpia langganan kami, masuk gang di Kampung Patuk.
Tasik, Wilujeng Sumping
6 Desember 2008, Tasikmalaya
Tepat pukul 15.30, kereta berhenti di stasiun Tasikmalaya. Stasiun ini lumayan penuh, maklum banyak masyarakat yang pulang kampung demi merayakan lebaran haji. Berbeda dengan saya yang justru meninggalkan keluarga saat hari raya tiba.
Saya urung naik angkot menuju jalan RE. Martadinata, lokasi penginapan saya untuk hari pertama. Seorang kawan, Teh Tini dan suaminya menjemput di stasiun. Meski pada menit-menit pertama masih canggung, kami langsung akrab dalam waktu yang cepat.
Teteh membawa saya di sebuah restoran sunda Saung Rangon untuk makan siang. Gurami bakar dan asam manis tersaji lengkap dengan lalapan mentah seperti leuncak, labu dan terong belanda. Pestapun dimulai tepat saat sepiring tempe mendoan ala tasik dengan rajangan besar daun bawang dan cabe teropong tiba-tiba terhidang di atas meja. Menyusul kemudian tumis genjer dengan ukuran daun jumbo dibanding sayur genjer yang dijual di pasar Demangan dekat rumah saya di Yogya.
Dua puluh menit kemudian, seorang kawan bergabung lagi bergabung. Ia adalah Kankan Iskandar dan keluarga yang sebelumnya menjadi guide online via yahoo messenger. Senang rasanya bisa bertemu muka setelah sekian lama hanya bertegur sapa di dunia maya.
Saya menginap di Hotel Aden bertarif 75 rb rupiah permalam dengan fasilitas kamar mandi dalam, double bed, televisi dan kipas angin. Aden terpilih karena jaraknya sangat dekat dengan sentra payung geulis yang rencananya akan saya kunjungi. Terletak di jalan RE. Martadinata, salah satu jalan utama yang mudah akses angkot bila akan ke arah pusat kota.
Menjajal angkutan umum adalah salah satu cara mudah untuk mengakrabkan diri ketika kita berada di tempat baru. Seperti yang saya lakukan agar tidak merasa kesepian didalam kamar hotel. Pesiar malam hari dengan angkot dan jalan kaki adalah pilihan yang menarik untuk mengetahui seluk beluk kota Tasik. Mulai dari alun-alun hingga masjid agung. 2 titik yang wajib dikunjungi pada malam dan pagi hari.
Duet Ibu-Ibu Muda dan Mulan Jameela di Dadaha
7 Desember 2008, Tasikmalaya Kota
Pagi-pagi sekali, angkot yang sama membawa saya menuju masjid agung. Kemudian langkah berlanjut mengikuti arus dari puluhan warga tasik yang datang bergelombang dengan baju olahraganya. Mereka menyusuri trotoar di kawasan perdagangan Cihideung sampai akhirnya terhenti stadion Dadaha. Ratusan orang melakukan aneka aktifitas distadion yang juga jadi pasar kaget. Jual beli aneka penganan tradisional sampai dengan ibu-ibu muda yang mengikuti senam pagi dengan lagu Mulan Jameela. Ya, paduan yang menyegarkan mata dan penuh gelak tawa. Inilah yang menyebabkan banyak orang yang berkerumun di seputaran halaman lokasi senam.
Puas berkeliling sambil jajan tape uli, saya menelusur pusat pertokoan Cihideung yang penuh dengan toko-toko berarsiterktur lawas. Lorong-lorong sempit dan tentu saja sapaan hangat para pengemudi becak menawarkan jasanya. “Neng, becaknya neng”, ucap mereka hangat.
Bersambung...
Monday, June 29, 2009
Bertemu Panji, Kelana dan Gechul di Solo Batik Carnival 2
Memasuki tahun penyelenggaraan kedua, Solo Batik Carnival kembali digelar oleh Pemerintah Kota Solo 26-28 Juni 2009. Tema kali ini adalah topeng dengan mengeksplorasi kain batik pada aneka karakter yang diciptakan. Setidaknya tahun ini, terdapat 3 karakter yang kemudian disebut kelompok yaitu Panji, Kelana dan Gechul. Panji adalah digambarkan sebagai karater raja yang berwibawa atau ratu yang kemayu. Ksatria yang gagah dan garang adalah bagi peserta yang termasuk kelompok Kelana. Sedangkan kelompok terakhir adalah Gechul, si Jenaka yang penuh tawa. Meski tidak semua peserta seekspresif karakter yang dimunculkan. Bisa jadi peserta mengalami kelelahan karena acara yang molor dari jadwal.
Kesungguhan Pemerintah Kota Solo dalam menginisiasi acara seperti adalah hal yang patut dicontoh oleh kota-kota lain, tak terkecuali Yogyakarta. Kehadiran Wali Kota Joko Widodo (Jokowi) saat memberikan pengarahan langsung untuk kru panggung 3 jam sebelum acara dimulai juga menjadi point plus yang dicatat masyarakat.
Meskipun demikian, SBC2 masih membutuhkan perbaikan disana-sini seperti pengaturan panitia, penonton dan juru gambar. Salah satu contohnya adalah banyaknya jumlah penonton yang merangsek maju hingga memenuhi jalan Slamet Riyadi sehingga membuat jalannya karnaval menjadi tersendat. Maklum, 300 peserta membutuhkan ruang gerak yang lebar mengingat kostum yang dipakai dan koreografi yang dipersembahkan.
Sadranan Wonosadi
Start: | Jul 2, '09 |
Location: | Desa Beji Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunungkidul. |
Masyarakat Dusun Wonosadi akan menggelar upacara adat Sadranan, simbol rasa syukur kepada Sang Pencipta atas limpahan hasil panen, seperti yang dituturkan Pak Sudiyo dan Pak Kasno, sesepuh Wonosadi saat saya berkunjung bulan lalu.
Wonosadi adalah salah satu desa wisata yang baru saja memperoleh KEHATI Award atas upaya pelestarian hutan khususnya keanekaragaman hayati. Selain terkenal dengan wisata alamnya, dusun seluas 25 hektar ini juga tersohor karena Rinding Gumbeng sebuah alat musik tiup dari bilah bambu.
Friday, June 26, 2009
Jagongan Wagen; Dance: Body 2 Body
Start: | Jun 30, '09 7:30p |
Location: | Kembaran RT 04/RW 21 Tamantirto |
diri.
Melalui tari, tubuh menghargai tubuhnya sendiri dan menghargai tubuh
lain.
Melalui tari, tubuh menciptakan harmonisasi tubuh individual dan komunal
Melalui tari, tubuh mempresentasikan pikiran dan perasaan yang hidup
Melalui tari, tubuh diapresiasi dan diwacanakan
DANCE: BODY 2 BODY
pertunjukan tari yang mempresentasikan optimalisasi tubuh dan gerak
tubuh dalam rangkaian gerakan tubuh yang menari
DANCE: BODY 2 BODY
pertunjukan tari yang mempertemukan tubuh dengan tubuh lain dalam rangkaian aksi dialogis antar tubuh
DANCE: BODY 2 BODY
pertunjukan tari yang menghadirkan presentasi skill dan teknik gerak
tubuh, sebagai perwujudan eksplorasi pikiran dan perasaan ke dalam tubuh
DANCE: BODY 2 BODY
adalah perempuan dan perempuan, laki-laki dan laki-laki
perempuan dan laki-laki.
Wednesday, June 24, 2009
Yeh Leh dan Para Pencari Ikan
Dalam perjalanan dari Denpasar menuju Jembrana, kami merapat ke Sungai Yeh Leh yang berada tepat di perbatasan antara Tabanan dan Negara. Sungai ini menjadi bagian dari Pantai Yeh Leh yang merupakan tempat pelaksanaan upacara melasti bagi masyarakat Pengeragoan dan Bading Kayu.
Sore itu ada beberapa beberapa pemancing dan nelayan berdiri di batu-batu besar bersiap mencari ikan. Berbeda dengan nelayan di daerah Perancak dan Yeh Kuning yang menjual hasil tangkapannya ke Denpasar, ikan-ikan hasil tangkapan ini hanya untuk konsumsi pribadi. Ikan-ikan ini (dalam bahasa Bali disebut Be Pasih) kemudian akan dimasak menjadi menu olahan Tum.
Tuesday, June 23, 2009
A New Hope with Mangrove
Rasulan Bobung
Start: | Jun 29, '09 10:00a |
End: | Jun 29, '09 5:00p |
Location: | Dusun Bobung Desa Putat Kecamatan Patuk Gunungkidul |
ps: bila butuh PICnya, monggo sms saya
Sunday, June 7, 2009
Merti Dusun Krebet
Start: | Jun 11, '09 |
End: | Jun 13, '09 |
Location: | Dusun Krebet, Sendangsari, Pajangan, Bantul |
Kamis, 11 Juni 2009
Tirakatan di Makam Leluhur : 18.30 - 20.00 wib
Pengajian di Pendopo Kasarosan: 20.00 - 24.00 wib
Jumat, 12 Juni 2009
Pembuatan rancangan gunungan: 08.00 wib – selesai
Membuat panjang ilang : 14.00 wib
Sesaji buangan: 09.00 wib
Pembuatan gunungan : 08.00 - 24.00 wib
Pentas Kesenian Muda Mudi : 08.00 - 24.00 wib
Sabtu, 13 Juni 2009
Warga berkumpul : 12.00 wib
Pembukaan : 12.15 - 12.30 wib
Sambutan : 12.30 - 12.45 wib
Prosesi arak-arakan : 12.45 - 13.15 wib
Buangan : 13.15 - 13.30 wib
Perebutan gunungan : 13.30 - 14.00 wib
Pesta bersama : 14.00 - 14.30 wib
Penutup : 14.30 wib
Pementasan kesenian Budaya Jawa: 14.30 - 16.30 wib
Pementasan wayang kulit dgn Dalang dr Pepadi Bantul: 20.00 wib - selesai.
Sumber: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bantul.
Thursday, June 4, 2009
Pentas 20 Gelaran Koreografi Mahasiswa Seni Tari FBS UNY
Start: | Jun 5, '09 7:00p |
End: | Jun 6, '09 |
Location: | Stage Tedjakusumo FBS UNY |
Thursday, May 28, 2009
Garibaba's Strange World Dunia Fantasmo Mozo-Mozo
Start: | Jun 7, '09 8:00p |
Location: | Concert Hall - Taman Budaya Yogyakarta |
Garibaba's Strange World menampilkan sejumlah seniman tari, teater, visual, dan musik dari Padang, Bandung, Solo dan Yogyakarta.
Karya & Sutradara : Hiroshi Koike
Penutur Cerita : Slamet Gundono
Informasi dan Reservasi:
Teater Garasi : Ratri (0274) 415844
Taman Budaya : (0274) 523512
Tuesday, May 26, 2009
Pentas Nyentrik Jemek Supardi
Start: | May 30, '09 |
Location: | Kalicode |
Monday, May 25, 2009
Wednesday, May 20, 2009
Menjemur Harapan
Seorang Ibu sedang mengeringkan batik tulis dengan pasta indigovera. Batik dengan warna alam, salah satunya Indigovera sedang digalakkan di beberapa sentra batik di Yogyakarta. Metode ini diharapkan dapat meningkatkan keterampilan dan pendapatan perajin batik serta meminimalisir pencemaran lingkungan karena penggunaan pewarna kimia.
Tuesday, May 19, 2009
Selamat Jalan...
17 Oktober 2008,
Belum sempat saya menulis tentang cerita tentang betapa menariknya pencarian sebuah dasi untuknya tepat dimalam sebelum akadnikahnya, dia sudah pergi. Waktu itu, jalanan sudah lenggang. Maklum, sudah hampir setengah sebelas malam. Pintu-pintu toko di sepanjang jalan solo menuju malioboro sudah tertutup rapat. Termasuk pintu kayu sebuah kios khusus grosir dasi di ujung Abubakar Ali.
Alhadullilah, telepon saya dijawab oleh sang pemilik kios. Ya, saya akhirnya memutuskan untuk menelepon nomor handphone yang tertulis di papan nama. Rupanya, dia sudah dalam kendaraan menuju rumah. “Begini pak, kakak saya mau menikah besok pagi, dan belum punya dasi,” jelas saya mengiba tepat sebelum telepon itu terputus.
Tak sampai 5 menit, nomor si bapak menghubungi saya. Rupanya tadi beliau menghubungi salah seorang pegawainya untuk membuka kembali kiosnya buat kami. ”Karyawan saya sebentar lagi kesitu, tunggu ya”, ucapnya buru-buru.
Dari arah kampung Gemblakan Bawah, karyawan yang ditunggu pun datang. Mbak Yanti namanya. Senyumnya tulus, jauh berbeda dari bayangan kami sebelumnya. Maklum, kami berpikir mungkin dia sedikit jengkel karena sudah terlelap saat perintah ini datang.
Kamipun bergegas memilih, meski sempat berkali-kali binggung menentukan warna dasi. Sampai akhirnya sebuah dasi bernama biru tua seharga 20 ribu. Saya masih ingat dia menolak saat saya memilihkan dasi yang lebih mahal. ”Rasah larang-larang, kan cuma dipakai sekali,” ucapnya pendek.
5 tahun lalu, Diujung Selokan Mataram
Berbekal kamera poket dan FM10 kami plesir bersama. Hunting perdana kami adalah menyusuri selokan mataram. Rute yang sama seperti plesir saya beberapa waktu lalu dengan seorang sahabat.
1997, kafe 17
Sepulang dari kursus bahasa Inggris, dia menjemput saya untuk test food di kafe 17. Ini adalah kafe pertama anak muda di Yogyakarta.
26 Maret 2009,
Tepat di pagi saat saya memakai kemeja yang ternyata kembar, dia justru pulang. Kemeja flanel kotak-kotak yang tak sengaja terbeli saat diskon besar-besarnya tepat malam sebelumnya. Persiapannya matang, termasuk pamit pada saat lewat sebuah mimpi yang baru saya sadari sekarang.
Friday, May 15, 2009
Nguras Sendang Selirang
Ini adalah kali pertama upacara Nguras Sendang Selirang Kotagede disemarakkan dengan Kirab Budaya pada hari Minggu, 26 April 2009 lalu. Ruas-ruas jalanpun macet, disesaki warga masyarakat yang terlibat atau yang hanya menonton acara ini.
Barisan prajurit (acap disebut bregodo kotagede) membuka kirab yang dimulai di halaman depan balai desa Jagalan. Dibelakangnya disusul arak-arakan gunungan yang berisi hasil bumi dan makanan tradisional. Tak hanya kipo, aneka jajanan khas kotagede lain seperti yanko, banjar dan ukel juga mengisi gunungan.
Selanjutnya, kirab menuju Masjid Mataram. Disinilah ratusan pengunjung berebut gunungan, meski sedianya oleh panitia gunungan ini tidak untuk dirayah. Prosesi ini berbarengan dengan upacara serah terima 3 buah gayung (siwur) oleh abdi dalem yang kemudian akan digunakan untuk simbolisasi menguras Sendang Putri, Sendang Kakung dan Kolam di dalam Masjid Mataram.
Thursday, May 14, 2009
Tiga Rasa
saat rasa cemas,bahagia dan sedih datang pada satu waktu yang bersamaan
candid.15 before the "akad nikah".dedicated to my beloved brother and my new sister.
Adu Jago
Adu ayam menjadi hal yang tidak terpisahkan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Hobi inipun tak surut meski pandemi virus flu burung menjadi momok terutama bagi negara-negara beriklim tropis seperti yang terlihat di Pasar Johar Semarang.
Tuesday, May 12, 2009
Tangis Nyetrum Jamu Cekok
Pagi itu, belum genap jam enam pagi. Belasan orang tua dengan anak-anak tahun sudah antri di kios Jampi Tradisional Kerkop, jalan Brigjen Katamso Yogyakarta. Sebagian lagi menunggu di trotoar. Maklum kios ini berbentuk memanjang menyerupai lorong dengan lebar 1,5 meter. Meski sempit, setiap harinya hampir 100 balita usia 8 s/d 3 tahun mengantri jamu seharga 2000 rupiah.
Rupa-rupa ekspresi para bocah ini. Kebanyakan tenggelam dalam gendongan dengan wajah gelisah. Ada yang lincah berlarian, tanpa wajah takut akan pahitnya jamu. Tak sedikit pula yang sudah mulai menangis meski baru saja tiba.
”Tangisannya nyetrum”, ucap Bu Jirah salah satu peramu sambil memeras jamu dalam sapu tangan ke mulut seorang bayi. Sedikit memaksa sehingga kemudian disebut ”cekok”. Tangis inilah yang lalu menular pada bayi-bayi yang lain.
Pahit jamu ini diperoleh dari campuran ramuan daun pepaya, temu ireng, temu giring, puyang dan dlingo blengle. Menurut Bu Jirah, jamu cekok paling laris adalah cekok batuk pilek dan endak-endak cacing. Menyusul dua ramuan cekok lainnya yaitu cekok untuk penambah nafsu makan dan pencegah sariawan.
Sebenarnya, kios jamu milik keluarga Zaelali ini tidak hanya menyediakan jamu cekok bagi para balita. Setidaknya terdapat 23 jamu lainnya seperti jamu Uyub-uyub untuk ibu menyusui, jamu Sawan Tahun untuk para orang tua dan jamu Galian Putri khusus untuk wanita remaja. Jamu untuk segala usia.
Thursday, May 7, 2009
Weaving a Future
Thursday, April 30, 2009
Keluarga Tot; Rasa Jogja dalam Lakon Hongaria
”Memang susah menangkap tentara. Mayor aja susah, apalagi pensiunan jendral,” ujar Profesor Cipriani pada Lajos Tot.
Neng Pakem akeh wong kenthir
Pupuk kandang pupuk kompos
Bapak Mayor silahkan mampir
Ke desa kami Bantalamos
Pantun Lajos Tot yang ditujukan untuk Mayor saat menunggu bus jemputan
Mayor: Lajos, kamu bisa main kartu?
Lajos: Saya tidak bisa
Mayor: Domino?
Lajos: Kan haram hukumnya
Mayor: Catur?
Lajos: Itukan dulu pernah dimainkan di Sidang Susila. Nanti dibilang ndak kreatif
Dan seketika Gandrik membuat penonton terbahak
Sunday, April 26, 2009
Traditional Stone Mining
Friday, April 24, 2009
Resah & Gelisah
Mungkin dua kata tersebut tepat untuk menggambarkan situasi psikis para calon legislatif, juru kampanye dan keluarga caleg yang tidak siap masuk ke industri politik. Saat impian kemenangan berbanding terbalik dengan kenyataan.
- Jemek on Calegbrutusaurus -
Sebaris Doa Cening
Sambil memejamkan mata, gadis cilik ini tampak khusyuk. Diujung jarinya, terselip sehelai bunga kamboja saat sembahyang sebagai rangkaian upacara Melasti di Pantai Parangkusumo Bantul
Tuesday, March 17, 2009
Konsentrasi Dhesy
Dhesy Sri Wahyuningsih yang berperan sebagai Puyengan tampak serius saat lawan mainnya Damarwulan tengah mengocok perut penonton. Dhesy, pelajar kelas 1 salah satu SMK di Bantul ini tergabung dalam Organisasi Pemuda Pemudi Manding yang bermain dalam ketoprak tradisional berjudul Gugurnya Adipati Minakjinggo. Ketoprak mini ini adalah salah satu rangkaian kegiatan Sunday Manding, sebuah kegiatan promosi wisata, budaya dan ekonomi desa Manding, kecamatan Trirenggo Bantul yang juga terkenal sebagai sentra industri kerajinan kulit.
Manual with Canon 400D Tamron 70-300mm_resize only.
Thursday, March 12, 2009
Jemek on Stage: Calegbrutussaurus
Start: | Mar 18, '09 8:00p |
Location: | gedung Sosieted, Taman Budaya Yogyakarta. |
http://jemeksupardi.multiply.com/journal/item/103/Jemek_Bakal_Gelar_Pentas_Tunggal_di_Yogya
Sunday Manding
Start: | Mar 15, '09 04:00a |
Susunan acara sebagai berikut :
Traditional Mini Theatre, jam : 09.00 - 11.00 wib bertempat di Balai Desa Manding, Bantul.
Istirahat jam : 11.00 - 13.00 wib.
Pentas Jathilan jam : 13.00 - 16.00 wib.
Sunday, February 22, 2009
Anindita & Plaosan
Perkenalkan, namanya Anindita. Sahabat saya sejak duduk di sekolah dasar ini sedang senang-senangnya bergaya di depan kamera. Seperti kemarin, saat kami piknik ke Plaosan. Saat langit masih biru meski awan-awan putih semakin membesar dan berarak ke arah timur.
Plaosan Kidul 14 Feb 2009 with Canon 1000D, 28-135mm.
Wednesday, February 18, 2009
Dua Sentilan Sepuluh Pelajaran
Dari kejauhan, pada satu rumah di desa Jogoprayan, Gantiwarno Klaten, ada tulisan dalam bahasa jawa ngoko yang menyentil saya. Di atas pintu rumah berbentuk limasan tersebut tertulis “wong koyo kowe akeh banget tunggale”. Terjemahannya adalah bahwa ada banyak orang seperti kita, atau dengan kata lain “you are not the only one”. Bila diartikan lebih lanjut, si empunya rumah ingin mengatakan bahwa kita tidak kita bukanlah satu-satunya orang. Jadi sentilah pertama, ojo dumeh.
Sentilan kedua datang dari ibu saya. Ini berkaitan karena saya yang sampai saat ini masih saja belum stabil emosinya sehingga cenderung tidak sabar dan mudah marah. Satu hal yang saya tahu tentang sabar adalah dari mimpi ibu. Menurut beliau, suwargi Buk Ni, simbah putri saya mewariskan sabar berjumlah 5 kepada kami berdua. “Buk Ni ki ninggal sabar limo cacahe, dadi awake ojo gampang neson”, ujar Ibu setiap saya mecucu.
Ah, begitulah saya.
Monday, February 9, 2009
Kereta Kelinci
Sunday, February 8, 2009
Tong Setan; Saat Kantuk Menyergap
Lewat tengah malam tong setan telah menjadi kosong sekosong-kosong tong tanpa setan meski kekosongan adalah peluang setan tapi bukan dalam tong setan yang tiada pernah bersetan karena segala setan yang gentayangan yang gelandangan dalam tong setan terpersetankan tanpa khotbah tanpa dakwah tanpa kata-kata tanpa bahasa kecuali gerak dan hanya gerak yang berputar-putar dan berputar-putar bagaikan semesta yang selalu beredar. (Seno Gumira Ajidarma: http://sukab.wordpress.com/2007/05/16/tong-setan/)